Kerinduannya pada agama yang dibawa Nabi Muhammad itu tak terbendung, sehingga ia pernah berpuasa secara diam-diam, tanpa diketahui keluarga. Layaknya orang yang sedang jatuh cinta, ia terus berjuang keras untuk mendapatkannya.
Namun ketertarikannya pada Islam terhadang oleh tembok besar bernama keluarga. Lingkungan keluarganya 99% Kristen. Nenek moyangnya, menjadi salah satu pelopor Gereja Kristen Jawa di Wonogiri bagian timur. Anggota keluarga yang lain, jadi pendeta di Jakarta. Di rumah orang tuanya, juga dipakai kebaktian, bahkan hingga sekarang.
(Baca juga: Kisah Heroik Pendirian Masjid ‘Umar Farouq’ di Daerah Kristenisasi)
Tapi iman memang mutlak hidayah Illahi. Jika Allah menghendaki, tak seorang pun dapat menghalangi. Itulah yang dialami putri dari pasangan Karsoyadi Wikromo dan Suwartini ini. Ketertarikannya pada Islam yang sempat terhalang oleh lingkungan keluarga, tumbuh kembali saat kuliah di Surabaya.
Mulanya, ia sering mendengar radio kawan se-rumah kost, yang memutar ceramah Zainuddin MZ. Saat itu, antara lain menjelaskan Surat Ali Imron 138, yang artinya: Sesungguhnya al-Quran ini adalah penerang bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.
“Saya tergelitik, sekaligus bingung. Karena tangan saya memegang Injil dan al-Quran. Saya juga masih aktif ke Gereja,” ungkapnya. Di tengah kebingungan, dia mendapatkan penjelasan dari surat al-Dhuha ayat 7, yang artinya: Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk…
(Baca juga: Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Puji Kekompakan Umat Kristen dan Tionghoa Dukung Ahok)
“Saya semakin tidak bisa tidur, demam memikirkan hal itu. Mana yang harus saya yakini. Kemudian saya temukan Surat Ali Imron, ayat 139 yang melarang bersedih,” kisah dia mengenang pengembaraannya dalam mencari agama.
Perang batin terus berkecamuk dalam dirinya. “Kalau masuk Islam, saya akan dibilang anak durhaka dan dikucilkan keluarga. Tapi kalau tidak masuk Islam, saya pasti menyesal selamanya,” tukasnya.
Setelah kian mantap dengan Islam, pada 1990, ia berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat, di masjid Al-Falah Surabaya. Boleh dibilang, ia mencari Islam sendirian, dibimbing kaset dan buku.
(Baca juga: Cerita Sekolah Muhammadiyah di Daerah Non-Muslim)
Di antara yang membuat dirinya yakin pada Islam, karena dalam al-Quran banyak sekali harapan dan cinta. Masalah apa pun dalam kehidupan ini, dari hal yang paling kecil sampai paling besar, semua ada dalam al-Quran. “Jadi, apa yang perlu diragukan,” tanyanya meyakinkan.
Anak ketujuh, dari delapan bersaudara ini menjadi muslimah pertama, di lingkungan keluarga. Tentu tidak mudah menjadi muslimah sendirian di tengah mayoritas Nasrani. Ia sadar, orangtuanya yang begitu fanatik pasti sulit menerima kenyataan bahwa anaknya menjalani keyakinan lain. Karena itu ia tidak mengabarkan pada keluarga mengenai statusnya yang sudah mualaf.
(Baca juga: Kisah Siswa Katholik yang Selamatkan Sekolah Muhammadiyah di Kutai Kartanegara)
Nah, tabir mulai terbuka ketika kuliahnya memasuki semester tiga. Kakak dia yang menjadi kepala sekolah, hendak belanja buku ke Surabaya. Ia bersama istrinya mampir ke rumah kost. Ia kaget melihat di kamar ada sajadah. “Sajadah ini siapa yang punya, bukankah kamu sekamar sendirian?” tanyanya agak marah.
“Ya, itu sajadah saya,” jawab Maria. Bagai tersambar petir. Kakaknya kaget, dan terlihat raut mukanya kecewa berat, meski masih ditutupi dengan jalan-jalan bersama, mencari makan di Surabaya.
Diundang pulang untuk disidang keluarga besar… halaman 3