Buah Silaturahmi Pemikiran Kiai Dahlan, kolom ditulis oleh M. Anwar Djaelani aktivis Lembaga Dakwah Kampus Universitas Airlangga 1984-1987.
PWMU.CO – Islam meminta umatnya untuk gemar bersilaturahmi. Al-Quran Surat an-Nahl: 125 meminta untuk menjadikan diskusi sebagai salah satu media dalam berdakwah. Di titik ini, KH Ahmad Dahlan—selanjutnya disebut Kiai Dahlan—telah mengerjakan kedua ajaran itu secara tekun dan baik. Hasilnya, sungguh manis!
Tak Lelah Silaturahmi
Bagi Kiai Dahlan (1868-1923), mencari kebenaran, lewat diskusi, ibarat pertemuan dua orang berbeda agama yang masing-masing membawa Kitab Suci-nya.
Kitab itu digelar di meja, lalu keduanya mengosongkan pikiran dan keyakinannya seperti di saat asal mula manusia yang tanpa keyakinan keagamaan.
Selanjutnya, berdiskusi mencari bukti kebenaran agamanya. Diskusi perlu terus dilakukan sampai keduanya menemukan yang haq.
Sebegitu seriusnya Kiai Dahlan dalam mencari kebenaran hakiki, dapat dilihat dari berbagai diskusi dengan banyak tokoh agama, termasuk agama lain.
Jelaskan Islam dengan Tingkatan
Jika berdiskusi dengan yang beragama lain, Kiai Dahlan begitu yakin atas agama yang dia peluk. Atas hal itu, bahkan beliau sampai mengusulkan tentang bagaimana cara berdiskusi seperti tergambar di paragraf di atas.
Untuk menjelaskan kebenaran Islam dalam sejarah agama-agama, Kiai Dahlan mengibaratkannya seperti tingkatan pendidikan dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi.
Lewat ibarat itu, maka Islam pada zaman Adam AS itu seperti kelas I di Pendidikan Dasar. Kemudian, setiap pergantian Nabi berikutnya, bagaikan naik satu tingkat dan seterusnya.
Sekarang adalah zaman dengan ibarat kelas tertinggi yaitu zaman ketika Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Rasul pembawa ajaran Islam. Oleh karena itu seluruh manusia perlu bersatu mempelajari Islam dengan menggunakan akal.
Ajaran agama lain, hemat Kiai Dahlan, jangan hanya diajarkan di rumah-rumah ibadah mereka sendiri saja, tapi juga perlu diajarkan di masjid-masjid (Munir Mulkhan, 2010: 189-190).
Meski dirinya sendiri suka berdiskusi, yaitu berbicara untuk meyakinkan orang dalam mencari kebenaran, Kiai Dahlan tetap punya catatan kritis. Bahwa, beliau prihatin atas performa sebagian pendakwah yang hanya banyak bicara. Mereka punya ilmu dan lalu diajarkan, tapi ternyata tak diamalkan.
Mereka, masih mementingkan sisi luar, yaitu agar dinilai punya pemikiran yang baik. Padahal, secara pribadi, mereka sendiri rusak karena masih menuruti hawa nafsu.
Diskusi dengan Pastor
Dalam berdiskusi, Kiai Dahlan melakukannya dengan semua kalangan. Di internal umat Islam, beliau aktif berdiskusi. Di ekternal umat Islam, yaitu dengan tokoh agama lain, Kiai Dahlan juga tak kalah giat dalam berdiskusi.
Sekarang kita lihat beberapa diskusi Kiai Dahlan dengan tokoh agama lain. Pada suatu ketika, Kiai Dahlan mengadakan pertemuan dengan Pastor van Lith. Tapi, pertemuan itu hanya sekali dan baru bersifat pendahuluan. Selanjutnya tak diadakan lagi karena tak seberapa lama setelah itu sang pastor meninggal.
Pernah pula, Kiai Dahlan berdiskusi dengan Domine Bakker, di Jetis Yogyakarta. Diskusi itu berlangsung beberapa kali. Di diskusi itu pembicaraan Domine Bakker berbelit-belit. Dia juga tak mau mengakui kekalahannya. Maka, berdasar hal itu, pada akhirnya Kiai Dahlan mengajukan tantangan.
“Mari kita sama-sama keluar dari agama, kemudian mencari dan menyelidiki agama mana yang benar. Kalau ternyata kemudian agama Protestan yang benar, saya sanggup masuk agama Protestan. Akan tetapi, sebaliknya, jika agama Islam yang benar, Domine Bakker harus mau masuk Islam,“ demikian tantangan Kiai Dahlan.
Rupaya, Domine Bakker tak berani menerima tantangan Kiai Dahlan. Tak seberapa lama kemudian Domine Bakker pulang ke negerinya, Belanda.
Masuk Islam karena Diskusi
Ada yang menarik. Di dalam pertemuan beberapa kali dengan Domine Bakker itu, ada dua orang yang akhirnya masuk Islam. Keputusan itu mereka ambil setelah menyimak dan mencermati rangkaian diskusi antara kedua tokoh agama tersebut (Junus Salam, 2009: 151-152).
Jika Kiai Dahlan suka berdiskusi—sebagai salah bentuk cara berdakwah—maka ada satu hal yang sangat bisa menopang kekuatannya dalam menyampaikan argumentasi. Hal yang dimaksud, adalah bahwa Kiai Dahlan suka membaca.
Dia banyak membaca kitab-kitab klasik dan juga kitab-kitab kontemporer. Beliau dikenal tekun mengkaji Tafsir Juz Amma, Tafsir Al-Manar, dan majalah Al-Manar. Juga, majalah Al-‘Urwatul Wutsqa yang dikelola Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Maka, bisa kita mengerti, jika Kiai Dahlan memiliki keluasan cakrawala berfikir tentang Islam melebihi kebanyakan ulama di negeri ini pada masanya dan masa sesudahnya.
Terkait buah diskusi yang lain, ada peristiwa yang sulit dilupakan. Suatu ketika, Syaikh Ahmad Surkati—pendakwah keturunan Arab asal Sudan—menumpang kereta api dalam perjalanan Jakarta-Surabaya. Kereta api itu melewati Yogyakarta.
Singkat kisah, di atas kereta api yang sama, Ahmad Surkati bertemu dengan Kiai Dahlan. Kala itu, Kiai Dahlan tampak sedang membaca tafsir al-Quran karya Muhammad Abduh.
Keduanya lalu terlibat dalam sebuah diskusi yang mendalam. Lalu, kedua ulama itu bersepakat untuk berjuang membela Islam lewat gerakan umat yang terkoordinasi dengan baik.
Di beberapa waktu kemudian, setelah silaturrahim, fisik dan pikiran, di atas kereta api itu, Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912. Sementara, Ahmad Surkati mendirikan Al-Irsyad pada 1916.
Jika Muhammadiyah beranggotakan rata-rata dari kalangan pribumi, maka mayoritas anggota Al-Irsyad adalah dari kalangan keturunan Arab.
Pertanyaan Sederhana
Kisah Kiai Dahlan di atas semakin menegaskan kepada kita akan keutamaan silaturahmi, baik fisik maupun pikiran. Dua buah manis dari silaturrahim pemikiran Kiai Dahlan—seperti adanya orang yang lalu masuk Islam atau Muhammadiyah dan Al-Irsyad yang lalu lahir—adalah sekadar sedikit contoh.
Hal yang pasti, Kiai Dahlan telah melakukan silaturahmi pemikiran tanpa lelah, dulu di zaman sulit yaitu di masa penjajahan. Maka, jika demikian, bagaimana dengan posisi kita kini? (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan ini adalah versi online Buletin Umat Hanif edisi 37 Tahun ke-XXIV, 30 April 2020/8 Ramadhan 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan moblitas fisik.