Menanyakan Keadilan Tuhan artikel opini tulisan Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu mengulas sumber perdebatan eksistensi ilahi.
PWMU.CO– Ada dua problem besar kemanusiaan yang belum bisa diurai sejak manusia diciptakan dan lahir hingga saat kebinasaan dan mati. Yaitu kebenaran dan kejahatan.
Bahkan umat yang dinaungi kitab yang paling dan mutlak benarpun juga tak luput dari problem kebenaran yang dihadapi. Sesama umat Islam pun berebut benar dari soal nawaitu dibaca jahr hingga jabat tangan usai baca salam, entah ada berapa ratus ikhtilaf pada shalat.
Artinya, umat Islam yang mengaku saleh pun tak bisa berhenti bertengkar bahkan di saat menyembah Tuhan. Sungguh ironis.
Kelompok berpikir jahat, sebut saja holacaust, pikiran paling jahat yang lahir dari pikiran paling buruk manusia. Memodifikasi dan terus memprovokasi betapa tidak adilnya Tuhan.
Pangkal soalnya adalah mengenai seorang saleh, yang menderita, yang memunculkan sederetan masalah keadilan ilahi, atau dalam istilah filsafat memunculkan masalah kejahatan (problem of evil). Dalam teologi disebut theodici.
Orang baik atau saleh dipaksa menerima dan rela atas penderitaan yang dihadapi. Orang baik yang kalah, ditindas dan dizalimi sepanjang hayatnya bahkan mungkin saja seusia sebuah generasi.
Palestina misalnya, adalah penderitaan panjang sebuah peradaban yang dibiarkan seakan-akan tanpa campur tangan Tuhan. Orang Palestina yang baik dan taat itu terus dizalimi ditindas dan disengsarakan sekan-akan tanpa pertolongan Tuhan. Ataukah memang Tuhan merencanakan begitu?
Penderitaan Nabi Ayub as
Contoh klasik penderitaan impersonal yang di alami Nabi Ayub as sebagai simbol orang baik yang menderita sakit dan dipaksa bersabar atas penderitaan yang ditimpakan. Dalam berbagai literasi Ibrani disebutkan, Ayub pun sempat berkeluh kesah dan menyoal kenapa dirinya dideritakan padahal ia telah bertaat.
Problem keadilan ilahi inilah sumber segala pikiran jahat peniadaan Tuhan. Karena banyak derita yang dibiarkan dan doa-doa dari kalangan menderita yang diabaikan. Melahirkan keputusasaan karena derita yang sangat lama.
Lalu bagaimana agama memfungsikan hadir dalam setiap derita? Agama selama ini hanya semacam sistem penghiburan agar penderitaan yang dialami diterima dengan ridha tanpa interupsi.
Seratus tahun yang lalu KH Ahmad Dahlan sudah menjawab pertanyaan itu. Dia mengajari santrinya bukan hanya khatam mengaji surat al-Maun tapi juga mengamalkan. Memberi makan dan melindungi orang-orang menderita. Menghadirkan agama Islam di depan orang menderita sebagai penyelesai masalah. Bukan sekadar janji angin surga.
Kiai Dahlan mengajarkan, Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji di antara kita siapa yang terbaik amalannya seperti diterangkan dalam surat al-Mulk ayat 2. Itulah jawaban terhadap orang-orang yang menanyakan keadilan Tuhan. (*)
Editor Sugeng Purwanto