PWMU.CO – Jas Mewah Abdul Mu’thi Zaman Kolonial. Jas mewah akronim jangan sekali-kali melupakan pahlawan Muhammadiyah. Salah satu tokoh yang tak boleh dilupakan adalah KH Abdul Mu’thi.
Warga Muhammadiyah zaman milenial kini mengenal nama Dr Abdul Mu’ti MEd sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tidak salah dan wajib bagi warga Muhammadiyah mengenal para qiyadah-nya yang sedang aktif.
Tapi kaum milenial juga harus mengenal Abdul Mu’thi lain, seorang tokoh Muhammadiyan yang cukup tenar di era kolonial.
Menurut Suara Muhammadiyah Abdul Mu’thi mengeyanm pendidikan di sekolah menengah Belanda, lalu memperdalam ilmu agama di beberapa pesantren di Jawa Timur. Tahun 1914, dia belajar ke Mesir, bertepatan dengan Perang Dunia I.
Abdul Mu’thi yang dikenal sebagai mubaligh itu adalah menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Kudus pada tahun 1923. Kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah di Madiun pada masa kepemimpinan KH Ibrahim (1923-1932).
KH Abdul Mu’thi Pendorong Proklamasi
Tokoh kelahiran Jombang tahun 1889 ini sangat dihormati sang proklamator Bung Karno. Mengutip bengkulutoday.com, KH Abdul Mu’thi merupakan satu di antara empat tokoh pendorong proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364.
KH Abdul Mu’thi bersama KH Hasyim Asy’ary Tebuireng Jombang, Syekh Musa Sukanegara Ciamis, dan R.Sosrokartono didatangi Bung Karno sebelum Proklamasi Kemerdekaan.
Keempat tokoh menyarankan tanggal 9 Ramadhan atau tanggal 17 Agustus sebagai Rahmat Allah Yang Maha Kuasa yang tidak boleh dilewatkan.
Menilik latar belakang KH Abdul Mu’thi yang gigih dan kritis pada pemerintah kolonial, sangat layak jika kemudian Bung Karno merasa “cocok” untuk mendiskusikan segala hal tentang kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sebuah pilihan hidup atau ‘hobi’ yang sempat menyulitkan posisi KH Abdul Mu’thi di kepengurusan Muhammadiyah mengingat jalan kooperatif yang ditempuh Muhammadiyah sebagai strategi menghadapi pemerintah kolonial penjajah.
KH Abdul Mu’thi Kritis pada Belanda
Waktu itu pidato dan ceramah keagamaan KH Abdul Mu’thi dikenal keras menentang kebijakan kolonial Belanda. Karena itu dia sering mendapat teguran dari kepolisian kolonial.
Selain menggunakan pengajian, Abdul Mu’thi mengedarkan surat selebaran kepada umat Islam di Madiun. Karena kasus ini, Abdul Mu’thi ditangkap dengan tuduhan menghina pemerintah kolonial dan mengganggu ketentraman.
Hoofdbestuur (HB)—kini pimpinan pusat (PP)—Muhammadiyah Yogyakarta mengutus Haji Fachrodin untuk menyelesaikan kasus Abdul Mu’thi ini. Dan dia berhasil menyelesaikan kasus ini dengan catatan bahwa pemerintah kolonial menghendaki Abdul Mu’thi keluar dari daerah Kudus.
Dengan keluarnya Abdul Mu’thi dari Kudus, HB Muhammadiyah Yogyakarta kemudian mengambil alih kepengurusan cabang Muhammadiyah Kudus.
Atas usul Fachrodin, Abdul Mu’thi diminta menetap di Yogyakarta. Tetapi sebagian pengurus HB Muhammadiyah keberatan menerima kedatangannya. Fachrodin berhasil meyakinkan jajaran HB Muhammadiyah Yogyakarta agar mubaligh yang telah berjuang ini diterima dengan baik.
KH Abdul Mu’thi Bertahan di PP
Memang banyak pihak yang menghendaki KH Abdul Mu’thi dikeluarkan dari kepengurusan, tetapi banyak pula yang menginginkan beliau bertahan dalam pengurusan persyarikatan.
Faktanya pihak yang menginginkan KH Abdul Mu’thi bertahan yang menang, terbukti hingga Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujungpandang (kini Makassar) tahun 1971 masih mengemban amanah di Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Aktivitas KH Abdul Mu’thi selain di PP Muhammadiyah pasca-kemerdekaan antara lain di pemerintahan sebagai penanggung jawab obligasi surat berharga negara era Wakil Presiden Mohamad Hatta.
Di kemiliteran sempat menduduki jabatan sebagai Kepala Kantor Pendidikan Politik Tentara Maskas Besar Angkatan Darat di Yogyakarta.
Dalam bidang politik sempat aktif pula di Masjumi periode awal. KH Abdul Mu’thi wafat pada tanggal 20 September 1976 di RS Muhammadiyah Jakarta.
Jadi, jas mewah Abdul Mu’thi zaman kolonial meski zaman milenial telah muncul tokoh sekaliber Abdul Mu’ti. (*)
Penulis Prima Mar Kritanto. Editor Mohammad Nurfatoni.