Ilmu Berhitung ala Nabi adalah renungan Ramadhan yang mengingatkan cara pandang kebanyakan orang pada materi padahal perspektif ilahiyah itu lebih membahagiakan.
PWMU.CO-Suatu hari Aisyah ra menghidangkan makanan paha domba kesukaan Rasulullah. Lalu Rasulullah bertanya, ”Ya Aisyah, apakah sudah kamu beri Abu Hurairah tetangga kita?”
Aisyah menjawab, ”Sudah, ya Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi, ”Bagaimana dengan Ummu Ayman?”
Aisyah kembali menjawab, “Sudah, ya Rasulullah.”
Kemudian Rasulullah bertanya lagi tentang tetangga-tetangganya yang lain, apakah sudah diberi masakan tersebut. Sampai Aisyah merasa penat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Lantas Aisyah menjawab, “Sudah habis kubagikan, ya Rasulullah, yang tinggal apa yang ada di depan kita ini.”
Rasulullah tersenyum. Lalu dengan lembut menjawab, ”Kamu salah Aisyah, yang habis adalah apa yang kita makan ini dan yang kekal adalah apa yang kita sedekahkan.”
Ilmu Hitung Ilahiyah
Penjelasan Rasulullah dalam hadits itu menyadarkan kesalahpahaman kita soal ilmu berhitung. Orang awam memandang kehidupan ini hanya soal materi. Masakan gule kambing satu ekor jika dibagi-bagi kepada semua tetangga pasti habis. Kita kecewa kalau hanya tersisa semangkok. Sebab tak bisa nambah lagi.
Tapi ilmu berhitung Rasulullah perspektifnya di atas materi. Ilmu hitung ilahiyah. Justru makanan yang dibagikan kepada tetangga itu kekal. Bisa kita nikmati kembali berupa pahala sedekah yang nikmatnya bisa jadi lebih luar biasa. Hanya makanan yang kita makan itu saja yang habis.
Rasulullah sebelum menjadi Nabi adalah keluarga kaya raya. Hidup mapan sebagai pedagang. Bahagia bersama anak istri. Begitu terpilih sebagai Nabi, seluruh hartanya diberikan untuk perjuangan dakwah Islam.
Sebagai pemimpin negara Madinah, Rasulullah mendapat bagian seperlima tiap ghanimah. Dengan harta itu sebenarnya Rasulullah bisa hidup kaya sebagai kepala negara. Namun tiap kali dapat setoran ghanimah langsung dia letakkan di masjid. Lalu diumumkan orang-orang miskin silakan mengambilnya.
Walhasil Rasulullah tak punya harta yang disimpan di rumah. Nabi juga tak menganggarkan biaya operasional untuk urusan rumah tangganya. Kas negara tak banyak isinya. Karena itu Rasulullah tak mengangkat staf khusus anak-anak milenial yang bisa menyodorkan proposal pakai uang negara untuk proyek perusahaannya.
Istri-istrinya hanya diberi nafkah yang pas-pasan. Mereka pun hidup di rumah petak yang menempel di samping masjid. Bukan di istana. Bahkan saat putrinya ingin minta budak untuk membantu kerja di rumah ditolak. Hanya diberi kalimat dzikir diucapkan sebelum tidur yang kemudian dikenal sebagai dzikir Fatimah.
Seandainya semua manusia mau mengamalkan ilmu berhitung ala Nabi maka tak ada keserakahan. Andai saja semua pemimpin bisa meniru kesederhanaan Nabi maka tak ada pencitraan dan ambisi berebut jabatan. Alangkah bahagianya dunia seperti itu. Wallahu a’lam bishowab. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto