PWMU.CO-Sunan Bonang dalam cerita tutur selalu digambarkan sebagai juru dakwah yang santun dan akomodatif terhadap adat budaya masyarakat pra Islam. Bahkan memakai media wayang, tembang, gamelan, lagu dolanan dalam mengenalkan Islam.
Tapi di Serat Darmogandul, penggambarannya lain sama sekali. Di serat ini Sunan Bonang dilukiskan mirip Nabi Ibrahim yang merusak patung-patung pujaan warga Daha Kediri. Kisah di serat ini menceritakan satu fragmen berdakwah ke Daha bersama dua orang santrinya.
Dalam serat ini nama Bonang ditulis Benang. Apakah ini perubahan dialek atau disengaja sebagai ejekan tidak ada penjelasan.
Serat Darmogandul adalah catatan kisah versi kelompok yang tak menyukai perkembangan Islam di Jawa yang membuat agama mereka menjadi tersisih. Penulisnya menyebut diri dengan nama Kalamwadi.
Fragmen Sunan Bonang dalam serat ini agaknya menjadi bahan cerita Babad Daha karena ada kemiripan alur dan tokoh-tokohnya. Diwarnai dialog ketuhanan. Karena bukan versi Islam maka sudut pandangnya berbeda dengan gambaran walisongo yang populer selama ini.
Kisah Sunan Bonang bersama dua santrinya bermula dalam perjalanan ke Daha. Sampai di daerah Kertosono terjadi banjir. Ketika hendak shalat Duhur, air banjir sangat kotor. Dia menyuruh santrinya meminta air bersih ke warga.
Di sebuah rumah bertemu gadis sedang menenun. Santri itu lalu minta air bersih. Rupanya terjadi salah paham. Si gadis menyangka pemuda itu menggodanya. Dengan ketus dia menjawab, ”Banyak air kok masih minta air. Ini ada air kencingku yang bersih.”
Santri itu langsung pergi dan melaporkan hal itu. Sunan marah lalu mengutuk desa itu menjadi kekeringan selamanya. Perawan dan jejaka telat kawin semua. Maka aliran banjir berubah arah menerjang desa lain merusak segalanya. Desa ini menjadi kering kerontang. Dia lantas menamai desa itu Kutho Gedhah. Artinya, penduduknya tidak jelas agamanya.
Buta Locaya Melawan
Peristiwa di Kutho Gedhah sampai ke Nyai Plencing, patih Buta Locaya. Dua nama ini bangsa jin penguasa Daha setelah Sri Aji Jayabaya meninggal. Buta Locaya asalnya manusia menjadi patih Raja Jayabaya. Nama aslinya Ki Daha. Ketika rajanya moksa, dia pun ikut moksa menjadi raja jin yang tinggal di Gua Selabale Gunung Klotok.
Nyai Plencing bersama pasukannya melawan Sunan Bonang tapi kalah. Lalu dia pergi melapor kepada Buta Locaya. Raja demit jin ini langsung bangkit mengerahkan pasukannya menghadang Sunan dengan berwujud manusia bernama Kiai Sumbre di Desa Kukum.
Sunan Bonang datang dari arah utara sudah merasakan hawa panas para jin langsung mengerahkan kekuatan ilmunya. Pasukan jin lari. Tinggal Kiai Sumbre yang selalu mengikuti kemana pun Sunan pergi.
Sunan Bonang berkata, Buta Locaya kenapa kamu mengikutiku. Lalu dijawab Buta Locaya, kamu orang mana kok perilakumu bukan seperti orang Jawa telah membuat kerusakan.
Sunan berkata, aku orang Arab, namaku Sayid Kramat. Asalkan di Bonang. Aku ke Kediri
ingin melihat peninggalan istana Sang Prabu Jayabaya.
Buta Locaya mengatakan, Anda tidak mencerminkan seorang bijaksana dan berbudi luhur, melainkan lebih tepat lagi disebut dengan gelandangan. Beraninya hanya mengandalkan kesaktiannya. Bersikaplah rendah hati sehingga dikasihi oleh Hyang Widdhi, dikasihi oleh sahabat, dan bukannya bertindak semau-maunya sendiri dengan tidak melihat kesalahannya.
Menghancurkan Patung
Sunan Bonang lantas pergi masih diikuti Buta Locaya. Sampai di Desa Bogem. Di sini ada patung kuda berkepala dua. Letaknya ada di bawah pohon trenggulun. Sunan Bonang menghancurkan kepala patung kuda itu.
Buta Locaya langsung
marah. ”Itu peninggalan Prabu Jayabaya. Lambang tekad wanita
Jawa. Sunan Bonang menjawab, kamu itu bangsa dhemit sombong.
Sunan Bonang lalu pergi ke utara. Sampai waktunya Asar. Ada sumur tapi tidak ada ember untuk menimba air. Dia lalu menggulingkan sumur itu hingga bisa mengambil airnya. Sumur itu lantas disebut sumur Gumuling.
Setelah
shalat Sunan Bonang berjalan lagi sampai di desa Nyahen. Ada patung raksasa
wanita di
bawah pohon dadap yang berbunga merah merona. Bahu kanan patung dihancurkan
oleh Sunan Bonang. Kemudian dahinya juga dirusak dan diludahi.
Buta Locaya marah. ”Anda itu benar-benar orang brengsek. Patung bagus-bagus dirusak tanpa sebab. Patung itu adalah peninggalan Sang Prabu Jayabaya.”
Sunan Bonang menjawab, arca ini saya rusak supaya jangan disembah oleh orang banyak, jangan diberi sesaji dan mantra. Menyembah patung itu kafir. Lahir dan batinnya tersesat.
Buta Locaya berkata, orang Jawa tahu patung itu dari batu. Bukan tuhan. Diberi kembang agar hantu bertempat di situ supaya tidak mengganggu tanah dan kayu yang ditempati manusia. Patung itu buatan Prabu Jayabaya yang juga kekasih tuhan.
Di serat ini Sunan Bonang diceritakan mengaku khilaf. Lalu ditawari berguru ilmu ke Buta Locaya. Sunan Bonang menolak lantas kembali ke Bonang. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto