Thiyarah: Berpikir Sial yang Dilarang Nabi ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Ngaji Ramadhan kali ini berangkat dari hadist riwayat Bukhari-Muslim (muttafaqun alaihi) sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الصَّالِحُ وَالْفَأْلُ الصَّالِحُ الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ. متفق عليه
Dari Anas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada keyakinan bahwa penyakit itu datang sendiri dan tidak boleh bersikap thiyarah. Sesungguhnya aku kagum dengan pikiran yang positif, yaitu perkataan yang baik.”
Definisi Thiyarah
Thiyarah atau tathayyur didefinisikan dengan maa yutasyaa amu bihi . Yakni sesuatu yang dianggap menjadi penyebab kesialan. Thiyarah merupakan sikap pesimis terhadap kondisi atau keadaan yang dihadapinya.
Bisa juga bermakna sikap menyalahkan sesuatu yang lain karena kesialan yang sedang menimpanya atau kegagalan yang sedang dihadapinya. Dampak negatifnya adalah berputus asa.
Sebagaimana dalam hadits lain Rasulullah SAW menyampaikan, tiadalah seorang mukmin terjerembab dalam lubang (juhrun) yang sama dua kali.
Dengan demikian setiap kali terjadi kegagalan maka kita mesti pandai mengevaluasi diri. Supaya kita tidak melakukan kesalahan yang sama dua kali atau bahkan sampai berkali-kali, dibutuhkan sikap selalu intropeksi dan juga konsentrasi dalam menjalankan berbagai aktivitas. Dengan selalu menjunjung tinggi profesionalitas dalam bidangnya masing-masing.
Maka seorang mukmin seharusnya memiliki integritas pribadi yang baik, yakni jujur dan dapat dipercaya, bertanggung jawab serta setia pada nilai-nilai moral yang ada.
Tidak Ada Kesialan dalam Islam
Thiyarah merupaka sikap yang dilarang oleh Rasulullah SAW, karena dengan menganggap adanya thiyarah, banyak hal terlarang yang dilakukan oleh manusia. Di antaranya dengan istilah membuang sial, mereka melakukan berbagai macam acara-acara bahkan ritual yang tidak semestinya dijalankan. Misalnya mengadakan acara-acara budaya yang sarat dengan nilai kebid’ahan dan kesyirikan.
Allah SWT melengkapi manusia dengan segala potensinya masing-masing. Sekaligus adanya suatu tantangan untuk mencapai kesuksesannya. Kemampuan akal sebagai alat berfikir untuk memilih dan memilah, selanjutnya dapat memutuskan terhadap langkah berikutnya yang harus dilakukan.
Seperti orang yang sedang bermain catur, konsentrasi dan waspada terhadap berbagai keadaan, juga memiliki strategi untuk dapat tetap survive dalam menjalani kehidupan.
Dengan potensi masing-masing tersebut, diharapkan tidak ada manusia yang terpuruk dan tidak bisa bangkit lagi. Al-Islam mengajarkan untuk kita selalu berusaha (ikhtiyar) dengan mengerahkan segala potensi tersebut.
Kesabaran untuk mengikuti tahapan-tahapan menuju keberhasilan harus selalu di upayakan, kadang jalan ini sangat licin untuk dilalui, jika tidak berhati-hati bisa jadi terpeleset dan bahkan terpelanting.
Kadang pula terjal dan berbatu yang jika tidak waspada akan terantuk batu dan berdarah. Kadang pula kita berhadapan dengan seolah-olah jalan buntu, tetapi pasti jika kita masih diberi kesempatan hidup, berarti jalan alternatif itu juga telah disediakan.
Pantang bagi seorang mukmin untuk berputus asa. Sekecil apapun daya dan kemampuan yang tersisa harus dikerahkannya.
Walaupun terkadang dengan susah-payah. Maka Allah SWT tidak pernah menyia-nyiakan usaha hamba-hamba-Nya. Usaha yang tetap dalam nilai-nilai kebenaran. Bukan yang memalui jalan pintas dengan menghalalkan segala cara dan upaya. Karena yang ingin kita dapatkan bukanlah sebanyak-banyaknya semata, tetapi yang lebih penting adalah sebersih-bersihnya.
Perintah Berpikir Positif
Selalu mencari kambing hitam setiap menghadapi masalah bukanlah jawaban. Negatif thinking (suudldlan) atau berburuk sangka bukanlah solusi yang tepat. Karena akan menimbulkan sifat pesimis di tengah kehidupan yang semakin kompetitif.
Positif thinking dan visioner merupakan pribadi yang harus dibangun, memiliki jiwa yang penuh optimistis menatap masa depan gemilang.
Tiada kesialan disebabkan oleh sesuatu. Tetapi tengoklah ke dalam diri kita, di situlah terdapat penyebabnya. Selalu semangat untuk terus bergerak maju, berjuang dan selalu berjuang, insya Allah jika jalan yang kita lalui adalah benar, pasti kita akan memetik buahnya.
Bukankah dalam setiap panggilan shalat kita selalu diseru: hayya ‘alal falah, mari menuju kejayaan dan kesuksesan. Mari menatap hari esok selalu lebih baik dari hari ini. Mari menatap tahun ini lebih baik daripada tahun kemarin.
Thiyarah merupakan keyakinan yang sangat berbahaya. Bahkan dalam kesempatan lain Rasulullah SAW menyampaikan: Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik—-beliau ucapkan sampai tiga kal—dan tidak seorang pun dari kita kecuali (akan mengalami thiyarah ini), akan tetapi Allah akan menghilangkannya (dari diri kita) dengan bertawakal.” (HR Abu dDaud).
Thiyarah merupakan bentuk sikap pesimis terhadap kondisi atau keadaan yang dihadapinya. Atau juga sikap menyalahkan sesuatu yang lain karena kesialan yang sedang menimpanya atau kegagalan yang sedang dihadapinya. Sedangkan lawannya adalah alfa’lushshalih atau berfikir positif (positive thinking). Sehingga thiyarah berarti juga dapat dimaknai dengan berpikir negatif (negative thinking).
Positif Thingking Melawan Thiyarah
Kedua aktivitas berfikir ini memiliki dampak yang luar biasa. Dan itulah yang sering kita dengar dari para motivator, they can because they think they can. Yakni mereka bisa karena mereka berpikir mereka bisa. Sehingga tidak diperkenankan berpikir negatif, “tidak bisa” atau “tidak sanggup” atau “itu sulit” dan lain sebagainya.
Karena hal itu menjadi penyebab sebagaimana yang dipikirkannya tersebut. Maka yang ada adalah harus optimal berusaha sampai titik akhir semaksimal mungkin, dan selalu berfikir bisa dan bisa.
Berpikir positif melahirkan kata-kata yang positif. Kata-kata inilah dalam Islam disebut sebagai kalimatul hasanah atau kalimatuththayyibah yakni kalimat yang baik. Dari berpikir positif akan melahirkan kata-kata yang positif. Dari kata-kata yang positif melahirkan pula sikap yang positif, dan itulah modal utama dari keberhasilan atau kesuksesan bagi seorang mukmin.
Sudah seharusnya seorang mukmin adalah seorang yang sukses dunia sampai akhirat, sebagaimana doa yang selalu dipanjatkannya. Sekaligus sebagai tujuan dari diturunkannya syariah ini.
Build islamic character atau membangun karakter islami merupakan hal mutlak dari sebuah pendidikan Islam. Diharapkan generasi Muslim adalah generasi yang memiliki kompetensi baik secara moral atau etika dan juga secara kemampuan dalam penguasaan sains dan tehnologi. Semua itu dalam rangka mengejawantahkan fungsi sebagai khalifatullah fil ardl atau sebagai wakil Allah di muka bumi ini.
Seorang Mukmin harus kuat, maka indikatornya ia lebih banyak bermanfaat bagi lainnya. Dan itulah jiwa mukmin sejati, yang pantang menyerah dan berputus asa. Jiwa seorang mukmin adalah jiwa yang selalu siap menerima tantangan dengan berbagai kebaikan yang menjadikan ia semakin berkapasitas.
Maka seorang mukmin memiliki jiwa petarung sejati, siap berjuang sampai titik keringat bahkan titik darah penghabisan. Dan ujung dari semua itu adalah kesuksesan dan kebahagiaan tiada tara karena mampu mempersembahkan kemampuan diri pada Sang Maha Pencipta. Yang hakekat kemampuan tersebut juga berasal dari-Nya.
Hidup Jangan Game Over
Ibarat sedang bermain game, seorang Mukmin akan selalu ingin menghancurkan lawan-lawannya. Musuh-musuhnya yang selalu bermunculan dan dengan jumlah yang semakin banyak akan terus di sapunya dengan gagah beraninya.
Karena hanya itulah pilihan yang harus dilakukannya. Sebab jika ia lemah maka yang terjadi adalah game over yang justru menghancurkan diri sendiri. Tetapi ketika ia mampu menghancurkan semua lawan-lawannya maka ia akan menjadi the winner atau sang juara.
Dan terus musuh akan mengintai dan semakin memiliki kecanggihan dalam rangka menghancurkan diri kita. Begitulah seterusnya yang dimuali dari stage 1, 2, 3, dan seterusnya.
Dan ketahuilah! bahwa lawan atau musuh yang sebenarnya adalah sifat-sifat negatif yang bersemayam dalam diri sendiri. Selama kehidupan ini dijalaninya, selama itu pula musuh-musuh itu selalu ada. Dan tentu mereka tidak akan pernah tinggal diam sampai kita menyerah dan dapat dikendalikannya.
Medan tempur itu ada dalam qalbu ini. Setiap saat dan setiap waktu pertempuran sengit itu terjadi walaupun tanpa kita sadari. Dan terutama seharusnya dapat kita rasakan saat kita sedang menegakkan shalat. Fokus dan tetap konsentrasi dalam penghayatan untuk masuk ke wilayah qalbu tersebut.
Turut serta langsung masuk dalam medan tempur menghancurkan segala bentuk sifat negatif dan kekakuan diri dari ketundukan kepada Sang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
Dengan senjata kalimat takbir dari satu gerakan ke gerakan lainnya seharusnya musuh-musuh itu dapat dilumpuhkannya. Tetapi karena lengah maka senjata itu selalu tidak mengenai sasarannya yang tepat. Jadilah kita selalu kalah dan kalah.
Saatnya kita bangkit lagi menyusun strategi dan kekuatan. Hidup cuma sekali sedangkan waktu terus berjalan. Kesempatan ini begitu berharga untuk disia-siakan, maka jadilah petarung tangguh dalam setiap sesi game kehidupan yang terus berjalan.
Hanya dengan selalu bersikap optimis untuk selalu berusaha (ikhtiyar) dan selanjutnya tawakkal kepada Allah kita dapat terhindar dari keyakinan thiyarah atau tathayyur ini.
Semoga kajian Thiyarah: Berpikir Sial yang Dilarang Nabi ini bermanfaat! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.