Bersama Yatim di Rumah dan Surga ditulis oleh Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Ngaji Ramadhan kali ini berangkat dari hadist riwayatBukharii, sebagai berikut:
عن سهل بن سعد، قال: رسول الله – صلَّى الله عليه وسلَّم -: أنا وكافل اليتيم في الجنة هكذا، وأشار بالسبَّابة والوسطى، وفرَّج بينهما شيئًا؛ أخرجه البخاري
Dari Sahl ibn Sa’ad dari Rasulullah SAW bersabda: “Aku dan orang yang menanggung anak yatim berada di surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan dua jarinya yaitu telunjuk dan jari tengah.
Yatim jamaknya aitam wa yataamaa yaitu man faqada abaahu walam yablugh mablagharrijaal yakni barangsiapa yang ditinggal orang tuanya dan belum mencapai usia baligh (laki-laki dewasa). Maka yatim berarti anak-anak yang ditinggal oleh bapak atau ayahnya sebelum ia baligh.
Dalam masyarakat kita yatim menjadi perhatian yang begitu serius, sehingga banyak sekali panti-panti asuhan khusus anak yatim. Bahkan sekarang ini bukan hanya panti asuhan—suatu tempat yang disediakan untuk dihimpunnya anak yatim—yang didirikan.
Tetapi juga lembaga-lembaga sosial yang juga dalam rangka pemberdayaan anak-anak yatim, baik yang dihimpun dalam panti asuhan maupun yang masih bersama keluarganya.
Pendusta Agama
Al-Quran memang menjelaskan agar kita senantiasa memperhatikan anak yatim ini. Bahkan disebut sebagai pendusta agama dan juga shalatnya tidak serius atau lalai jika kita suka menghardik anak yatim.
Sebagaimana dalam isyarat al-Ma’un 1-7:
أَرَءَيۡتَ ٱلَّذِي يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ ١ فَذَٰلِكَ ٱلَّذِي يَدُعُّ ٱلۡيَتِيمَ ٢ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِينِ ٣ فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥ ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ ٦ وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ ٧
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Dalam ayat di atas sangat jelas bahwa anak-anak yatim janganlah dihardik tetapi harus disantuni sedemikian rupa. Sehingga mereka tidak kehilangan kasih sayang sebagaimana dari orang tuanya. Tetapi karena ayat di atas juga menjelaskan tentang kebutuhan pokok bagi kaum miskin atau kaum yang lemah. Maka seharusnya lembaga-lembaga itu juga memperhatikan akan hal ini.
Karena kedua keadaan tersebut yakni yatim dan miskin sama-sama harus diperhatikan. Sehingga kita tidak hanya fokus pada perhatian pada anak yatim saja.
Fakir Miskin Prioritas Utama
Bahkan dalam urusan miskin, jamaknya masaakin, ini juga mendapat perhatian lebih serius dalam al-Quran. Di antaranya bagi pembayar fidyah maka yang diperhatikan adalah orang miskin (al-Baqarah 184).
Demikian juga untuk shadaqah—baik yang wajib misalnya zakatul fitri (zakat fitrah) dan zakatul maal serta shadaqah sunnah lainnya—tetap harus memperhatikan fakir dan miskin.
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan. Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (at-Taubah 60).
Ayat di atas menggunakan kalimat shadaqah dalam bentuk jamak shadaqaat. Para mufassir (ahli tafsir) sepakat ayat ini berkenaan dengan zakat karena ada kalimat faridhah. Dalam ayat itu shadaqah diberikan dengan prioritas, sesuai urutan penyebutan. yaitu: 1) Orang-orang fakir. 2) Orang-orang miskin. 3) Pengurus-pengurus zakat. 4) Para mualaf yang dibujuk hatinya. 5) Untuk (memerdekakan) budak. 6) Orang-orang yang berhutang. 7) Untuk jalan Allah. 8) Untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.
Oleh karenanya hak untuk fakir mestinya jauh lebih besar dari pada miskin demikian pula selanjutnya. Dengan demikian anak yatim bisa jadi terkategori fakir dan miskin ini, maka tentu harus diperhatikan pula sebagaimana kita memperhatikan dengan serius para fakir miskin.
Tetapi jika si yatim sudah memiliki kecukupan, tentu perlakuan kita adalah memberikan kasih sayang yang sebaik-baiknya, dengan memberikan perhatian dan mengakrabinya untuk sekadar bercengkrama misalnya.
Sehingga mereka bukan dianggap sebagai anak yang tidak dipedulikan atau bahkan terasing di masyarakatnya. Kadang tidak perlu mereka harus dipisahkan dari keluarganya untuk ditampung di panti asuhan. Sebab justru keluarganya itulah yang dapat menyayanginya dengan baik di samping kita juga harus melakukannya.
Jadi ‘Komoditas’
Masyarakat kita perlu mencermati hal ini: perhatian pada kaum lemah sesungguhnya prioritas dari shadaqah kita, termasuk misalnya santunan khususnya di bulan suci Ramadhan ini.
Karena kita lihat sekarang ini seolah-olah, maaf, keadaan yatim menjadi ‘komoditas’ tersendiri, sehingga panti-panti asuhan yatim khususnya memiliki kelebihan secara finansial.
Padahal ketika kita hendak mengeluarkan harta mestinya kita tahu bagaimana keadaan atau kondisinya. Kalau memang sudah berlebih maka kita perlu menengok kepada yang menjadi skala prioritas sebagaiman ayat di atas.
Menghimpun di Rumah
Hadits Rasulullah di atas maupun ayat-ayat yang berkenaan dengan anak yatim tidak terbersit untuk kita menghimpun anak yatim dalam satu panti asuhan. Karena itu sebaiknya biarlah mereka tetap bersama keluarganya.
Tetapi jika mereka telah kehilangan keluarganya bisa jadi mereka kita tampung di keluarga kita sendiri atau keluarga-keluarga kaum muslimin lainnya.
Itulah sesungguhnya perlakuan yang paling baik bagi mereka. Sebagaimana isyarat hadits di atas. Bahkan Allah mewanti-wanti untuk kita berhati-hati terhadap amanah harta dengan atas nama mereka.
Dan ketika mereka sudah dewasa maka amanah harta itu harus sepenuhnya diserahkan kepada mereka.
وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدٗا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافٗا وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ وَمَن كَانَ غَنِيّٗا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ فَقِيرٗا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡ فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبٗا ٦
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.
Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (an Nisa:6).
Semoga kita bisa bisa bersama yatim di rumah dan surga! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.