Anshari Thayib: Pejuang Bersenjata Pena mengulas sosok wartawan yang juga dikenal sebagai intelektual, kiai, penulis, dan pemimpin yang menyejukkan.
PWMU.CO – Jika ada sejumlah wartawan Surabaya yang sangat idealis, salah satunya yang penting disebut adalah H Anshari Thayib. Sosok yang juga tekun saat menjadi salah satu Wakil Ketua Majelis Pustaka Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim 1995-2000.
Anshari Thayib dikenal sebagai aktivis dan pejuang bersenjata “pena”. Hampir semua ide, gagasan, dan aktivitas yang mencerminkan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai yang diyakininya selalu dituangkan dalam tulisan.
Banyak buku dan tulisannya yang tersebar di berbagai media massa. Kepiawaian dalam mengekspresikan ide, gagasan, dan tindakan dalam tulisan itu sudah kentara sejak mahasiswa.
Guru Menulis
Ketika masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, dia sudah menjadi tokoh pers mahasiswa. Tak heran jika kepiawaian dalam dunia kepenulisan itu mampu ditularkan kepada banyak orang menjadi penulis.
Salah satunya Prof Zainuddin Maliki—mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya yang kini adi anggota DPR RI. Menurut cerita Wakil Ketua PWM Jatim ini kepiawaian dalam menulis itu adalah hasil dia ‘nyantri’ kepada Anshari Thayib.
Suatu ketika, di tahun 1970-an Zainuddin Maliki diminta bantuan untuk mencarikan fasilitator latihan jurnalistik yang diselenggarakan oleh santri-santri Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo. Langsung saja, Zainuddin meminta Anshari Thayib untuk memenuhi permintaan santri dan mahasiswa Gontor tersebut.
Anshari yang kala itu sebagai Kepala Biro Majalah Tempo di Jawa Timur, ternyata bersedia datang. Diajak serta satu orang temannya saat itu yang juga wartawan Tempo. Temannya itu belakangan pernah menjadi CEO Jawa Pos dan Direktur Utama Perusahaan Listrik Nasional (PLN). Dialah Dahlan Iskan.
Keduanya mengisi pelatihan itu untuk beberapa hari lamanya. Uniknya, kedua orang tersebut ternyata enjoy saja menikmati fasilitas ala santri: tidur beralaskan tikar, dan makan ramai-ramai.
Wartawan Berkarakter
Anshari Thayib pantas dicatat dengan tinta emas sebagai jurnalis yang berkarakter. Karakter itu tampak sekali, misalnya ketika memimpin PWI Jawa Timur. Ketika rezim penguasa menerapkan praktik korporatisme negara, sosok yang kemudian hari “akrab” dengan harian Surya ini, mampu mengawal organisasi kewartawanan ini untuk tidak terkooptasi oleh kekuasaan.
Dia kawal PWI dengan semangat kemandirian. Salah satu cara yang Anshari tempuh antara lain memilih menolak meminta dana dari pemerintah, meskipun berbeda halnya kalau pemerintah memberi atas kemauannya sendiri.
Anshari Thayib lahir di Kediri pada tahun 1947. Karir jurnalistik profesionalnya diawali dengan menjadi wartawan di Sinar Harapan di awal tahun 1970-an. Anshari yang ikut mendirikan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI) Cabang Kediri semasa kuliah itu pernah bergabung dengan koran Sinar Harapan, Jakarta dan mengikuti diklat kerja wartawan di LP3ES Jakarta selama empat bulan.
Dari Sinar Harapan dia kemudian bergabung dengan majalah Tempo di Surabaya (1974-1977) dan pernah menjadi koresponden lepas sejumlah media di Jakarta.
Di sela kesibukannya, Anshari mengakhiri masa lajangnya pada 13 Maret 1977, dengan menikahi Sri Hastuti. Beberapa saat kemudian, Anshari mendapat kesempatan mengikuti studi banding pers daerah di Amerika Serikat selama sebulan pada tahun 1981.
Terakhir Anshari bekerja untuk harian Surya pada 1989, sempat menjadi redaktur opini merangkap kepala litbang hingga pensiun pada tahun 2004. Semasa hidupnya, pria berpembawaan murah senyum ini pernah melakukan tugas jurnalitik ke Arab Saudi, RRC, Hongkong, Macao, Taiwan, Singapura dan Amerika Serikat.
Wartawan Kiai
Di mata Dhimam Abror Djuraid, Anshari Thayib adalah wartawan, penulis, aktivis dan sekaligus kiai. “Almarhum adalah guru yang sangat baik bagi wartawan-wartawan generasi di bawahnya,” ungkap Abror yang terpilih menggantikan posisi Anshori Thayib sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim pada tahun 2002. Menurut Abror, ajaran Anshari tentang seorang wartawan ternyata cukup sederhana plus rumit: satu akurat, dua akurat, dan tiga akurat.
Anshari Thayib meninggalkan buku-buku karyanya bersama rekan-rekannya di antaranya adalah Siasat Kiai Pinggiran, HAM dan Pluralisme Agama, Pembangunan Moral: Inti Pembangunan Nasional, Islam di China, Musim Heboh Islam Jama’ah.
Ada juga KAM: Heboh Ongkowidjojo, Korban Islam Jama’ah dan yang Murtad, Rasa Keadilan, Tragedi Masjidil Haram, Jatuhnya Sang Diktator Marcos, Tragedi Besar Tenggelamnya Kapal Tampomas II di Perairan Lembo, Beruang Merah Rusia Mencengkeram Afganistan, Kisah Cinta Pangeran Charles dan Lady Diana.
Buku lainnya: Jawa Timur Menuju Daerah Otonom, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, Struktur Rumah Tangga Muslim, Hasan Bisri dalam Cengkeraman Amir Islam Jama’ah, dan Darah Guru Darah Muhammadiyah: Perjalanan Hidup Abdul Malik Fadjar.
Siasat Kiai Pinggiran
Meskipun kiprah kewartawanannya sangat menonjol hingga terpilih menjadi Ketua PWI Jatim periode 1999-2003, namun Anshari memiliki banyak predikat. Dia dikenal sebagai kiai, karena pengetahuan agamanya yang mumpuni.
Meskipun dia bukan sarjana agama, namun dia sangat lincah menulis artikel populer mengenai kusufian dengan tokoh imajiner, Mbah Ghafur. Anshari ternyata belajar agama dari bapaknya yang bekerja sebagai naib atau penghulu urusan agama Islam di kantor Departemen Agama (Depag).
Selain itu, dia juga ternyata masih ada keturunan ulama dari kakek buyutnya yang bernama Mbah Ghafur, yang memiliki pesantren di Gondang, Purworejo, Kandat, Kediri.
Bahkan, tulisan setiap Jumat dalam rubrik “Siasat di Surya itu sudah dibukukan dengan judul, Siasat Kiai Pinggiran. Lewat tulisan rutin itulah, ilmu keagamaan Anshari terus diasah. “Beliau dikenal sebagai kyai wartawan di Jawa Timur, karena beliau juga seorang mubaligh,” tutur Arifin B.H, koleganya di Surya.
Arifin punya pengalaman dan keterikatan batin tersendiri dengan Anshari. Sebab, dia selalu memanggil Anshari untuk berceramah di masjid dekat rumah jika mubaligh lain berhalangan. Dan jika dipanggil, Anshari ternyata belum pernah mengeluarkan kata “tidak mau”.
Sementara menurut saudara iparnya, Anwar Hudiono, mengenang Anshari sebagai orang yang rendah hati dan sufi. Dua pekan sebelum Anshari wafat, dia yang menjenguk Anshari ketika sakit, keduanya masih sempat bersenda gurau.
Tidak sekadar gurau, tapi juga sarat dengan pesan keagamaan, ketika Anshari memaknai sakit. “‘Ini cobaan setiap Allah SWT akan mengangkat derajat umatnya. Semua ini ujian,’’ tutur Anshari.
Kenangan Dahlan Iskan
Kenangan pribadi tentang Anshari juga dikemukakan oleh Dahlan Iskan. Ketika dia tiba di Surabaya, dia nunut di rumah kos-kosannya Anshari di salah satu gang di Semut Kali Surabaya.
Lalu, ketika Anshari harus pindah ke rumah kontrakan di Kertajaya, Dahlan pun minta dicarikan kontrakan di dekat-dekat situ. “Saya belum begitu paham Surabaya. Maka, dia dapatkan sebuah rumah kecil untuk saya kontrak,” papar Dahlan yang saat itu baru datang dari Kalimantan Timur.
Rumah kontrakan yang dimaksud ternyata terbuat dari setengah bata, setengahnya lagi papan. Lantainya semen. Tidak ada perabotan, dan satu rumah dihuni tiga keluarga. Karena tidak ada saluran air PDAM, tiga rumah itu menggunakan satu sumur di tengah-tengahnya. Tiga keluarga itu juga harus menggunakan kamar mandi yang sama. “Anshari pribadi yang kuat, keras, dan memegang prinsip. Sebagian orang menilainya kaku,” begitu kesan Menteri BUMN era Presiden SBY itu.
Jadi Komisioner Komnas HAM
Dalam sejarah hidupnya setelah pensiun dari Surya, Anshari sempat terpilih menjadi salah seorang komisioner hak-hak asasi manusia (Komnas HAM). Komnas HAM saat itu diisi dan dipimpin oleh orang-orang yang dikenal integritasnya, seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara, Soetandyo Wignjosoebroto, Habib Chirzin, MM Billah, dan lain-lain.
Dalam menjalankan tugas, Anshari banyak turun ke lapangan, menangani kasus-kasus pelanggaran HAM di seluruh Indonesia di kota sampai di pelosok desa, bahkan di tengah rimba dan pucuk gunung mulai dari Aceh, Lampung, NTT hingga Papua.
Anshari temui nasib orang-orang yang terpinggirkan, orang-orang yang lemah, yang tak kuasa menghindar dari terjangan mesin korporatisme negara yang semena-mena.
Keasyikan menjalankan tugas-tugas berat tapi mulia itu tampaknya membuat Anshari tidak sempat memerhatikan kesehatannya. Di tengah-tengah kepadatan agenda menangani kasus-kasus HAM tersebut Anshari terkena stroke ringan.
Tetap Menulis meski Sakit
Meski terobati, tidak bisa pulih seperti sedia kala. Meski demikian, semangat juangnya tak pernah surut. Dalam keadaan kesehatannya tidak lagi seratus persen, Anshari masih menceritakan agenda-agenda yang tengah ditanganinya tentang pelanggaran HAM di Indonesia Timur.
Dalam keadaan kesehatannya tidak lagi seratus persen, tetap Anshari berusaha menempatkan “pena selalu di genggamannya”. Tulisan yang mengekspresikan ide dan gagasan pemihakan, pemberdayaan, dan pembelaannya kepada mereka yang terpinggirkan masih muncul di media dan naskah buku. Sampai akhirnya ipar Menko PMK Dr Muhadjir Effendi MAP ini tak kuasa melawan serangan penyakit kanker tulang.
Pejuang bersenjata pena itu kini telah tiada. Dunia jurnalistik benar kehilangan salah seorang pilarnya. Demikian juga upaya penegakan hak-hak asasi manusia harus rela ditinggal pergi seorang pejuangnya dengan kepergian.
Anshari Thayib dipanggil oleh Al Khaliq dalam usia 61 tahun pada Rabu, 10 September 2008, dengan meninggalkan seorang istri dan dua anak. Istrinya, Sri Hastuti SPdI, ternyata juga seorang “muballighat” yang menyampaikan pelajaran keagamaan dengan menjadi guru agama di SDN Kalirungkut Surabaya.
Sementara anak pertama Syarifah Hanoum, SSi MSi, kini menekuni profesi sebagai Dosen di Institut Teknologo Sepuluh November (ITS) Surabaya, dan adiknya: Iqbal An Hariansyah, SKom, bekerja dalam perusahaan multinasional. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan berjudul asli Anshari Thayib (1947-2008) Pejuang Bersenjata Pena ini dimuat ulang PWMU.CO atas izin Penerbit: Hikmah Press dari buku Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa TimurJilid II, Editor Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, dan MZ Abidin, Cetakan I: 2011