Ketika Non Muslim Tadarus Al Quran, refleksi Nuzulul Qur’an oleh Pradana Boy ZTF, Dosen Program Studi Hukum Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
PWMU.CO – Ini fakta lama. Perihal non-Muslim yang mempelajari Islam, hampir kita semua mengetahuinya. Kelompok inilah yang populer dengan istilah “orientalis.”
Apa yang mereka pelajari pun beragam. Dari sejarah, politik, hukum, budaya, dan tak sedikit pula yang mempelajari al-Quran. Jika mereka mempelajari selain al-Quran, meskipun mengagumkan, tantangannya relatif kecil.
Tetapi, saat menjadikan al-Qur’an sebagai keahlian ilmiah, ada banyak hal menarik. Bagaimanapun, ini menyangkut sikap manusia terhadap al-Quran, dan apalagi sikap non-Muslim.
Karena meyakini al-Quran adalah sebuah sikap iman bagi seorang Muslim, mempelajarinya menjadi kewajiban. Tetapi bagi non-Muslim, mempelajari al-Quran dengan tanpa melibatkan keimanan adalah hal yang sangat menantang.
Padahal, di kalangan Muslim sendiri, sikap terhadap al-Quran pun tidak tunggal. Itu nyata dari Surah Fathir Ayat 32: “Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu, di antara mereka orang-orang yang mendzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang terlebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.”
Tiga Sikap Muslim pada Al-Quran
Sikap Muslim terhadap al-Quran terbagi tiga. Yaitu: dzalimun li-nafsihi (aniaya), muqtashid (cermat, bijak), dan sabiqun bi al-khairat (mendahului).
Para ahli tafsir berbeda-beda dalam memahami ketiganya. Seorang sufi, Dzun Nuun al-Mishri, menyatakan kelompok pertama adalah mereka yang menyebut Allah dengan lidahnya saja. Kelompok kedua adalah mereka yang senantiasa mengingat dan menyebut Allah dalam hatinya. Sementara kalangan ketiga adalah orang yang tak pernah melupakan Allah.
Ada pula pandangan lain menyebutkan bahwa yang “aniaya” adalah mereka yang gemar membaca dan menghafal al-Quran, lalu menjadikan bacaan dan hafalan Qurannya itu sebagai kesombongan, serta tidak mengamalkan isinya.
Mereka yang “cermat”, membaca al-Quran dan mengamalkan isinya, dan semakin jauh al-Quran mereka baca, semakin tawadhu’ pula hatinya. Sedangkan kelompok “mendahului” adalah mereka yang membaca al-Quran, mengetahui isinya, mengamalkannya dengan baik, dan al-Quran semakin mendekatkan mereka kepada Allah.
Terpisah dari perbedaan cara mufasir dalam memberikan makna tiga sikap Muslim atas al-Quran tersebut di atas, Ibn Qayyim al-Jawziyyah seperti dikutip oleh Asma bint al-Rasyid al-Ruwaisyid dalam Hakadza ‘Asyuu ma’a al-Quran: Qisasun wa Mawaqifun (2011: 45) memberikan sejumlah kualifikasi tentang siapa yang disebut sebagai shahib al-Quran (pembawa al-Quran).
Yakni, jika mereka adalah orang-orang yang tidak menghafal al-Quran, maka shahib al-Quran itu adalah al-alimu bihi (yang mengetahui al-Quran), wa al-amilu bima fihi (mengamalkan apa yang ada di dalamnya).
Namun bagi seorang penghafal al-Quran, rumusan sebagai ahl al-Quran atau shahib al-Qur’an itu adalah: man hafidzhahu wa lam yafhamhu wa lam ya’mal bihi falaisa min ahlihi. Siapa yang menghafalkan al-Qur’an, tetapi tidak memahaminya dan mengamalkan apa yang diajarkan di dalamnya, maka mereka sama sekali bukan ahli al-Quran.
Karya Non-Muslim tentang Alquran
Dalam pekan ini saya tercengang membaca sejumlah karya non-Muslim yang membahas tentang al-Quran: Ketika non Muslim tadarus Al Quran.
Namun ada tiga karya yang menarik perhatian saya secara khusus, yaitu: James R. White, What Every Christian Needs to Know About Qur’an (2007); Gordon N. Nickel, The Qur’an with Christian Commentary (2011); dan Denise A. Spellberg, Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders (2013).
Dua di antara tiga ilmuwan ini adalah penganut Kristen, bukan sekadar nominal tetapi Kristen taat (believing Christians). Tetapi demikian dalam dan serius mereka mempelajari al-Quran.
Apakah yang mereka lakukan membawa manfaat kepada Islam atau tidak, tentu menjadi pertanyaan bagi sebagian orang. Namun, membaca pengakuan White, saya memeroleh informasi bahwa ia tertarik belajar al-Quran dengan niat yang lurus.
Ia berkata: “I wish to draw out the Qur’an’s teachings on the key issues that separate Muslims and Christians that form the basis of our dialogue and differences.”
“Saya ingin melihat ajaran al-Quran tentang isu-isu penting yang seringkali menjadi sumber ketegangan antara Islam dan Kristen, yang merupakan dasar bagi dialog dan perbedaan.” (hal 10)
White juga mengakui bahwa tujuannya bersifat teologis. Simaklah pengakuannya: “We desire to honor and glorify the One who has given us life, redemption, forgiveness, and peace…. An accurate knowledge of the Qur’an can help open doors to those conversations. This will provide a foundation of knowledge and insight for communications and understanding. To that task we now turn, beginning where any such inquiry must: the origins of the Qur’an and a man named Muhammad.”
“Kami bermaksud menghormati dan mengagungkan Dzat yang telah memberikan kita kehidupan, penyelamatan, ampunan dan kedamaian… Sebuah pengetahuan yang akurat tentang al-Quran akan membantu membuka pintu bagi percakapan dialog ini. Ini akan berfungsi sebagai landasan bagi komunikasi dan pemahaman. Pada tugas itulah kini kita menuju, yang harus dimulai dari satu asal: asal-usul al-Quran dan seorang pria bernama Muhammad.” (hal 14)
Kejujuran Syarat Menyelami Al-Quran
Demikian pula dengan Nickel. Sebagai seorang Kristen taat dan religius, ia penasaran dengan apa sesungguhnya isi al-Quran. Ia mendengar bagaimana al-Quran berkabar tentang isu-isu penting dalam hubungan agamanya dengan Islam, seperti soal Nabi Isa, Ahl al-Kitab, atau bahkan tentang Yahudi.
Namun, ia tak berhenti hanya mendengar. Maka ia mempelajari al-Quran, melakukan konfirmasi atas segala hal yang ia dengar itu dari sumber asli. Kata Nickel, jika menginginkan validitas, maka dengarkan sumber itu berbicara dengan bahasanya sendiri.
Karena itu, Nickel lalu membuat sebuah sikap menarik, “Non-Muslims who do not accept the Muslim claim that the content of the Quran are revealed by God cannot honestly treat the Quran as divine scripture”
“Non-Muslim yang tidak menerima klaim umat Islam bahwa kandungan isi al-Quran berasal dari Tuhan tidak dapat secara jujur menganggap al-Quran sebagai teks Ilahiyah. Maka, kejujuran dan ketulusan menerima al-Quran sebagai ciptaan Allah adalah syarat mendasar agar seseorang bisa menyelami al-Qur’an.” (hal 16)
Inspirasi Presiden Ketiga Amerika
Hal yang sedikit berbeda terjadi dengan Thomas Jefferson, Presiden Amerika Serikat ketiga. Dalam karyanya tentang hubungan Jefferson dan al-Qur’an, Denise Spellberg mengungkapkan bahwa salah satu inspirasi penting bagi Jefferson ketika merumuskan prinsip kebebasan beragama di Amerika Serikat semasa ia menjabat sebagai presiden adalah sejumlah ayat al-Quran. Sementara motifnya mempelajari al-Quran, kata Spellberg adalah karena Jefferson ingin mengetahui semua agama.
Contoh singkat di atas adalah bukti bahwa White, Nickel, maupun Jefferson sebagai non-Muslim telah menunjukkan ketertarikan mereka kepada al-Quran dengan berbagai motif dan orientasi.
Dengan merujuk kepada Ibn Qayyim di atas, mereka bertiga barangkali tak akan masuk ke dalam kategori shahib al-Quran maupun ahl al-Quran, secara rigid, secara kaku, sebagaimana Muslim secara formal menganggapnya. Namun, bagi saya sendiri, meneladani sikap antusias dan positif outsider seperti mereka kepada al-Quran, rasa-rasanya bukanlah sebuah kesalahan.
Akhirul kalam, meskipun Anda sudah sampai akhir tulisan ini, jangan pernah merasa tulisan ini untuk Anda. Catatan ini saya buat bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk diri saya sendiri.
Rasanya saya malu dengan apa yang telah dilakukan orang-orang yang saya contohkan di atas. Saya memang beriman kepada al-Quran dan membacanya. Namun, masuk ke dalam jiwa al-Quran dengan motivasi yang demikian subtil seperti dilakukan oleh tiga non-Muslim itu masih selalu gagal saya jalankan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.