Junus Isa: Kisah Pejabat Depag yang Jujur dan Sederhana. Meski 17 tahun menjadi pajabat Depag, status ekonominya tak berubah. Dia kembalikan ‘pesangon’ saat pensiun.
PWMU.CO – Di lingkungan Kantor Departemen Agama (Kandepag) H Junus Isa dikenal sebagai pejabat yang jujur dan bersahaja. Ia simbol kejujuran dan keteladanan, bukan hanya bagi jajaran Departemen Agama—kini Kementerian Agama—tetapi juga bagi segenap lapisan masyarakat.
Mungkin karena kebersahajaannya pula, mantan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Trenggalek periode 1990-1995 dan 1995-2000 ini kendati menjabat Kepala Kandepag selama 17 tahun, status ekonominya tidak mengalami peningkatan signifikan.
Di antara bukti kesederhanaannya tergambar jelas sesaat setelah pensiun dari Kepala Depag Ponorogo tahun 1988. Lazimnya pejabat zaman Orde Baru, dia dijatah “pesangon” mobil yang biasa dijadikan kendaraan dinasnya. Namun, ia tidak mau menerimanya, bahkan semua fasilitas yang melekat padanya saat bertugas dikembalikan pada negara.
Setelah surat keputusan pensiun turun, ia segera menyerahkan BPKB, STNK, dan kontak mobil kepada Jito, sopirnya, untuk dikembalikan ke kantor. Junus sangat yakin bahwa akan ada “pemaksaan” dari atasannya untuk menerima mobil tersebut, sehingga dia mengancam pada sopirnya.
“Jika kamu sampai berani mengantarkan kembali mobil ini ke rumah saya, maka saya sumpahi pantatmu akan lengket di kursi rumah saya. Kamu tahu saya, kan?”
Rupanya instansi Depag tidak menyerah begitu saja dalam urusan mobil ini. Tak heran jika para petinggi Kanwil Depag Jatim harus bertandang ke rumah Junus, merayunya agar mau menerima mobil itu.
Namun, ia tetap yakin bahwa mobil itu bukan haknya, sehingga harus ditolak dan dikembalikan kepada negara. Setelah pensiun, Junus pun mengubah kultur kehidupannya, dari kebiasaan bermobil dan diantar sopir menjadi setia naik sepeda angin (onthel).
Riwayat Pendidikan dan Karir
Ihwal pembelajaran karakter, Junus tampaknya tidak lepas dari didikan keluarganya. Lahir di Trenggalek dari pasangan Ngaisoh-Thoiroh pada 6 Februari 1932, ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) setempat.
Sambil sekolah formal, dia meluangkan waktu belajar agama di mushala dekat rumahnya. Dia melanjutkan ke Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA) di Malang, seangkatan dengan Sobirin, mantan Kepala Kanwil Depag Jatim.
Lulus dari SGHA pada 1952, ia langsung diangkat sebagai PNS. Sejak itu, hingga 14 tahun kemudian, dia pernah ditempatkan di kantor Depag pusat di Jakarta, Semarang, Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Bali.
Pada tahun 1960-an awal, dia sempat kembali ke Trenggalek, tapi kemudian berpindah-pindah lagi. Di sela tugas sebagai abdi rakyat tersebut, Junus menikahi gadis kelahiran 16 April 1941, Hartati.
Pada 1972, Junus benar-benar kembali ke Trenggalek, dengan jabatan sebagai Kepala Kandepag. Karena prestasinya dalam memajukan pembinaan keagamaan dan pendidikan di tingkat madrasah, ia dipercaya menjabat selama 13 tahun.
Kepercayaan yang cukup lama ini tentu tidak bisa lepas dari integritasnya yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Barulah tiga tahun sebelum pensiun pada 1988, dia dimutasi ke Ponorogo dengan jabatan yang sama.
Rumahnya Doyong Bikin Kaget Atasan
Selama memimpin Depag Trenggalek, ia boleh dibilang sebagai pengecualian dari tesis Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup (power tends to corrupt). Kekuasaan baginya bukan sesuatu yang memabukkan. Juga bukan wadah menumpuk kekayaan, tapi benar-benar wadah pengabdian. Gaya hidupnya konsisten, bersahaja, meski jabatannya cukup bergengsi. Benar saja: Junus Isa: Kisah Pejabat Depag yang Jujur dan Sederhana.
Pada tahun 1976, atau 4 tahun setelah menjadi Kakandepag misalnya, salah seorang Direktur Jenderal Depag, Irsyam, pernah berkunjung ke Trenggalek dan ingin menginap di rumah Junus. Setelah bertanya tetangga kiri-kanan, akhirnya ditemukan alamat yang dituju. Sebuah rumah berlantai tanah yang sudah doyong ke timur, dan disangga 4 buah bambu.
“Betul ini rumahnya Junus Isa?” tanya Irsyam berulang kali seolah tak percaya dengan kondisi rumah Kakandepag. Karena saat itu, Junus Isa sedang pergi ke Surabaya, maka anaknya yang pertama, Imam Santoso, meyakinkan bahwa rumah itu memang milik ayahnya. Baru pada malamnya, sang Dirjen haqqul yaqin bahwa rumah itu milik Kakandepag Trenggalek setelah diajak sang pemilik untuk menginap di sana.
Empat tahun kemudian (1980), entah siapa yang melakukan, rumah yang hampir roboh itu dibangun. Pembangunannya berjalan cepat, karena dilakukan ketika pemiliknya sedang tidak berada di Trenggalek.
Selama 31 tahun, rumah yang kini jadi “tempat cangkruan” kaum muda Muhammadiyah, itu tidak pernah mengalami perubahan. Selain alasan keterbatasan dana, “pencagarbudayaan” ini juga merupakan salah satu cara Junus Isa menanamkan kesederhanaan-kejujuran pada generasi setelahnya.
Tak Mau Makan Fee Proyek Negara
Kejujuran Junus Isa juga terekam saat dia mendapat proyek pangadaan lahan untuk kepentingan Depag. Tanah yang dibeli seluas 2000 meter persegi, dengan anggaran yang sudah disetujui negara.
Jika hanya untuk membeli lahan 2000 meter, anggaran tersebut sudah lebih dari cukup sehingga membuka peluang baginya mendapat “fee” besar. Namun, oleh Junus, semua uang itu tetap dibelikan tanah, sehingga dapat lebih dari dua hektar.
Segala kejujuran dan kebersahajaan selama menjadi Kandepag inilah yang membuat Junus Isa hampir tidak berubah status ekonominya. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar bukan hanya bagi orang luar, melainkan juga kerabatnya sendiri.
Sesaat setelah pensiun misalnya, dia dipanggil ke rumah kakaknya ditanya tentang ihwal kehidupannya yang tidak mengalami perubahan selama 17 tahun menjadi Kakandepag. Selain rumah yang berstatus warisan, pada saat itu ternyata ke-7 anaknya belum ada yang bekerja dan menikah. Namun, oleh Junus, pertanyaan itu dijawab dengan senyum: jawabannya mungkin dua jam tidak selesai.
Aktivitas di Muhammadiyah
Dalam Persyarikatan, Junus tercatat dalam PCM Trenggalek periode kedua (1960-1967), sebagai Wakil Ketua mendampingi Ketua Achmad Kusairi. Pada tahun 1967 ketika status Muhammadiyah Trenggalek berubah menjadi PDM, Junus Isa terpilih sebagai ketua. Namun, karena statusnya sebagai PNS yang dipindahtugaskan di luar Trenggalek, maka jabatan ketua dipegang Achmad Kusairi sampai satu periode.
Pada periode berikutnya, dia seakan membayar utang kepemimpinan yang ditinggal dinas luar kota. Jika pada periode 1967-1971 tugasnya sebagai Ketua PDM digantikan orang lain, maka pada 1971-1974 justru sebaliknya.
Saat itu ketua PDM dijabat oleh Ketua BRI Trenggalek Abi Chabsin, yang di pertengahan periode ternyata dipindahtugaskan ke Makasar, maka tugas Ketua PDM diteruskan oleh Junus Isa.
Ujian berat dialami Muhammadiyah Trenggalek pasca muktamar ke-40 (1978) di Surabaya terkait dengan kebijakan monoloyalitas PNS pada zaman Orde Baru. Kebijakan tersebut melahirkan semacam ultimatum kepada dua tokoh Muhammadiyah: Junus Isa atau Moejoto, yang harus keluar dari Trenggalek. Moejoto memang ”mengalah” dengan mau dipindah ke Probolinggo, tapi ancaman Orde Baru terhadap Junus pun tidak kalah garang.
Untuk menyiasati ancaman penguasa, beberapa warga Persyarikatan menyarankan Junus Isa tetap duduk sebagai Kakandepag. Namun hal ini tidaklah mudah dilakukan, karena ada syarat Junus tidak boleh aktif di kepemimpinan Muhammadiyah. Sebuah pilihan simalakama, yang menimbulkan pro-kontra di kalangan warga Muhammadiyah. Selain ada yang mendukung, ada pula yang mencacinya.
Menebus Pengabdian di PDM
Ketika haluan kebijakan Orde Baru mulai berubah, Junus Isa kembali menebus pengabdiannya di Persyarikatan. Dua tahun setelah pensiun, menjelang Mmusyawarah daerah (musyda) memilih PDM 1990-1995, beberapa pimpinan cabang datang ke rumahnya. Mereka meminta dengan setengah memaksa agar dia mau dicalonkan sebagai PDM, bahkan ada yang mengingatkannya sebagai “penebusan” diri saat mengundurkan PDM ketika terkena kebijakan monoloyatitas.
“Saya ini tidak punya apa-apa, yang saya punya hanyalah pikiran. Kalau aku ke sana kemari, ya tolong saya digendong,” kata Junus saat itu yang dijawab “ya” oleh beberapa Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM).
Pola kepemimpinan Junus dalam Muhammadiyah dikenal keras berprinsip, dan tegas tanpa tedeng aling-aling. Menurut Ketua PDM Trenggalek 2000-2010, Moejoto, keberhasilan penting Junus dalam memimpin PDM adalah mengaktifkan kegiatan cabang. Pengaruhnya sebagai mantan Kakandepag membuat mantan anak buahnya di Depag menjadi penggerak di tingkat cabang.
“Kegiatan terfokus pada pengaktifan cabang yang aras-arasan hidup, menjadi lebih semarak,” cerita Moejoto. Pada periodenya pula telah dibuka rumah bersalin (RB) yang diresmikan oleh Amien Rais, tapi AUM ini sekarang tidak bertahan.
Sementara dalam pandangan Ketua PDM Trenggalek 2010-2015 Drs Rahmat MM, Junus tidak peduli terhadap kehidupan dunianya, sehingga seekor kambing pun bisa menerobos dinding rumahnya.
Ketua PDM Selevel Bupati
Tak hanya itu, kesederhanaannya juga terbawa saat dirinya dipercaya sebagai Ketua PDM. Ketika menghadap bupati di pendopo misalnya, dia tidak malu menampakkan kesederhanaannya: naik sepeda onthel. “Barulah jika jarak yang harus ditempuh lumayan jauh, beliau dibonceng sepeda motor,” cerita Rahmat.
Pada masa kepemimpinan Junus, Muhammadiyah punya “yoni” di hadapan penguasa. Hubungan PDM bisa dikatakan dekat jika kebijakan pemerintah prorakyat, tapi bisa juga jauh jika merugikan rakyat.
Apalagi menurut Junus, kedudukan Ketua PDM adalah setara dengan bupati sehingga hubungan keduanya harus setara. “Sampai-sampai bupati sendiri yang memasang telpon di rumah beliau, setelah permintaannya berulangkali tidak ditanggapi,” cerita Rahmat.
Cerita kesederhanaan Junus berakhir pada Sabtu, 17 November 2001 ketika Tuhan memanggilnya kembali, yang disusul isterinya pada 11 Februari 2002. Pernikahan pria yang mulutnya yang tak pernah berhenti berdzikir saat bertugas ini dikarunia 7 anak.
Anak pertama yang sekaligus “penunggu” rumah Junus adalah Imam Santoso, kemudian Eni Yuningsih (VODC Malang), Hisyam Triyono (Blitar), Anang Ramli (Tulungagung), Nur Sahnan (Malang), Dwi Astutiningtias (Prigi, Kediri), serta Lila Zulaikha (Tulungagung). (*)
Junus Isa: Kisah Pejabat Depag yang Jujur dan Sederhana. Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan ini berudul asli Junus Isa (1932-2001) Potret Kesederhanaan Pejabat. Dimuat ulang PWMU.CO atas izin Penerbit: Hikmah Press dari buku Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa TimurJilid II, Editor Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, dan MZ Abidin, Cetakan I: 2011.