PWMU.CO – Surat Terbuka IMM Kritik Presiden dan DPR adalah surat terbuka Najih Prastiyo, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Berikut isi lengkapnya!
Surat Terbuka IMM
Kepada Yth.
Bapak Presiden RI
Ibu Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI
Assalamuaikum Wr Wb
Semoga di bulan Ramadan ini, umat manusia di belahan dunia, khususnya bangsa Indonesia selalu dalam jalan kebaikan. Dapat melawati ujian pendemi Covid-19 dan dalam lindungan dan ridha dari Tuhan Yang Maha Esa. Semoga kita juga dapat meneladani Rasulullah SAW, dalam meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik di dunia ini.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menyadari, bahwa roda pemerintahan dan kerja wakil rakyat harus terus berjalan ditengah pendemi Covid-19 yang tengah melanda bangsa Indonesia.
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa kerja-kerja pemerintah dan wakil rakyat harus berpihak pada bangsa Indonesia tanpa ketercuali.
Namun nyatanya, rakyat harus disakiti, di tengah wabah Covid-19 yang tak terprediksi dengan pasti. Rakyat harus menelan pil pahit kerja-kerja pemerintah dan wakil rakyat di senayan. Pil pahit yang disuntikkan dengan paksa untuk merusak sistem imun rakyat Indonesia, menambah beban berat menjalani kehidupan.
Tiga Kebijakan yang ‘Membunuh’ Rakyat
Pil pahit yang mengandung racun itu adalah kebijakan-kebijakan yang telah diracik oleh pemerintah dan wakil rakyat. Kebijakan atas nama menyelamatkan negara, namun dalam jangka pendek dan jangka panjang, sejatinya ‘membunuh’ dengan pasti rakyat Indonesia. Kebijakan tidak memiliki keberpihakan yang jelas bagi bangsa Indonesia.
Sebut saja kebijakan tersebut. Yaitu 1) Peraturan Presiden No 64/2020 berhubungan dengan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan. 2) UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara revisi atas UU No 4 tahun 2009. 3) Kebijakan yang setengah-setengah tentang penanganan Covid-19 yakni pemberhentian moda transportasi.
Pertama, masih terekam di ingatan bangsa Indonesia, di bulan Maret baru saja dibatalkan Perpres No 75/2019 tentang kenaikan tarif iuaran BPJS Kesehatan oleh Mahkamah Agung. Namun dalam waktu yang sesingkat-singkatnya Presiden meneken perpres No 64/2020 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Ini jelas kuasa negara melawan rakyatnya sendiri, dan pemerintah ingin menunjukkan kuasanya tanpa mempertimbangkan suara rakyat.
Kemudian, di masa sulit pendemi, menyebabkan melemahnya perekonomian termasuk berkurangnya pendapatan masyarakat, serta diperkirakan ada pemutusan kerja lebih dari 2-4 juta orang.
Sungguh tidak elok dan tidak pantas, hadirnya kebijakan yang mencekik leher bangsanya sendiri. Kebijakan tidak berpihak sama sekali terhadap rakyat kecil dan buruh kerja yang di PHK perusahaan. Kenaikan iuran mandiri di masa pendemi menandakan hilangnya hati nurani.
Mengapa pengelolaan keuanggan BPJS yang defisit, sebagaimana yang diperkirakan pada awal Februari yaitu Rp 15 triliun, dibebankan dengan menaikan iuran BPJS?
Apakah tidak ada cara lain? Harusnya negara mampu menyelesaikan hal demikian. Karena negara harus menjamin kesehatan bangsanya. Sebab kesehatan adalah amanah konstitusi negara, dan itu harus dipenuhi oleh negara.
Sahkan UU Minerba di Tengah Pandemi
Kedua, masih teringat pula perlawanan mahasiswa dan rakyat Indonesia pada akhir tahun 2019 lalu yang berjilid-jilid dan berbondong-bondong melayangkan protes terkait dengan undang-undang yang merugikan dan mencilakakan rakyat Indonesia, bahkan juga merugikan negara.
Salah satu RUU yang diprotes dan ditolak itu adalah RUU perubahan Pengelolaan Mineral dan Batubara (Minerba). Namun, di tengah pendemi, UU itu disahkan oleh tuan dan puan yang mengatasnamakan wakil rakyat.
Secara substansi UU Minerba mengandung pasal-pasal yang bermasalah, cenderung merugikan bangsa dan negara. Seperti misalnya perpanjangan izin, khusunya untuk KK dan PKP2B dan perubahan statusnya menjadi IUPK.
Begitu juga dengan kewenangam sentralisasi kewenangan perizinan diambil pusat. Dan itu semua akan menguntungkan pembisnis batubara semata. Dan pembisnis batubara itu sekarang ada di pusaran istana.
Lucunya, kebijakan minerba yang mendapat respon keras dari rakyat namun tetap di lanjutkan dan disahkan. Wakil rakyat kita seakan lupa, bahwa dirinya wakil rakyatnya. Bahkan dengan entengnya, anggota dewan berkata, kalau tidak sesuai tinggal lakukan judicial review.
Dewan Perwakilan Rakyat merancang undang-undang untuk bangsanya kok dianggap enteng dan main-main. Di mana etika anda wahai Bapak Dewan. Buatlah UU yang berpihak pada rakyat. Mengapa tidak membuat UU dengan nir polemik sih Pak Dewan.
Ketiga, terkait dengan penuntasan dan percepatan penanganan Covid-19. Setelah dikeluarkan larangan beroprasinya moda transportasi hingga bulan Juni seiring dengan larangan mudik. Eh tiba-tiba Pak Budi Karya membuka oprasional moda transportasi. Aduh, gimana sih Pak kordinasinya.
Begitu juga soal bantuan sosial dengan data yang berbeda dari instasi-instansi pemerintah, atau juga pelaksanaan pra kerja di tengah pendemi. Jelas yang hanya dinikmat para kelas menengah yang memiliki akses internet dan kuota. Bukan rakyat yang benar-benar membutuhkan.
Kebijakan Mencekik Wong Cilik
Semua kebijakaan di atas yang mencekik rakyat adalah hasil kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Telah nyata bahwa kerja-kerja pemerintah dan wakil rakyat, tidak berpihak kepada rakyat.
Yang mulia, Bapak Presiden Joko Widodo dan Ibu Ketua DPR RI Puan Maharani, Andalah yang harus bertanggung jawab mengelolah negara ini dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat, sesuai dengan konstitusi. Bukan sebaliknya yang hanya membuka jalan bagi keuntungan personal atau kelompok bisnis tertentu.
Sungguh aneh tapi nyata Bapak Presiden dan Ibu Dewan. Anda adalah perwakilan partai yang menganggap dirinya partai ‘wong cilik’ kok kebijakannya malah mencekik wong cilik.
Di mana ideologi yang berpihak pada wong cilik, lah wong kebijakan-kebijakan yang di produksi tidak berpihak pada wong cilik.
Ibu puan yang terhormat, mulailah memimpin persidangan dengan serius, tidak mainan. Itu bukan simulasi persidangan. Setiap ketukan Anda adalah suara keadilan dan penentu masa depan bangsa dan negara. Palu itu suara keadilan bu ketua dewan, bukan permainan, apa lagi memainkan rakyatnya.
Sudah sepatutnya ditengah kesulitan di berbagai lini kehidupan akibat dampak pendemi Covid-19. Kebijakan yang diproduksi dan dihasilakan harus mendorong kebangkitan bangsa Indonesia pasca Covid-19, bukan sebaliknya memberibeban dan mencekik rakyatnya. Kebijakan harus menstimulus segala lini bidang kehidupan dan tentu berpihak kepada bangsa dan negara.
Sekali lagi, Kebijakan itu harus sesuai konstitusi, berpihak kepada rakyat, menguntungkan bangsa dan negara. Itulah tujuan kemerdekaan Republik Indonesia.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni