Menjadi Guru Ikhlas, Hikmah Kisah Durna ditulis oleh Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung. Artikel ini disarikan dari buku, Parikesit, karya Ki Suratno, YogYakarta: Diva Press 2009.
PWMU.CO – Keihkhalan seorang guru akan berpengaruh pada perangai siswanya. Kisah Mahabarata yang menampilkan berbagai karakter manusia merupakan penggambaran akan sikap dan prilaku, baik individu maupun kolektif.
Dua saudara dari keturunan yang sama dan guru yang sama saling membunuh memperebutkan harta dan tahta. Padahal dalam konsep Islam, ketika dua saudara saling menghunus pedang maka keduanya masuk neraka.
Guru yang mestinya mencerahkan kedua saudara malah menjadi bagian dari problem konflik. Salah satu penyebab fundamental adalah karena hilangnya rasa keikhlasan pada diri guru. Yang dikejar hanyalah kompetensi duniawi yang kering dari nilai spiritualitas, maka yang ada hanyalah penyesalan.
Pidato Kemenangan Puntadewa
Puntadewa yang baru memenangkan perang Bharatayudha berjalan lunglai di antara ribuan mayat yang bergelimpangan. Bau amis darah menyengat menusuk relung hati sang raja. Saudara telah binasa di padang Kurusetra ini.
Saudara, teman, guru, murid, tua, muda semua binasa atas nama kekuasaan. Banyak yang menganggap perang ini sebagai perang suci melawan angkara murka. Sebagian lain menamakan sebagai perang pelampiasan keserakahan untuk mengambil hak kemenangan.
Puntadewa terus berjalan menuju tahta Hastinapura dengan berderai air mata. Yel-yel sambutan rakyat Hastina sebagai ekspresi kemenangan terdengar seperti ratapan srigala dalam lelap malam. Hati Puntadewa remuk redam membayangkan kematian keluarga dan rakyatnya.
Dalam derai air mata Puntadewa menyampaikan pidato pertamanya di atas singgasana Hastinapura.
“Kalian tahu, ketika kakek Bhisma dan guru Durna tumbang di medan perang kalian bersorak sorai tapi kami menangis pilu.
Kalian tahu, ketika Arjuna membunuh Adipati Karna, kami pilu melihatnya. Kalian tahu juga, meskipun menang namun putra-putra terbaik bangsa juga gugur: Gatotkaca, Abimanyu, Antareja, dan Wisanggeni. Mereka binasa meskipun belum paham betul untuk apa kita berperang.
Bahkan yang lebih membuat kami pilu, anak-anak Pandawa yang masih remaja semua binasa karena strategi politik balas dendam Aswatama putra Durna.
Jadi, kemenangan apa yang mau kita rayakan? Bisakah kita berpesta pora di atas darah saudara kita yang kita bunuh atas nama tahta ini?
Rakyatku yang aku cintai, dalam perang Mahabarata ini semua kelicikan telah kita lakukan. Atas nama kebenaran kita menjebak guru Durna hingga binasa. Sumpah serapah dan caci maki telah kita lontarkan. Hoax telah kita sebarkan, bahkan atas nama kekuasaan kitab suci pun kita korbankan.
Jadi, perayaan apa yang akan kita lakukan? Apa yang kita menangkan dari perang total ini?“
Menang Perang tapi Nurani Tersayat
Suasana istana Hastinapura menjadi hening. Angin sepoi-sepoi menerpa membawa aroma amis dara yang mulai membusuk. Air mata mulai membasahi setiap pipi rakyat Hastinapura.
Meskipun beringas dalam perang, tapi mereka tetap memiliki hati nurani, empati, dan simpati. Bagaimanapun kebencian dan dendam telah terbayarkan, namun mereka yang gugur adalah saudara sebangsa dan setanah air yang boleh jadi meninggal karena kebiadaban.
Puntadewa menduduki singgasana berdarah dengan kesedihan mendalam, para sekutu telah kembali ke wilayahnya masing-masing dengan cerita-cerita kepahlawanan dan kepedihan.
Puntadewa termenung, angannya menerawang jauh ke depan, hatinya bertanya, bagaimana seorang raja yang dianggap dewa bisa bergembira duduk di atas jasad saudaranya? Hati yang bagaimana yang mampu bersorak ceria atas kematian saudaranya?
Kisah Guru Durna
Di antara sekian karakter yang berperan dalam Bharatayudha adalah Durna—guru para Pandawa dan Kurawa. Durna adalah sang guru bangsa yang sakti mandraguna. Durna adalah putra resi yang sangat disegani, resi Baharatwadja.
Durna juga murid dari begawan Parasurama, begawan hebat yang menjadi guru para sesepuh Hastinapura. Durna adalah teman seperguruan Drupada raja Pancala. Dalam penaklukan Pancala, Durna membantu Drupada dengan janji akan diberi separo dari kerajaannya.
Namun setelah perang usai ternyata Drupada ingkar janji. Ketika Durna datang ke Pancala dan meminta bagian kerajaannya raja Drupada pura-pura tidak mengenalinya dan bahkan mengusirnya. Durna merasa sakit hati atas penghinaan sahabat karibnya itu, janji adalah utang guman Durna.
Karena dia masih menghormati persahabatannya, Durna tidak akan menyerang Drupada namun cukup mendidik seorang murid untuk membinasakan Drupada dan mengambil haknya.
Durna mendengar potensi yang dimiliki oleh para Pandawa, maka dia pun pergi ke Hastina untuk menawarkan diri menjadi guru Pandawa. Namun Bhisma, kakek Pandawa dan Kurawa menghendaki Durna menjadi guru Pandawa dan Kurawa.
Durna akan menyebutkan kompensasinya jika pendidikan telah usai, hal ini sempat ditentang Destarata sebagai raja Hastina. Namun Bhisma meyakinkan raja buta tersebut bahwa hanya Durna yang bisa mengajari Pandawa dan Kurawa.
Namun dalam proses pembelajaran tampak Durna cenderung menyayangi Pandawa, hal yang membuat Kurawa semakin tidak suka pada Pandawa.
Durna Tagih Janji
Setelah pendidikan usai dan para Pandawa dan Kurawa sakti mandraguna, Durna menagih janji kompensasi akan ilmu yang telah diajarkan, yaitu menaklukkan Drupada raja Pancala.
Pemenuhan kompensasi ini ternyata memunculkan kompetisi antara Pandawa dan Kurawa. Singkat cerita, akhirnya Drupada takluk pada Pandawa dan dengan berat hati merelakan separo dari kerajaannya untuk putra Durna, si Aswatama, yang sejak kecil diberi dokrin dan harapan oleh menjadi seorang raja oleh ayahnya.
Kelak Aswatama menjadi model pendidikan orangtua yang salah. Durna akhirnya menjadi Resi di Hastinapura bersama Bhisma. Ketika terjadi pelecehan atas Drupadi, istri para Pandawa, Durna hanya melihat dengan pedih dan tidak bisa berbuat banyak karena sumpah setianya pada sang raja buta atas desakan Aswatama.
Pada saat perang Mahabharata, ia berpihak pada Kurawa dan gugur di tangan Tristajumna, adik Drupadi. Kepalanya putus terpenggal oleh pedang Tristajumna.
Hikmah Kisah Durna
Durna adalah sosok guru bangsa yang tergadaikan oleh dunia, tidak memiliki istikamah dalam menjaga ilmunya. Paling tidak ada beberapa alasan yang menempatkannya menjadi guru bangsa yang hina.
Pertama, dia mengajarkan ilmunya dengan tidak ikhlas, memiliki motif pribadi untuk memperoleh kerajaan dan membalas dendam. Dari sni, mari menjadi guru ikhlas.
Kedua, rasa dendam dan kecewa membuatnya berlebihan dalam menyayangi putranya. Maka apapun yang diminta meskipun jelek tetap dijalankan. Kelak Aswatama yang telah kehilangan nalar sehatnya, membalaskan dendam Kurawa dengan membuhuh putra-putra Pandawa yang masih tidur terlelap.
Meskipun putra seorang maha guru belum tentu tercerahkan karena pola asuh dan motif yang salah dan akhirnya menjadi korban obsesi orangtuanya. Sebuah serangan fajar yang menyalahi hukum perang.
Ketiga, seorang ilmuwan mestinya tidak berbaiat pada kekuasaan dengan janji setia yang akan menekuk akal sehatnya dibawah ketiak kekuasaan.
Keempat, kenyamanan hidup yang diterima di Hastinapura membuatnya tidak mampu bersikap kritis terhadap tuannya, hingga meskipun dia tahu kebenaran tetap saja berpihak pada Kurawa dan memusuhi pandawa yang telah menaklukkan Pancala.
Hidupnya berakhir dengan sebuah siasat ketika disebar hoax bahwa Aswatama gugur di medan laga, semangat tempurnya memudar hingga ditebas oleh Tristajumna. Padahal yang mati adalah seekor gajah yang bernama Aswatama.
Seorang begawan guru bangsa yang mestinya menjadi problem solver atas masalah bangsanya malah menjadi pelaku ketidakbenaran Bharatayudha.
Ketika keihklasan seorang guru hilang maka hilang juga keberkahan. Dalam kitab Idhatun Nasyiin, Musthafa al Ghalayan mengibaratkan keikhlasan itu seperti ruh.
Al ‘Amalu jismun wa rukhuhu ikhlas, al jisma mata faraqathu rukhuhu kaana jussatan hamidatan la haraka fiha wala faidata wak kadzalika al ‘amal idza zaabaluhu al ikhlas.
Bahwa amal perbuatan itu bagaikan badan dan keihklasan adalah ruhnya. Badan apabila kehilangan ruh hanyalah segumpal daging (mayat) yang tidak bermanfaat. Begitu juga amal perbuatan ketika kehilangan rasa ikhlas.
Durna kehilangan rasa ikhlasnya karena memiliki motif pribadi. Maka hasilnya adalah manusia seperti robot yang kehilangan hati nurani.
Maka marilah memberikan ilmu dengan ikhlas supaya anak didik kita menjadi jiwa-jiwa yang hanif penuh keberkahan. Mari menjadi guru ikhlas! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.