Ambyar! Longgarkan PSBB Pemprov Jatim Bisa Panen Pasien Covid-19 ditulis oleh Dr Biyanto MAg Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.
PWMU.CO – Surat berkop Pemerintah Provinsi Jawa Timur Nomor 451/7809/012/2020 tentang Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri itu telah memicu perdebatan di kalangan umat.
Sebab dalam tingkat tertentu isi surat itu bisa bermakna paradoks dengan kebijakan pemerintah pusat tentang status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk sejumlah kabupaten dan kota di Jawa Timur.
Surat bertanggal 14 Mei 2020 itu diteken Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur Dr H Heru Tjahyono MM atas nama Gubernur Jawa Timur.
Di dalam surat memang dikemukan bahwa keputusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim mengatur kaifiat takbir dan shalat Idul Fitri merujuk pada Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2020, tanggal 13 Mei 2020, tentang Panduan Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri Saat Pandemi Covid-19.
Fatwa MUI yang dikutip dalam surat Sekdaprov Jatim berbunyi: “Shalat Idul Fitri, Takbir, Tahmid, Tasbih, serta aktivitas ibadah lainnya sebagai ibadah di Bulan Ramadhan boleh dilaksanakan secara berjamaah dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan dan mencegah terjadinya penularan.”
Berdasarkan diktum yang ada dalam Fatwa MUI itulah Pemprov Jatim bersurat pada Badan Pelaksana Pengelola Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya. Pada intinya Pemprov Jatim mempersilahkan pelaksanaan Shalat Idul Fitri di kawasan Covid-19 yang dilakukan secara berjamaah di tanah lapang, masjid, mushala, rumah, atau tempat lain.
Bertentangan dengan Prinsip PSBB
Syaratnya, pelaksanakan shalat Idul Fitri secara berjamaah itu dilakukan dengan protokol kesehatan. Meski ada klausul demikian, surat Pemprov Jatim ini sangat disayangkan karena baru saja status PSBB diperpanjang untuk Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik.
Pemerintah pusat juga baru saja menyetujui implementasi PSBB untuk Malang Raya berdasarkan pengajuan Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa.
Kebijakan PSBB di Surabaya Raya dan Malang Raya menjadi semacam pengakuan bahwa Jatim merupakan daerah yang termasuk zona merah pandemik Covid-19.
Jumlah perkembangan kasus baru Covid-19 di Jatim juga terus meningkat. Bahkan dalam beberapa hari terakhir, posisi Jatim berada di rangking satu, mengalahkan DKI Jakarta.
Pertanyaannya, apa makna surat Sekdaprov Jatim tentang tata cara pelaksanaan sekaligus izin penyelenggaraan shalat Idul Fitri secara berjamaah?
Padahal, sekali lagi, kawasan Surabaya Raya baru saja memperpanjang status PSBB. Terlebih surat Sekdaprov itu ditujukan pada pengelola masjid nasional yang pembiayaannya bersumber dari APBD.
Terhadap masjid berplat merah saja, Pemprov Jatim begitu longgar, bahkan seperti tak berdaya untuk mengatur ibadah di tengah pandemi Covid-19. Bagaimana dengan masjid dan mushola di kampung-kampung yang dikelola secara mandiri oleh kelompok masyarakat?
Ambyar Upaya Cegah Covid-19
Sebagai orang awam di bidang kesehatan, terbesit pertanyaan dalam diri saya; apakah kebijakan ini bagian dari kampanye “Berdamai dengan Covid-19”?
Pertanyaan ini tentu hanya bisa dijawab mereka yang sedang diberikan amanah kekuasaan. Meski sejujurnya harus diakui, kebijakan pelonggaran PSBB di kawasan yang termasuk zona merah tergolong berbahaya.
Sangat berbahaya untuk kesehatan dan keselamatan jiwa warga. Pada konteks inilah pemerintah tampak seperti gagap hadapi pandemi Covid-19.
Surat Sekdaprov Jatim memang ditujukan pada pengelola Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya. Tetapi harus disadari, dampak surat itu ke masyarakat luas akan sangat besar. Surat itu akan menjadi senjata takmir masjid dan mushala di kampung-kampung untuk menyelenggarakan kegiatan serupa.
Surat Sekdaprov itu juga bertentangan dengan imbauan Menteri Agama RI, Dewan Masjid Indonesia, ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU, yang pada intinya menganjurkan agar shalat Idul Fitri di rumah bersama keluarga tercinta.
Alasannya sangat jelas, menjaga keselamat diri (hifd al-nafs) merupakan kewajiban. Sementara shalat Idul Fitri hanya sunnah dalam ajaran agama, yang bahkan dapat ditinggalkan dikarenakan ada halangan.
Akhirnya, dengan meminjam istilah almarhum Didi Kempot, semua ikhtiar untuk memutus mata rantai penularan Covid-19, bisa jadi ambyar gara-gara surat Sekdaprov Jatim. Dan Pemprov Jatim bisa panen pasien Covid-19.
Semoga Allah memberi kekuatan pada para pemimpin, tokoh masyarakat, dan tokoh agama panutan umat untuk bersama-sama melawan Covid-19. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.