Mas Mansur: Muhammadiyah Mbok Tuwo ditulis oleh Humaiyah, sekretaris PCA Tanggul Jember berdasarkan buku Hidup Bermakna dengan Memberi karya Nur Cholis Huda.
PWMU.CO-Hati siapa yang tak pilu saat mendengar kekasih hati belahan jiwa berpulang tanpa ada di sisinya. Tanpa bisa menunggu saat-saat terakhirnya. Tanpa bisa mengiringi kepergiannya ke peristirahatan terakhir. Sedih dan pilu berkecamuk. Itulah yang dirasakan KH Mas Mansur saat mendapat telegram kematian istrinya di Surabaya sehari setelah sampai di Medan mengikuti Kongres Muhammadiyah tahun 1939.
Lima belas hari segala rasa dia pendam sendiri. Hari-hari memimpin Kongres berlalu seakan tak pernah terjadi apa-apa. Rasa tanggung jawab dan kesetiaan kepada Muhammadiyah mengalahkan dukanya. Hingga selesai Kongres saat akan menaiki kapal untuk kembali ke Jawa, dia memberitahukan kabar duka itu kepada sahabat karibnya TM Usman.
Tentu saja teman-teman peserta Kongres terperanjat mendengar penuturan sang Kiai. Kekaguman mereka memuncak dan berkesimpulan bahwa pemimpin yang satu ini berbeda dengan kebanyakan pemimpin Indonesia lainnya.
Suatu kali pemerintah Hindia Belanda akan mendirikan Mahkamah Tinggi Islam. Lembaga yang akan mengadili kejadian yang menyangkut umat Islam terutama mengenai akidah, syariah dan peraturannya. Pemerintah mencari orang yang paham hukum Islam, berpandangan luas dan berwibawa.
Jabatan ketua mahkamah dengan gaji 600 gulden ditawarkan kepada KH Mas Mansur. Apakah sang kiai menerimanya? Dengan rendah hati kiai menolak. Dia teguh dengan pendirian. Memilih mengajar di Mualimin Yogyakarta meski dengan gaji yang tak seberapa. Jabatan dan gaji tinggi tak menggoyahkan kecintaan kepada Muhammadiyah.
Dapat Jabatan Lagi Ditolak
Tahun 1941 dibentuk Majelis Rakyat Indonesia tahun 1941. Lembaga ini wadah untuk menyatukan semua organisasi nasional dan keagamaan. Pemilihan ketua dilakukan dengan voting. Hasilnya 80 persen memilih Mas Mansur. Dengan rendah hati, kiai menolak karena ingin fokus sebagai ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Saat ditanya mengapa menolak tawaran itu. Bukankah Indonesia sangat membutuhkan kepemimpinannya. Mas Mansur berkata,”Muhammadiyah mbok tuwa (istri pertama). Saya masih mencintainya sebagaimana saya mencintai ketika dia masih gadis.”
Mas Mansur: Muhammadiyah mbok tuwo. Betapa dalamnya ungkapan kecintaan terhadap organisasi ini. Sampai-sampai dia pasrahkan kepada Allah istrinya yang sakit untuk menghadiri Kongres di Medan.
Sekarang di mana kita saat Muhammadiyah membutuhkan kehadiran kita. Tak usah mengambil semua ibrah dari perjalanan kiai yang dijuluk Sapu Kawat Jawa Timur oleh KH Ahmad Dahlan ini.
Meskipun kita bukan siapa-siapa, tapi setidaknya bisa meneladani secuil dari perjuangan dan pengorbanan KH Mas Mansur untuk Muhammadiyah.
Jika kita sebagai pimpinan Muhammadiyah di level manapun, tanggung jawablah dengan amanah itu sampai berakhir masa jabatan. Tak elok jika bersemangat saat pelantikan saja, setelah itu lalai dan semangatnya luntur sebelum kita berbuat apa-apa.
Jika sebagai anggota, bijaklah mengikuti keputusan pimpinan. Sami’na wa atho’na, kami dengar dan kami taati, sebagaimana dalam syair mars kita. (*)
Editor Sugeng Purwanto