Milad Aisyiyah: Merebut Tafsir Perempuan artikel opini oleh Nurbani Yusuf Direktur Utama Agropolitan Televisi Kota Wisata Batu.
PWMU.CO-Perempuan dan lelaki Islam itu masing-masing berhak berkemajuan dan berkesempurnaan. Kemajuan dan kesempurnaan menurut hak batas-batasnya sendiri-sendiri. Demikian sepenggal kalimat dalam pidato Siti Munjiyah, pimpinan Aisyiyah yang disampaikan dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama 1928 di Yogyakarta.
Nadia Murad bersama Denis Mukwege menerima hadiah Nobel Perdamaian dalam satu upacara di Oslo, Norwegia. Bagi Kedua perempuan kuat itu, Nobel Perdamaian merupakan pengakuan atas upaya keduanya mengampanyekan dampak penggunaan pemerkosaan sebagai senjata perang atas nama agama.
Pada tesisnya, Cyntia Enloe menyatakan, no society can be militerized without changing conceptions of masculinity and feminity. Tidak ada masyarakat yang dapat dimiliterisasi tanpa mengubah konsep maskulinitas dan feminitas.
Jilbab, bagi Fatima Mernissi merupakan salah satu instrumen ampuh pengubah konsep tersebut. Perempuan Maroko penganut tafsir hermeneutika ini menyatakan, dengan jilbab perempuan ditertibkan pikirannya. Bahwa tubuhnya adalah sumber dosa dan rasa malu sehingga perlu rapat dibungkus. Ajaran larangan keluar rumah bagi perempuan digemakan massif. Tujuannya, agar perempuan tidak aktif lagi di arena publik.
Di Indonesia seabad lalu seraut perempuan sedang menafsir dirinya. Apa yang kau dapati saat kau belajar huruf-huruf Belanda? Tanya Ngasirah kepada putri tercintanya. ”Kebebasan,” jawab Kartini lugas. Kemudian Ngasirah melanjutkan pertanyaannya, apa yang tidak kau dapati dari huruf-huruf Belanda itu? Kartini terdiam lama. Hingga Ngasirah menjawab sendiri pertanyaannya,”Bakti.”
Kebebasan dan Bakti
Ternyata kebebasan tak bisa disandingkan dengan kebaktian. Kebebasan menagih ego, bakti menjamin kebersamaan. Kebebasan adalah soal inteligensia. Bakti adalah hati nurani. Kebebasan adalah soal kepuasan materi. Sedang bakti adalah tentang spiritualitas.
Dua sisi berlawanan yang mustahil berjalan seiring. Akal sehat menawarkan kebebasan, materi, ego dan kebanggaan sedang bakti adalah soal kebatinan, nurani, spiritualitas dan kerendahan hati.
Aisyiyah adalah gerakan pembebasan pada zamannya yang selalu gelisah dengan kemapanan dan aturan baku yang mengikat. Aisyiyah adalah simbol kejenuhan dan kebosanan pada kondisi di mana masyarakat terjebak pada aturan dan norma yang mereka buat sendiri. Saat di mana perempuan menjadi menderita dan tertindas karena ditafsir kaum maskulin.
Aisyiyah adalah soal gerakan pengembaraan pemikiran dan intelektual yang melahirkan kebebasan dan bakti sekaligus. Keberhasilan gerakan emansipasi perempuan adalah jika berhasil menyandingkan keduanya (kebebasan dan bakti) dalam satu pribadi perempuan Indonesia. Yang oleh Kartini di ilustrasikan sebagai habis gelap terbitlah terang yang dalam rumusan Aisyiyah disebut minadh dhulumaati ila nuur.
Dalam ranah teologis fungsi Hawa sebagai penenang atau pakaian (al-libas) bagi Adam. Sebab itu Hawa diciptakan dari bagian tubuh Adam bukan dari tanah liat atau semacamnya. Dari tulang rusuk itu, Hawa diciptakan untuk menggenapi, bukan sebagai kompetitor apalagi meminta setara.
Sengaja pula saya tak bahas isu-isu tentang gender yang ribet dan tak penting sebab perempuan, sesunguhnya telah mandiri mampu mengatasi problemnya tanpa sokongan kaum maskulin yang sok membantu padahal sebaliknya.
Kepada suaminya Muhammad saw, dengan bangga Sayidah Aisyah ra tegas dan berkata,”Wahai Rasulullah semua istrimu pernah dipeluk laki-laki lain kecuali diriku.” Itulah tafsir Aisyiyah atas dirinya di depan suaminya yang agung.
Selamat milad Aisyiyah ke 103 tahun. 19 Mei 1917-2020. (*)
Editor Sugeng Purwanto