RS saat Covid-19, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga ditulis ditulis oleh dr Sholihul Absor MKes, Ketua Majelis Pembna Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Sudah jatuh tertimpa tangga. Inilah gambaran bagi rumah sakit di Indonesia saat ini.
Sebelum merebak wabah Covid-19, rumah sakit (RS) dihadapkan dengan kondisi yang serba sulit. Tantangan dari segala arah memaksa RS berada dalam posisi bertahan, tidak bertumbuh.
Kini, ketika wabah Covid-19 merebak, RS kembali dihadapkan pada masalah dan kesulitan, seolah melengkapi penderitaan sebelumnya.
Pasien turun drastis baik rawat inap maupun rawat jalan. Tentu ini mengganggu cashflow. Kalaupun ada pasien datang, harus siap dengan resiko terpapar virus yang mematikan. Jika dirujuk, tidak ada RS yang mau menerima karena ruangan penuh termasuk rumah sakit pemerintah.
Lengkap sudah derita. Inilah yang menyebabkan RS tidak optimal menghadapi pandemi. Maka jangan heran bila RS kelabakan menghadapi pandemi.
Ketidaksiapan ini bisa dilihat dari angka kematian yang mencerminkan kualitas pelayanan medis. Angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia termasuk tinggi. Dan bisa jadi sesungguhnya lebih tinggi karena banyak yang menyangsikan akurasi data kematian.
Bahkan petinggi Australia sampai mengingatkan warganya agar jangan sampai sakit di negara kita, karena menurutnya fasilitas perawatan kesehatan di Indonesia buruk.
Tiga Penyebab
Pernyataan yang memalukan kita. Tapi itulah kenyataannya. Apa yang menyebabkan ini semua? Dan bagaimana seharusnya agar RS berkembang dengan baik? Serta sanggup menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, termasuk menghadapi wabah Covid-19?
Ada tiga hal mendasar sebagai penyebab rumah sakit menjadi terpuruk. Pertama, ‘industri’ RS disamakan dengan industri pada umumnya.
Inilah kesalahan paling mendasar yang menyebabkan rumah sakit terdorong menjadi animal economic yang selalu bicara untung rugi. Padahal ‘fitrah’ RS adalah ‘mahluk sosial’, yang menolong orang yang sedang menderita.
Maka jangan heran jika ketersediaan ruang isolasi yang memenuhi syarat sangat sedikit, karena investasi di sini tidak menguntungkan.
Dorongan itu bisa dilihat dari regulasi yang mengatur operasional rumah sakit. Izin mendirikan maupun operasional RS tidak beda dengan industri lainnya. Jangankan keringanan dan kemudahan, kenyataannya malah lebih rumit.
Sudah rumit, berubah-ubah pula regulasinya sehingga menyulitkan perencanaan pengembangan. Hampir semua kementerian dan dinas ikut terlibat dalam perizinan RS. Tidak salah apabila disebut sebagai industri yang paling ribet regulasinya. Dampak ini semua, banyak RS yang dijual sebelum pandemi. Kalau sekarang pasti lebih banyak.
RS Profit Disamakan Nirlaba
Kedua, RS profit disamakan perlakuannya dengan RS nirlaba alias tidak berorientasi mencari keuntungan. Membiarkan kedua jenis RS ini berkompetisi, bukan hanya tidak fair, tapi sangat membahayakan.
Tidak fair karena kegiatan sosial kemasyarakatan adalah bagian tak terpisahkan dari operasional RS nirlaba, dan tentu hal ini menambah pengeluaran.
Sementara RS profit tidak melakukannya. Dan ini sangat membahayakan, karena apabila RS nirlaba tidak eksis, lalu siapakah yang akan peduli dengan kegiatan kemasyarakatan dan bantuan kemanusiaan?
Banyak hal negeri ini membutuhkan uluran tangan dari peran swasta. Karena tidak mungkin RS pemerintah sendiri yang akan menyelesaikannya. Ambil contoh; program penurunan kasus TBC, penurunan angka kematian bayi dan ibu melahirkan, atau perawatan gratis bagi pasien tidak mampu yang tidak memiliki akses BPJS.
Contoh lainnya pengiriman tenaga medis ke daerah bencana, memberikan sumbangan kepada kegiatan sosial kemasyarakatan, ikut serta dalam kegiatan promosi kesehatan kepada masyarakat sekitar, atau menjadi wahana pendidikan bagi tenaga medis.
Dan masih banyak lagi peran RS nirlaba, termasuk memberi pelayanan saat terjadi wabah seperti Covid-19 sekarang ini. Jadi perlindungan terhadap rumah sakit nirlaba adalah suatu keniscayaan, agar tercipta ketahanan pelayanan kesehatan.
Alat Kesehatan serba Impor
Ketiga, lemahnya dukungan kepada industri penunjang kebutuhan RS. Hampir semua bahan baku kebutuhan RS diimpor. Obat sebagai komponen utama perawatan kesehatan sebagian besar diimpor dari China, sebagian kecil dari India.
Tentu ini hal yang aneh, mengingat Indonesia punya BUMN yang bergerak di industri farmasi. Alat kesehatan yang dipakai RS hampir semua produk impor. Mulai yang canggih seperti MRI, CT Scan, X ray, USG, pasien monitor, ventilator, hingga yang remeh-temeh pun diimpor.
Ada tensimeter, termometer, test gula darah, asam urat, kolesterol, termasuk masker medis yang sempat langka di awal pandemi, bahkan masker N95 hingga sekarang masih sulit dicari.
Konsekuensinya, barang ini menjadi rentan dimainkan spekulan. Dan akhirnya RS yang menanggung bebannya. Bayangkan saja masker medis yang saat normal harganya Rp 25 ribu per box, kemarin bisa mencapai Rp 275 ribu, 1000 persen lebih kenaikannya.
Maka tidak heran pada awal pandemi banyak tenaga medis berguguran karena terbatasnya alat pelindung diri. Ini semua harusnya bisa diatasi karena sesungguhnya kita memiliki kemampuan membuat sendiri.
Lihat saja, di tengah keterbatasan ternyata kita mampu membuat ventilator. Pula para ahli kita mampu membuat alat uji cepat (rapid test) antibodi yang sangat berguna untuk screening pasien Covid-19. Maka yang diperlukan adalah keberpihakan pemerintah untuk mendukung industri dalam negeri khususnya bidang kesehatan.
Pandemi yang berlangsung lama, menimpa semua negara, dan memberikan dampak ke seluruh lini kehidupan, termasuk meluluhlantakkan perekonomian, harusnya menyadarkan pengampu negeri ini bahwa kesehatan bukanlah kebutuhan komplementer.
Atau bahkan hanya jadi pemanis bibir saat kampanye mengejar jabatan dan kedudukan. Justru kesehatan warga negara merupakan unsur penting kesejahteraan dan kehormatan suatu bangsa.
Semoga ke depan, perhatian dan keberpihakan pemerintah khususnya di bidang perumahsakitan menjadi lebih intent lagi. Memang kesehatan bukanlah segalanya, namun tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak ada artinya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.