Pemimpin Belia Dulu, Pemimpin Berida Kini ditulis oleh Hajriyanto Y. Thohari, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
PWMU.CO – Saya ingin mengawali tulisan ini dengan fenomena yang sangat menarik. Jenderal Soedirman—lahir di Purbalingga tanggal 24 Januari 1916, wafat 1960—terpilih menjadi Panglima TKR, sekarang TNI, ketika berumur 29 tahun (1945).
Soekarno (1901-1970) menjadi Presiden pertama Republik Indonesia pada umur 44 tahun. Soeharto (1921-2008) menjadi Pejabat Presiden pada usia 44 tahun.
Wahid Hasyim (1914-1953), ayahanda Presiden Gus Dur, dilantik menjadi menteri agama dalam usia 31 tahun. Sutan Syahrir (1909-1966) menjadi Perdana Menteri pada umur 36 tahun. Achmad Arnold Baramuli (1930-2006) dilantik sebagai Gubernur Sulawesi dalam usia 29 tahun.
KH Ahmad Dahlan dan Pemimpin Belia
Sekarang marilah kita coba lihat di kalangan Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah yang hebat itu, pada umur 15 tahun (1883) sudah berani pergi haji (yang pertama) dan tinggal di sana selama lima tahun.
Pada usia 35 (tahun 1903) pergi haji lagi dan tinggal lagi di Mekkah selama dua tahun. Dan, ini yang penting, mendirikan Muhammadiyah pada usia 44 tahun. Betapa muda belianya!
Muhammad Soedjak, Ketua Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) di masa Muhammadiyah dipimpin KH Ahmad Dahlan, berani pergi menunaikan ibadah haji sendiri tanpa orangtuanya dalam usia 17 tahun.
Nama Soejak (aslinya Syuja’) juga diberikan kepadanya karena keberaniannya itu. Kata syoeja’ berasal dari kata syaja’ah yang artinya berani atau keberanian. Orangnya memang dikenal pemberani, antara lain itu tadi: masih muda belia sudah berani pergi haji ke Mekkah yang sangat jauh itu.
Adik laki-laki Soedjak, bernama Fachrodin (1890-1929), malah berani berangkat haji pada usia 14 tahun (1905). Bayangkan pada waktu itu berangkat haji dengan naik kapal laut yang pulang pergi memakan waktu selama hampir 4 bulan!
Pada 1915 Fachrodin yang bersahabat dengan Mas Marco Kartodikromo, tokoh pergerakan yang sangat terkenal itu, dalam Syarikat Islam (SI) dan Inlandche Journalisten Bond (IJB), dan kemudian bersama-sama Haji Misbach menerbitkan beberapa media surat kabar di Solo, yaitu Medan Moeslimin dan Islam Bergerak.
Haji Fachrodin pada usia 24 tahun juga menjadi pelopor, perintis, pendiri, dan pemimpin redaksi majalah Soewara Muchammadiyah bersama KH Ahmad Dahlan. Sungguh betapa belianya!
Bayangkan umur 24 tahun mendirikan majalah Suara Muhammadiyah yang keren itu. Dan yang lebih fenomenal lagi: majalah tertua di Indonesia yang lahir 1915 tersebut masih bertahan hidup sampai sekarang dengan begitu gagahnya! Dia pendiri majalah ini, sekaligus pemimpin redaksi pertamanya!
Kemudian ketika KH Ibrahim menjadi ketua umum atau Presiden Hoofdbestuur Muhammadiyah menggantikan Ahmad Dahlan, Haji Fachrodin dipilih menjadi wakil ketua (1923-1929) dalam usia 33 (tiga puluh tiga) tahun. Lagi-lagi sangat muda belia.
Almarhumah Prof Baroroh Baried menjadi profesor perempuan pertama di Indonesia dalam usia 39 tahun (1964) di universitas tertua dan terbesar di Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Baroroh Baried lahir pada 1925 dan wafat pada 1999. Tahun 1965 almarhumah menjadi Ketua Umum PP Aisyiyah dalam usia 40 tahun. Betapa masih muda belia kala itu!
Pemimpin Muda Belia
Kita bisa menjejer lagi sederet nama-nama pemimpin muda di masa lalu yang tidak terlalu jauh. Pertanyaannya, “Mengapa orang dulu lebih cepat dewasa dan orang sekarang terkesan lambat dewasa?”
Mungkin ini kesannya pertanyaan psikologi, padahal sebenarnya lebih sebagai pertanyaan kebudayaan. Atau katakanlah pertanyaan antropologis. Secara psikologi kedewasaan adalah persoalan kematangan emosional, tetapi secara antropologis, sejatinya persoalan kebudayaan.
Tetapi oleh karena kita berteman, tidak usah berdebat soal ini, kita ambil saja jalan tengahnya: katakan saja persoalan kemunculan kepemimpinan adalah pertanyaan antropologi-psikologi.
Kebetulan waktu kuliah di Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia (1990), saya mengambil mata kuliah Antropologi Psikologi di bawah bimbingan Prof Dr James Dananjaya (Profesor yang satu ini juga mengajar Teori Foklore yang sangat menarik itu). Kematangan manusia (maturity) dalam budaya kepemimpinan, menjadi salah satu bahasannya.
Kata belia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya muda sekali. Dalam Thesaurus Bahasa Indonesia (Thesaurus: referensi berupa daftar kata dengan sinonim dan antonimnya), kata belia memiliki 37 antonim, antara lain kata uzur, renta, usang, gaek, sepuh, jompo, ringkih, berida, dan lain-lain. Dan yang paling halus adalah berida. Maka saya memilih kata berida sebagai lawan belia. Jadilah judul: Pemimpin Belia Dulu, Pemimpin Berida Sekarang.
Mengapa di masa lalu orang-orang muda dapat tampil menjadi pemimpin-pemimpin yang baik dan matang di mana kematangannya tampak sekali mewarnai kepemimpinannya? Tetapi mengapa sekarang justru sebaliknya?
Zaman dulu banyak sekali pemimpin belia yang penuh kematangan dan kedewasaan. Zaman sekarang banyak pemimpin berida, yang alih-alih menunjukkan kematangan dan kedewasaan. Malah justru seringkali kekanak-kanakan alias childish atau thufailiy?
Dulu ada ketentuan yang hampir sudah menjadi konvensi, seseorang dianggap sebagai sudah dewasa ketika umurnya sudah mencapai 17 tahun. Orang tempo doeloe, dulu yang tidak terlalu jauh, mungkin generasi orangtua kita (saya lahir tahun 1960), umur 17 tahun sudah dianggap sangat dewasa, dan nyatanya terbukti sudah dewasa.
Bahkan kebanyakan dalam usia sudah menikah. Itu pun terutama bagi laki-laki. Sementara bagi perempuan malah di bawah 17 tahun sudah tampak sangat matang alias dewasa. Tak heran jika pada masa itu sudah sangat biasa orang menikah (tepatnya: dinikahkan) pada usia di bawah 17 tahun.
Demikian juga pada masa lalu, sependek ingatan saya, dalam banyak hal ada ketentuan persyaratan untuk diterima dalam suatu pekerjaan atau keanggotaan biasa sekali disebutkan “Calon sekurang-kurangnya sudah berumur 17 tahun atau sudah kawin (menikah)”.
Apa artinya? Bagi mereka yang berumur kurang dari 17 tahun, dapat saja diterima asalkan sudah menikah. “Telah menikah” adalah tanda kedewasaan di samping umur. Meskipun umurnya baru 15 tahun, 14 tahun, atau bahkan 13 tahun, asalkan sudah menikah, dia sudah dianggap dewasa.
Di bidang politik juga ada ketentuan, yang masih berlaku sampai sekarang. Orang berhak untuk memilih dalam pemilihan umum ketika berumur 17 tahun atau sudah menikah. Pasalnya pada usia 17 tahun (atau sudah menikah) seseorang dikategorikan sebagai seudah dewasa.
Tapi sekarang kita merasakan betapa kelihatan belum dewasa dan matang anak berumur 17 tahun mendapatkan hak untuk memilih pemimpin dan wakilnya. Tentu namanya perasaan pastilah subyektif. Tapi betatapun subjektifnya saya rasa kita yang sudah tua-tua ini memiliki kesan atau perasaan yang sama.
Orang Dulu Cepat Dewasa?
Pertanyaannya, mengapa orang dulu cepat sekali dewasa dan matang, sementara sekarang tidak? Mungkin karena faktor struktur masyarakat di masa lalu yang masih sederhana, sementara sekarang relatif lebih kompleks.
Atau mungkin karena tekanan kehidupan, atau mungkin juga karena zaman dulu adalah zaman perjuangan. Tapi kalau soal perjuangan, bukankah zaman sekarang perjuangan untuk hidup juga luar biasa berat karena persaingan semakin ketat dan keras?
Barangkali saja ini ada kaitannya dengan sistem pendidikan kita yang kurang pas. Maksudnya pendidikan kita pascakemerdekaan tidak berhasil mendidik anak-anak bangsa untuk cepat dewasa.
Atau barangkali pembaca ada yang mempunyai teori dan hipotesis sendiri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yang jelas, sependek pengetahuan saya, faktanya orang-orang dulu banyak yang bisa dan berhasil tampil menjadi pemimpin dalam usia sangat muda belia.
Fakta-fakta yang saya sebutkan di atas menunjukkan kebenaran pernyataan saya. Coba bandingkan dengan kita! Saya, misalnya, sekarang umur 60 tahun belum juga bisa menjadi apa-apa: jangankan menjadi ketua (President Hoofdbestuur) Muhammadiyah, menjadi presiden Indonesia saja belum bisa!
Bahkan melihat gelagatnya sepertinya tidak ada tanda-tanda zaman yang menunjukkan kemungkinannya. Dengan kata lain, insyaallah, tanpa bermaksud mendahului kehendak-Nya, rasanya tidak akan pernah bisa! Dan saudara sekalian, para pembaca sendiri, bagaimana? Jangan ketawa: jangan-jangan juga setali tiga uang dengan penulis ini.
Terlebih lagi generasi sekarang. Silakan lihat saja anak-anak kita: jangankan yang baru berumur 17 tahun, bahkan yang sudah berumur 22 tahun saja seringkali masih sangat kekanak-kanakan alias childish atau dalam Bahasa Arab thufaily!
Malah ada beberapa pemimpin kita, baik pemimpin negara maupun ormas, apalagi partai politik, sikapnya masih ada banyak yang kekanak-kanakan: “Mengritik, Yes! Dikritik, No!” Itu kan salah satu tanda belum dewasa alias kekanak-kanakan!
Malah ada banyak juga pemimpin yang suka bermain-main dengan urusan negara dan rakyatnya. Syahdan, sekali lagi syahdan, ada yang suka menjadikan urusan rakyatnya sebagai mainan, sampai terkesan kayak main-main saja dalam mengurus negara dan rakyatnya.
Tapi, akhirnya, mungkin juga apa yang penulis kemukakan ini hanya fenomena psikologis orangtua belaka yang suka sok dewasa. Jangan-jangan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.