Kerinduan Pak AR akan kejayaan Masyumi dan kesolidan politik warga Muhammadiyah ditulis oleh Prima Mari Kristanto. Warga Muhammadiyah di Lamongan, Jawa Timur.
PWMU.CO – KH Abdul Rozak Fakhruddin—akrab disapa Pak AR—memimpin persyarikatan Muhammadiyah tahun 1968, tepat pada masa awal pemerintahan Orde Baru.
Saat itu, terbersit dalam benaknya untuk mengembalikan Partai Masyumi ke gelanggang politik. Sebagai sesama pejuang di Yogyakarta tahun 1949, Pak AR mengutarakan niatnya itu kepada Presiden Soeharto dengan percaya diri.
Tanpa dinyana, Pak Harto—sapaan Presiden Soeharto— justru menawarkan Muhammadiyah sebagai partai politik dibanding merehabilitasi Masyumi.
Tawaran tersebut jelas ditolak oleh Pak AR karena bertentangan dengan Khittah Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan non-politik.
Pilihan kemudian jatuh pada pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang diketuai kader Muhammadiyah Djarnawi Hadikusumo. Sementara Pak AR menjadi salah satu formatur pendiri bersama para mantan aktivis Masyumi.
Parmusi didaulat sebagai Masyumi baru, wadah aspirasi politik warga Muhammadiyah yang mampu mendulang suara 20 persen head to head dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Saat itu, PNI juga meraih 20 persen pada pemilu 1955.
Perkembangan Masyumi dalam Pemilu
Hingga tiba saatnya pemilu pertama Orde Baru tahun 1971 di luar dugaan. Parmusi hanya memperoleh suara 5 persen, di bawah Golkar yang meraup 60 persen, NU menggaet 18 persen, dan PNI 6 persen.
Jawara pemilu 1955, PNI dan Masyumi rontok dalam pemilu 1971. Yang masih bertahan hanya NU dengan perolehan 18 persen, sama dengan perolehan pada pemilu 1955.
Selanjutnya, semua mafhum dengan kebijakan politik fusi yang menggabungkan NU, Parmusi, dan partai-partai Islam lain dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sedangkan PNI dan partai-partai nasionalis, Kristen, Katholik dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Selama Orde Baru pasca-fusi 1973, aspirasi warga Muhammadiyah banyak tersebar ke Golkar dan PPP. Jargon Orde Baru yang ingin menghapus politik aliran cukup berhasil.
Golkar mentahbiskan diri tanpa aliran tertentu, plural, untuk semua golongan. Walaupun sebenarnya memberlakukan ‘aliran baru’: monoloyalitas pegawai negeri dan keluarga ABRI.
Reformasi 1998 dengan kembalinya era multi partai, tokoh Muhammadiyah Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai ini diharapkan menjadi wadah tunggal aspirasi politik warga persyarikatan.
Alhasil dalam pemilu 1999, PAN meraup 7 persen suara. Sedikit lebih baik dari Parmusi dalam pemilu 1971 yang meraup 5 persen suara.
Namun lambat laun dari pemilu ke pemilu sejak 1999 sampai 2019, suara PAN tidak beranjak dari 6 persen. Aspirasi politik warga Muhammadiyah ditengarai tidak seluruhnya ditumpahkan ke PAN.
Soliditas Warga Muhammadiyah dalam Politik
Tidak dipungkiri keberadaan partai-partai selain PAN yang mengincar warga Muhammadiyah untuk mendulang suara, bak gadis cantik yang diperebutkan banyak pria. Didukung tidak adanya imbuan persyarikatan Muhammadiyah pada warganya, agar memilih partai tertentu seperti era Masyumi 1955.
Yang pasti, soliditas warga Muhammadiyah dalam politik saat itu sedang diuji untuk menghasilkan akumulasi suara sebesar 20 persen seperti era Masyumi 1955.
Tantangan zaman boleh beda, isu bisa tidak sama antara tahun ini, ke depan, dengan tahun 1955. Nama Masyumi barangkali tidak relevan lagi. Tapi semua rindu kesolidan politik warga persyarikatan mengulang kejayaan Masyumi 1955.
Jika PNI berhasil solid dan lahir kembali melalui PDIP, mengapa Masyumi tidak bisa? Kemana suara warga persyarikatan Muhammadiyah yang tetap solid dalam Masyumi 1955 meski ditinggal NU, Sarekat Islam, dan Perti yang eksodus pada 1952-1953?
Semua rindu. Melanjutkan kerinduan Pak AR akan kejayaan Masyumi dan kesolidan politik warga Muhammadiyah dalam satu partai, tanpa keributan atau kericuhan internal. Mungkinkah? Semoga! (*)
Co-Editor Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.