PWMU.CO – Sahabat penjual kurma itu bernama Abil Yassar. Pada suatu hari, ia kedatangan seorang pelanggan perempuan yang menarik perhatiannya. Kebetulan, suaminya mendapat tugas dari Rasulullah. Abil Yassar kemudian mempersilahkan perempuan itu ke ru¬mahnya, “Anda boleh ke rumah. Di sana ada kurma yang lebih baik dari ini.”
Saat sudah masuk ke dalam rumahnya, perempuan itu langsung dipeluk dan diciumnya, meski tidak sampai terjadi perbuatan yang lebih jauh. “Tidakkah engkau malu dan takut kepada Tuhanmu Yang Maha Melihat, wahai Abil Yassar?”, kata perempuan itu mengingatkan. Seketika, dilepaskanlah perempuan itu dan Abil Yasar pun tersungkur bersujud.
Keesokan harinya, ia mengadu kepada Umar bin Khattab atas perbuatan maksiatnya itu. Umar menyarankan agar ia bertobat dengan sebenar-benarnya dan tidak menceritakan perbuatannya itu kepada siapapun, “Biarlah dirimu dan perempuan itu yang tahu.” Tidak puas dengan jawaban Umar, Abil Yasar pun pergi ke Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ternyata, jawaban Abu Bakar tidak jauh beda.
(Baca juga: 3 Kunci Meraih Bahagia dan Inilah Amal yang Jadi Kebanggaan di Hari Akhir)
Abil Yasar pun melangkahkan kakinya ke kediaman Rasulullah. Ia ceritakan kamaksiatan yang ia lakukan. “Kamu berkhianat kepada suaminya. Begitukah caranya menjaga amanah dari orang yang sedang berjuang?”, kata Rasulullah marah. Abil Yasar merasa dosanya tidak terampuni. “Hukumlah diriku,“ katanya sambil membawa rasa duka.
Tidak lama kemudian Nabi Saw. memanggilnya dan membacakan surat Hud ayat 114, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan baik menghapus/menutupi perbuatan buruk, itulah peringatan bagi orang yang ingat.” Dan Abil Yasar pun berusaha melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya.
Pada kesempatan lain, sebagaimana dituturkan Muadz bin Jabal ra.: “Suatu pagi Rasulullah terlambat mengerjakan shalat subuh bersama kami hingga kami hampir melihat matahari terbit. Beliau keluar dengan tergesa-gesa untuk mempersiapkan shalat. Kemudian, beliau mengerjakan shalat dengan mempercepatnya. Selepas salam, beliau menyeru kami, “Tetaplah di shaf kalian seperti semula!’
(Baca juga: Meraih Kemabruran Haji dan Belajar dari Abu Nawas dan Penjual Sate)
Setelah itu, Rasulullah menghadap ke arah kami dan bersabda, “Ketahuilah, aku akan sampaikan pada kalian tentang apa yang membuatku terlambat shalat subuh bersama kalian. Semalam aku bangun, lantas berwudhu dan mengerjakan shalat sesuai dengan kemampuanku. Kemudian, aku mengantuk dalam shalat. Aku merasa sangat berat sampai akhirnya tertidur. Tiba-tiba aku berjumpa dengan Rabb-ku dalam sebaik bentuk.” Dia berfirman, “Wahai Muhammad!” Aku menjawab, “Aku penuhi panggilan-Mu wahai Rabb-ku.”
Dia berfirman, “Apakah engkau mengetahui apa yang diperselisihkan oleh al-Mala’ al-A’la (golongan tertinggi malaikat)?” Rasulullah menjawab, “Aku tidak tahu, wahai Rabb-ku.” Nabi melanjutkan, “Setelah itu aku terdiam dan aku merasakan dingin, kemudian tersingkaplah untukku segala sesuatu, dan aku pun menjadi tahu.”
Setelah itu Rabb-ku bertanya lagi dan aku menjawab, “Tentang Kaffarat (hal-hal yang bisa melebur dan menutupi dosa), wahai Rabb-ku.” Kaffarat itu, kata Nabi, “Berjalan kaki untuk shalat berjamaah, duduk di masjid setelah mengerjakan shalat (menunggu shalat wajib berikutnya), menyempurnakan wudhu pada saat-saat kurang disukai (cuaca sangat dingin), memberi makanan, bertutur kata yang lembut, dan shalat malam ketika manusia sedang tidur .”
(Baca juga: Inilah Peperangan Sepanjang Zaman yang Dihadapi Umat Islam dan Kebohongan Diulang 1.000 kali Terdengar seperti Kebenaran?)
Lalu Rasulullah diperintahkan berdoa oleh Allah. Beliau memohon, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu untuk dapat melakukan kebaikan, meninggalkan kemungkaran dan mencintai orang-orang miskin, dan agar Engkau mengampuni serta menyayangiku. Dan, jika Engkau menghendaki fitnah pada suatu kaum, wafatkanlah aku tanpa terkena fitnah. Aku memohon kepada-Mu kecintaan-Mu, kecintaan orang-orang yang Engkau cintai, dan kecintaan pada amal yang mendekatkanku pada kecintaan-Mu.” Rasulullah lalu bersabda, “Sesungguhnya ini adalah kebenaran, pelajarilah dan ambillah hikmahnya.” (HR. Turmudzi dalam Abwab Tafsir Al-Quran, Bab Surah Shad, hadis no. 3235).
Islam tidak pernah mengenal dosa turunan atau warisan yang harus ditebus dengan ritual tertentu sebagaimana yang ada dalam ajaran agama lain. Namun, Islam mengakui bahwa manusia itu tidak akan luput dari dosa dan salah. Al-insan mahallul-khata’ wa nisyan, manusia itu tempatnya salah dan lupa.
Karenanya, atas keluasan kasih sayang-Nya, Islam mengajarkan bahwa dosa dan kesalahan yang dilakukan umatnya dapat ditutupi dengan kebaikan dan amal saleh yang dilakukan seseorang. Islam memberi kesempatan umatnya untuk bertobat, menghentikan kemaksiatan dan kebiasaan buruk yang sering dilakukan.
(Baca juga: Memberi Tak Harap Kembali: Kisah Nyata Ketika Din Syamsuddin Bertemu Seorang Ibu di Pesawat)
Dalam QS. Ali Imran: 193 Allah mengajarkan doa, “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.” Dulu, Nabi pernah menangis tiada habisnya setelah turunnya ayat ini. Matanya sembab, tidak keluar dari biliknya, hingga Bilal pun menghampirinya. Rasulullah yang dijamin masuk surga saja masih cemas dan menangis dengan nasibnya di akhirat nanti dan melafalkan doa ini.
Bagaimana dengan kita? Patutlah kiranya kita mulai menghitung dan membandingkan antara dosa dan kebaikan yang kita lakukan, untuk kemudian menutupinya dengan amal saleh sebagaimana petunjuk Rasul. Wallahu a’lamu.
*)Bahrus Surur-Iyunk, alumnus Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan, kini Kepala SMA Muhammadiyah I Sumenep.