PWMU.CO-Buya Syafi’i. Nama lengkapnya Ahmad Syafi’i Ma’arif. Hari ini Ahad (31/5/2020) genap berusia 85 tahun. Dikenal sebagai intelektual dan Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1998-2005.
Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) mengadakan bincang santai mengupas sosok Buya Syafi’i, Sabtu (30/5/20). Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir membuka acara menyampaikan tahniah (ucapan selamat) atas ulang tahun sesepuh Muhammadiyah ini.
Haedar mengatakan, Buya Syafi’i adalah sosok yang spesial baik dalam perjalanan pergerakan Muhammadiyah, lebih-lebih dalam perjalanan bangsa. Buya Syafii hadir sebagai tokoh Muhammadiyah ataupun tokoh bangsa tidak dalam perjalanan yang singkat dan linier.
”Beliau menapaki perjalanan dan perjuangan hidup yang luar biasa. Dalam puncak perjalanannya tersebut kemudian membawa beliau menjadi sosok yang memberi makna spesial bagi kehidupan bangsa,” katanya.
Sekarang Buya adalah tokoh yang disebut sebagai bapak bangsa karena kecintaannya, pemikirannya, sikap hidup dan tindakannya dipandang oleh masyarakat luas sebagai sosok negarawan bangsa.
Gerakan Dakwah Kultural
Keteladanan penting Buya Syafi’i Ma’arif, sambung dia, terutama usahanya menjaga posisi Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah kultural murni yang berdikari dan terbebas dari ancaman menjadi tunggangan politik praktis.
”Politik memang penting, tapi ketika politik masuk dalam pergumulan kekuasaan politik praktis dan partisan, di sana bukan ranah Muhammadiyah. Tradisi cultural ini merupakan kelanjutan mata rantai dari khittah Muhammadiyah yang telah diletakkan para pendahulu sejak 1968, 1969, 1971 dan seterusnya. Warna Muhammadiyah yang kultural itulah warna yang sesungguhnya sebagai gerakan dakwah wal hikmah,” kata Haedar yang dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Menurut Haedar, kapasitas intelektual Buya Syafi’i juga telah membawa Muhammadiyah keluar dari posisi yang dinilai ambigu. Salah satunya adalah melalui lahirnya Khittah Muhammadiyah 2002 di Denpasar beserta gagasan dakwah kultural.
Dalam konteks Muhammadiyah, sambung dia, Buya paham betul bagaimana membingkai pemikiran pemikiran itu dalam satu sistem dan kolektivitas sehingga menghasilkan pemikiran bersama yang memberi warna dalam perjalanan Muhammadiyah yakni Muhammadiyah yang berwajah kultural tanpa wajah politik.
Pejuang Pluralisme
Sebagai tokoh Muhammadiyah, Buya telah ikut menorehkan pemikiran-pemikiran maju. Bahkan sebagian orang menyebutnya sebagai pemikiran liberal dalam makna positif. Pemikirannya sering keluar dari tatanan dan status pemikiran pada umumnya.
Dalam konteks bangsa, kata Haedar, Buya telah hadir sebagai sosok yang memberi warna serta menghadirkan pemahaman tentang pluralisme atau kemajemukan dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Namun di satu sisi tetap harus memegang prinsip Islam, dengan cara menghadirkan Islam yang inklusif.
”Warna ini sangat kuat dan terkadang dalam beberapa hal menimbulkan salah paham serta kontroversi di kalangan sebagian umat bahkan sebagian warga Muhammadiyah sendiri. Tapi lama kelamaan kita memahami karakter pemikiran inklusif tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari alam pikiran Muhammadiyah,” tuturnya.
Dijelaskan, kiprah Buya Syafi’i Ma’arif sebagai sosok yang mewakili civil society, menunjukkan sikap tidak anti kekuasaan atau rezim, tetapi juga tidak larut dan masuk dalam rezim kekuasaan.
”Tentu setiap orang memiliki kekurangan, tetapi benang merahnya adalah, Buya ingin menghadirkan Islam, Muhammadiyah dan wawasan kebangsaan yang mampu merawat kemajemukan,” tegasnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto