PWMU.CO-Riyoyo kupat dirayakan sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal. Masyarakat Jawa merayakannya dengan ketupat dan lepet. Meski budaya ini makin meluntur tapi di desa-desa ibu-ibu masih menyalakan api di atas tungku masak ketupat lepet selama delapan jam.
Tradisi kupatan sudah ada di nusantara sejak masa Hindu Budha. Tradisi ini diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri. Ia dinisbahkan sebagai dewi pertanian, kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran.
Dewi Sri merupakan dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Seiring perkembangan rasionalitas masyarakat terjadi demitologi Dewi Sri. Tak lagi dipuja sebagai dewa padi atau kesuburan tapi hanya dijadikan lambang yang direpresentasikan dalam bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan.
Walisongo yang tetap menghargai nilai tradisi menjadikannya sebagai media dakwah untuk mengenalkan Islam. Misalnya Sunan Kalijaga memakai kenduri slametan tidak dihilangkan tapi diakulturasikan dengan nilai keislaman. Diperkenalkanlah dua istilah Bada Lebaran dan Bada Kupat.
Bada Lebaran dipahami sebagai pelaksanaan shalat Idul Fitri hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama Muslim. Sedangkan Bada Kupat dimulai sepekan sesudah Lebaran.
Menurut HJ de Graaf dalam buku Malay Annal, ketupat adalah simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak. Pada awal abad ke-15, Kesultanan Demak dipimpin oleh Raden Patah.
Kesultanan Demak membangun kekuatan politiknya sembari menyiarkan agama Islam dengan dukungan Walisongo, salah satunya dakwah Sunan Kalijaga.
Ketika menyebarkan Islam ke pedalaman, Walisongo melakukan pendekatan budaya agraris, mereka beranggapan, tempat adalah unsur keramat dan berkah sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan.
Graaf menduga janur kelapa yang dibuang lidinya itu menunjukkan identitas budaya pesisir yang dipenuhi banyak pohon kelapa.
Pemaknaan dari Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga menganalogikan hari raya ketupat sebagai bagian mengakui kesalahan dalam empat tindakan. Kupat adalah ngaku lepat dan laku papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan.
Laku papat itu empat tindakan dalam perayaan Lebaran. Empat tindakan tersebut adalah lebaran, luberan, leburan dan laburan.
Lebaran memiliki arti usai atau berakhir, yang menandakan selesainya masa berpuasa dalam bulan Ramadhan dan kesiapan menyongsong kemenangan. Luberan bermakna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin.
Leburan maknanya adalah habis dan melebur. Maksudnya pada momen Lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur. Laburan berasal dari kata labur atau kapur. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.
Ketupat menjadi simbol maaf bagi masyarakat Jawa. Yaitu ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya, mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya. Apabila ketupat tersebut dimakan, otomatis pintu maaf telah dibuka dan terhapuslah segala yang pernah khilaf. (*)
Penulis Teguh Imami Editor Sugeng Purwanto