PWMU.CO – Buya Syafi’i di mata orang NU. Buya itu selain sebagai bapak bangsa dengan integritas moral spiritual yang menginspirasi, Buya juga seorang sejarawan.
Hal itu dikemukakan oleh Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Amerika Serikat Akhmad Sahal dalam Serial Diskusi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dengan tema Islam Berkemajuan Perspektif Ahmad Syafii Maarif via aplikasi Zoom, Ahad (31/5/2020).
Akhmad Sahal juga mengucapkan selamat ulang tahun ke-85 pada Buya Syafi’i Ma’arif. “Semoga selalu menginspirasi kita semua,” ucapnya.
Kemunduran Umat Islam
Menurut Akhmad Sahal, Buya Syafi’i pernah menulis Islam berkemajuan di Suara Muhammadiyah tahun 2018. “Ada tiga tulisan dan itu menarik karena menunjukkan apa yang menjadi obsesi Buya Syafi’i tentang Islam berkemajuan,” ujarnya.
“Buya Syafi’i menegaskan Islam berkemajuan itu memang sudah menjadi trade mark-nya Muhammadiyah. Sejak awal berdirinya Muhammadiyah dengan pembaharuan ya Islam berkemajuan itu,” ungkapnya.
Tetapi sekarang, sambungnya, menjadi lebih penting karena Buya Syafi’i melihat saat ini dirasakan ada kemunduran di kalangan umat Islam. Dan ini membutuhkan langkah intelektual yang drastis.
“Kemunduran itu menurut Buya salah satu faktornya atau faktor utamanya adalah masih dibebaninya Islam dengan Arabisme. Ini Buya kan sering menyebut soal Arabisme yang salah arah atau yang terlalu dominan mewarnai Islam,” sambungnya.
“Islam lahir di Arab dan tidak bisa dipungkiri banyak elemen budaya Arab yang masuk ke dalam Islam. Tetapi Islam tidak identik dengan Arab,” imbuhnya.
Spirit Egalitarianisme Islam
Dan menurut Buya salah satu kemunduran umat Islam adalah ketika Arabisme ini mencengkeram Islam dan menghilangkan dimensi utama dari Islam yakni egalitarianisme.
“Tauhid itu implikasi sosialnya kan penghambaan kepada Allah. Kemudian menisbikan hubungan kita dengan sesama manusia tidak ada lagi penghambaan kepada manusia,” tambahnya.
“Jadi dampak sosialnya adalah egalitarianisme. Yang menindas itu harus dilawan. Itu spirit egalitarianisme Islam yang menurut Buya itu rusak dan tergerus oleh Arabisme dalam bentuk munculnya imperium. Imperium keislaman sejak Umayyah,” jelasnya.
Jadi spirit Arabisme itu mencengkeram kuat. Itu terjadi ketika dinasti imperium Islam membajak agenda keislaman dan menghilangkan dimensi egalitarianisme itu.
Menurut Buya dan beliau mengutip Ibnu Khaldun, yang menjadi penyebab kemunduran atau keterbelakangan Islam karena faktor Arabisme.
“Arabisme dipahami konteks awal Umayyah dilanjutkan Abbasiyah. Intinya imperium. Di mana yang menjadi ciri mereka adalah kemewahan, kerakusan dan kesombongan,” terangnya.
Keterbelakangan Harus Dibongkar
Tiga hal itu, lanjutnya, yang membuat umat Islam kemudian terpuruk. Meski Buya tidak memungkiri pada masa Umayyah terutama Abbasiyah peradaban Islam sedang naik daun.
“Kita tahu sumbangan ilmuwan Muslim waktu itu. Tetapi menurut Buya imperium Islam itulah yang justru mencengkeram dan bertanggung jawab terhadap Arabisme yang menggelayuti warna keislaman sampai sekarang,” sergahnya.
Kebangsaan Indonesia Berspirit Humanisme
Buya Syafi’i melihat keterbelakangan itu harus dibongkar dan direkonstruksi Arabisme itu. Jadi harus dikembalikan spirit egalitarianisme Islam dan dilepaskan dari kungkungan Arabisme itu.
“Di sinilah saya melihat Buya spirit Islam berkemajuan yang mendasari pandangan-pandangan Buya mengenai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan yang menjadi tiga matra pemikiran Buya,” tegasnya.
Maka kenapa dengan dilepaskan keislaman dari Arabisme dan dikembalikan spiritnya kepada elegatiranisme. Tauhid yang menghilangkan penghambaan kepada sesama manusia. “Maka Islam itu tidak dimaknai dalam kerangka ashabiyah. Buya dengan sangat enteng, ringan, dan sangat nyaman menerima kebangsaan,” ujarnya.
Bagi Buya, lanjutnya, kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang berspirit humanisme. Makanya Buya juga tidak serta merta fanatik dengan kebangsaan yang tidak humanis, misalkan Zionisme.
“Ada tulisan buku Buya tentang pertemanannya dengan seorang Yahudi Gilad Atzmon. Tentang Yahudi yang kritis terhadap Zionisme. Dan bagi Buya ini adalah contoh bagaimana kemanusiaan. Zionisme adalah contoh di mana kebangsaan mengekang kemanusiaan,” urainya.
Islam Kompatibel dengan Kemanusiaan
Nasionalisme semacam ini ditolak oleh Buya. Tetapi kebangsaan yang universal. Kebangsaan Indonesia yang dirumuskan para founding father itu diterima oleh Buya karena kebangsaan itulah manifestasi dari kemanusiaan.
“Jadi dengan melepaskan kungkungan Arabisme yang menurut Buya menjadi pangkal terjadinya kemunduran, dan mengembalikan Islam kepada spirit egalitarianismenya, maka Islam kemudian kompatibel dengan kemanusiaan dan kebangsaan,” ungkapnya.
“Itu yang saya tangkap dari logika pemikiran Buya Syafi’i Ma’arif tentang Islam berkemajuan,” tambahnya.
Yang menarik, ujarnya, bagaimana kita melihat pandangan Buya semacam ini. Pandangan ini mengingatkannya kepada pandangan keislaman Soekarno.
“Terutama Soekarno pada masa 1930-1940-an. Soekarno muda yang juga sangat menekankan dimensi progresif Islam. Bung Karno kebetulan juga Muhammadiyah kan,” ujarnya.
Pemahaman Fikih Dokmatis
Bung Karno, menurutnya, mengkritik keras bagaimana taklidisme itu mengungkung umat Islam dan taklidisme itu wujudnya adalah pemahaman fikih yang dokmatis.
“Bedakan dengan fikih yang konstruktif yang menekankan pentingnya penggalian metodologi. Seperti fikih sosial ala Kiai Sahal Mahfudh, atau fikih-fikih yang pemikirannya terbuka seperti beberapa tokoh NU lainnya,” ungkapnya.
“Bagi saya fikih itu tidak niscaya dokmatis. Saya lama belajar fikih. Saya tahu justru fikih itu sangat memberikan kesempatan kepada intelektual exercise,” sambungnya.
Umat Islam Umat Washatan
Tetapi bukan fikih semacam itu yang dikritik Bung Karno. Namun fikih dokmatis yang membawa kepada taklidisme dan bentuknya adalah khalifah. Khilafah yang kejayaan masa lalu yang dianggap sakral.
“Kritik Bung Karno terhadap khilafah sama dengan kritik Buya Syafi’i terhadap Arabisme. Kalau kita ingin mencari Islam maka ambillah spiritnya, apinya atau flame-nya. Bukan dupanya, asapnya, abunya, atau sesuatu yang bekas-bekasnya,” tegasnya.
Jadi spirit of Islam itu yang kemudian menjadi dasar Islam berkemajuan ala Bung Karno. “Dan ini menarik kalau dibahas lebih lanjut. Seberapa jauh Buya Syafi’i dipengaruhi oleh Bung Karno dalam pandangannya mengenai Islam berkemajuan,” harapnya.
Islam berkemajuan Buya Syafi’i berupaya membongkar taklidisme dan kejumudan berpikir yang diwujudkan dalam bentuk mengelap-ngelap masa lalu imperium khilafah dan seterusnya.
“Kemudian mengembalikan Islam kepada keislaman yang egaliter dan spirit keislaman yang bertolak kepada kreativitas dan kemanusiaan. Dan dengan cara itulah Buya Syafi’i Ma’arif menyatakan umat Islam akan kembali kepada umat washatan,” tuturnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.