Jalan Berliku Menjadi Muhammadiyah ditulis oleh Syamsul Arifin, Guru Besar Sosiologi Agama Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam UMM. Juga Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan AIK Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
PWMU.CO – Becoming Muhammadiyah, menjadi Muhammadiyah, lalu di mana posisinya dalam survei sebagaimana disampaikan oleh Pak Roy—sapaan akrab Rohman Budijanto, redaktur senior Jawa Pos.
Dia menyampaikan itu pada refleksi sebuah acara yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, di Hotel Kapal Garden, Sengkaling, Malang Januari 2020.
Telah menjadi suatu common sense bahwa Islam memang beragam karena disebabkan antara lain keragaman pemahaman dan penghayatan terhadap Islam oleh pemeluknya.
Salah satu buku yang ditulis oleh John L. Esposito sebenarnya berjudul, Islam: The Straight Path. Tetapi Paramadina, Jakarta, menerbitkan dalam versi bahasa Indonesia dengan judul utama yang berbeda dari versi aslinya dalam bahasa Inggris, menjadi Islam Warna-Warni. Dengan memberi judul seperti itu, Paramadina ingin menggiring pembaca pada pemahaman terhadap keragaman (diversity) Islam.
Survei Kualitas Umat Islam Indonesia
Pak Roy dalam refleksinya itu, menceritakan kembali informasi yang diterima melalui WhatsApp tentang keragaman kualitas umat Islam di Indonesia.
“Orang Islam Indonesia yang rutin shalat lima waktu hanya 24,9 persen, yang rutin shalat lima waktu berjamaah 5 persen, yang shalat bolong-bolong 57 persen. Menariknya yang rutin ikut tahlilan 83 persen. Sementara yang ikut maulidan 90 persen,” kutip Pak Roy.
Rupanya informasi tersebut berawal dari Ahmadie Taha yang mengingatkan saya pada penerjemah kitab Mukaddimah karya Ibnu Khaldun. Saya mengetahui muasal informasi tersebut setelah Pak Roy meneruskan WhatsApp yang diterimanya ke saya pada malam itu.
Pada bagian atas informasi itu, tertulis nama Ahmadie Thaha. Dari terusan WhatsApp Pak Roy itu, saya menjadi tahu asal-muasal sumber informasi yang dirujuk Ahmadie Taha, yaitu buku Wajah Muslim Indonesia.
Siapa Ahmadie Taha? Kalau memang benar dugaan saya, Ahmadie Taha tentu bukan orang ecek-ecek. Dia memiliki rekam jejak yang kuat di bidang kepenulisan karena pernah meniti sebagai wartawan koran nasional.
Dan yang patut diapresiasi tentu kualitas terjemahannya terhadap Kitab Muladdimah itu yang berasal dari terjemahan pula dari Franz Rosenthal yang bertajuk The Muqaddimah: An Introduction to History— yang juga saya koleksi di samping versi terjemahan Ahmadie Taha.
Dan karena Pak Roy wartawan senior yang juga doktor bidang hukum dari Unair Surabaya, ditambah militansi dan loyalitasnya kepada Muhammadiyah, tentu dengan caranya yang rileks, casual, tetapi teflektif, dia sangat hati-hati dalam menerima informasi. Sebagaimana juga kehati-hati saya dalam menerima informasi terutama yang tersebar melalui WhatsApp.
Becoming Muhammadiyah
Kata Pak Roy di bagian refleksinya itu, “Muhammadiyah harus memiliki daya jangkau dan daya rangkul kepada mereka yang di luar 5 persen dan 24 persen.”
Hanya masalahnya, lanjut Pak Roy, Muhammadiyah kurang memiliki kosa kata dakwah yang lebih dimengerti oleh meraka yang ada di akar rumput.
Dengan mengatakan demikian, Pak Roy ingin menggugah kesadaran peserta Rapat Kerja Bersama agar dakwah Muhammadiyah lebih mengakar dengan kosa kata yang mudah dipahami. Rapat itu diikuti oleh pimpinan dan anggota Lembaga Kerjasama (LK)—di mana saya sebagai ketua— Lemba Informasi dan Komunikasi; Lembaga Pengembangan Cabang-Ranting; dan Majelis Pendidikan Kader.
Harapan Pak Roy, mereka tidak hanya lebih serius dalam mempraktikkan Islam. Tapi bagus pula kalau kemudian menaruh ketertarikan dan bahkan menjadi bagian dari Muhammadiyah.
Pak Roy telah menyinggung proses menjadi Muhammadiyah atau becoming Muhammadiyah. Suatu frase yang mengingatkan saya pada buku, Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Kaum Islam Berkemajuan.
Menjadi Muslim—dan dengan demikian menjadi Muhammadiyah (becoming Muhammadiyah)—tidak selalu menempuh jalan linear. Misalnya pengaruh keluarga terutama orangtua. Tidak sedikit yang melalui proses konversi setelah menempuh pencarian yang panjang dan berliku.
Pengalaman Menjadi Muhammadiyah
Proses saya yang pada gilirannya memasuki Muhammadiyah, misalnya, tidak berlangsung tiba-tiba. Konversi saya dipengaruhi oleh perjumpaan dan dialog dengan beberapa kawan dan dosen terutama Pak Malik Fadjar.
Juga karena bacaan antara lain buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Maka jelang rampungnya studi sarjana, bolehlah saya disebut sebagai Muhammadiyah, tetapi sebatas state of mind.
Pergumulan yang pernah saya alami, tentu belum seberapa bila dibandingkan dengan pengalaman Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, atau yang lebih akrab dengan sapaan Din Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015.
Cobalah baca buku, Din Syamsuddin: Dari Sumbawa untuk Dunia, yang diterbitkan Mizan tahun 2017. Pada sub bab, Pergulatan Pikir Memilih Muhammadiyah, Din bercerita dengan begitu lugas pergulatannya hingga kemudian konversi kepada Muhammadiyah.
Padahal, ditulis dalam buku itu, Din pernah memimpin IPNU Cabang Sumbawa serta digembleng sebagai kader NU. Ditambahkan pula pada sub bab itu, orangtua Din, terutama ayahnya yang tokoh NU mengharap Din aktif di NU sembari menyelesaikan kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat.
Akhirnya, masih menurut buku itu, pilihan Din jatuh pada IMM yang dinilai bisa menjadi laboratorium kepemimpinan. “Jadi keikutsertaan saya dalam berorganisasi di Muhammadiyah bukan karena ikut-ikutan. Itu pakai pergulatan pemikiran yang tidak mudah, bahkan keras,” kenang Din seperti ditulis dalam buku yang saya beli di Kinokuniya, Jakarta.
Jalan Berliku yang Menggetarkan
Memang, jalan berliku menjadi Muhammadiyah, becoming Muhammadiyah. “Ada yang sangat rasional dan akademis, tetapi ada juga yang sangat romantis dan sentimentil,” tulis Hajriyanto Y. Thohari pada bagian Prolog buku Becoming Muhammadiyah.
Saya serahkan kepada pembaca esai ini, bagaimana menilai proses becoming Muhammadiyah salah seorang kawan saya yang menjadi anggota LK di PWM Jawa Timur.
Diminta bergabung di lembaga baru itu, sejak 2016, saya tidak bertanya ihwal kemuhammadiyahannya kawan saya ini. Yang saya tahu, kawan saya ini aktivis salah satu organisasi kemahasiswaan Islam di UIN Maliki, Malang.
Saya tertarik pada state of mind-nya semenjak saya berkawan dengannya. Karena itu, ketika diminta bergabung dengan LK PWM Jatim, kawan saya ini segera menyanggupinya. Dan inilah pengakuannya yang mengharukan, “Mas, keluarga saya, istri dan ketiga anak saya, siap di-Muhammadiyah-kan.”
Saya mengalami vibrasi dengan ucapan kawan saya ini, yang juga dosen senior di salah satu PTN di Malang. Kawan saya yang lain bercerita begini, “Saya sebenarnya masih belajar di Muhamnadiyah ini,” Kawan tersebut yang juga berprofesi sebagai dosen di salah satu PTN, tetapi di Surabaya.
Dua kawan saya itu, karena berprofesi sebagai dosen, tetapi bukan karena faktor ini saja, saya perhatikan keduanya juga memiliki daya rambah keilmuan yang melintasi mazhab, bahkan juga agama.
Maka tidak perlulah saya kepada mereka berbicara seperti mengajari mereka tentang militansi dan “loyalitas tanpa batas” kepada Muhammadiyah. Dengan gaya mereka yang rileks, kasual, dan mungkin juga mereka dipertanyakan oleh lingkungan terdekatnya jika ihwal keterlibatannya di Muhammadiyah diketahui.
Mereka telah mewujudkan ungkapan perenial Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah.” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.