PWMU.CO – Salah satu masalah yang muncul dalam setiap penyelenggaraan qurban Idul Adha adalah tentang pemanfaatan kulit hewan qurban. Ada yang ngotot berpendapat bahwa ia tidak boleh diperjualbelikan, dan hanya boleh dibagikan.
Sementara di ujung lain ada yang berpendapat boleh menjual kulit hewan qurban lalu dibelikan hewan qurban lagi. Sebenarnya bagaimana menurut Islam?
Qurban adalah ibadah sosial, artinya hewan yang dipotong itu untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi. Sehingga seluruh daging, tulang, gajih, jerohan, bahkan air susunya, kalau hewan qurban itu betina dan bunting lalu melahirkan, adalah untuk umum, termasuk anaknya. Utamanya untuk kaum fuqara’ wal masakin. Dan yang bersangkutan, dalam hal ini, mudhahhi (orang yang berqurban) hanya boleh memakan sebagian.
Demikian sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah diberikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian mnya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir, orang yang sudah merasa cukup, dan yang meminta-minta”. (Qs al-Hajj 28, 36).
Di kalangan para ulama, di antaranya sahabat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar, membagi hewan qurban itu menjadi tiga: Sepertiga dimakan oleh keluarga, sepertiga untuk para tetangga dan sepertiga untuk fakir miskin.
“Kalau berbicara tentang makan, sudah barang tentu pada umumnya adalah daging. Sehingga dalam bahasa sehari-hari disebutkan “pembagian daging qurban”. Sementara yang tidak lazim dimakan, tidak disebutkan, misalnya tentang tulang dan kulitnya,” tulis almarhum KH Mu’ammal Hamidy beberapa tahun silam.
Terkait masalah kulit hewan qurban, pangkal masalahnya pada beberapa hadits berikut. Sahabat Qatadah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
فَكُلُوا مِنْهُ مَا شِئْتُمْ وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوهَا وَإِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لَحْمِهَا فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ
Makanlah sebagian dari qurban itu sesukamu, dan jangan kamu jual daging-daging hadyu dan daging-daging qurban, tetapi makanlah, sedekahkanlah dan manfa’atkanlah kulit-kulitnya dan jangan kamu jual; dan jika kamu hendak memberikan makan kepada orang lain dari dagingnya, maka makanlah jika kamu suka. (HR Ahmad)
Hadits ini, menurut Mu’ammal dengan merujuk Nailul Authar III, dikatakan mursal sekalipun rawi-rawinya shahih. Jadi, bukan sabda Nabi Saw tetapi perkataan Qatadah. Namun oleh para ulama hadits inilah yang dijadikan dasar, bahwa kulit qurban itu tidak boleh dijual, tapi boleh dimanfaatkan.
“Yang jadi masalah, khithab dalam Hadits ini ditujukan kepada mudhahhi (orang yang berqurban) ataukah juga kepada orang yang menerima bagian dari kulit maupun daging?,” tanya Mu’ammal. Kalau yang menerima daging qurban juga termasuk dalam khitab ini, maka oleh siapapun kulit dan daging qurban itu tidak boleh dijual.
“Tetapi, kalau dikembalikan pada masalah sedekah, bahwa jika barang sedekah itu sudah di tangan penerimanya, semisal fakir miskin, maka fakir miskin itu berhak untuk melakukan apa saja, misalnya menjual atau memberikan kepada orang lain.”
Justru itu, agaknya yang tepat khithab di sini ditujukan kepada mudhahhi. Yakni, mudhahhi tidak boleh pamrih lagi terhadap hewan qurbannya itu. Sedang para penerima qurban, baik dagingnya maupun kulitnya atau tulangnya, boleh menjual. Termasuk panitia yang berhak menerima kulit dan tulang-tulang, boleh menjual.
Khithab kepada mudhahhi ini, sesuai dengan sabda Nabi dari Abu Hurairah yang berbunyi:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَةَ لَهُ
Barangsiapa menjual kulit hewan qurbannya, maka tiada qurban sedikitpun baginya.
Hadits ini diriwayatakan oleh Hakim, dalam Mustadrak. Katanya: Hadits ini shahih, kendati Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Kata “qurbannya” itu, maksudnya adalah qurban si mudhahhi.
Namun, kebanyakan ulama, mengambil sikap secara umum, sehingga baik mudhahhi maupun si penerima tidak boleh menjual. Mereka harus memanfaatkan seoptimal mungkin, semisal kulitnya itu dipakai untuk peralatan rumah tangga. Tetapi untuk perkakas yang tidak bisa dimakan, seperti tali, tambatan atau peralatan rumah tangga lainnya.
Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, yang berpendapat: Boleh saja kulitnya dijual, untuk disedekahkan atau dibelikan sesuatu yang bermanfa’at. Atau ditukar dengan benda lain, bukan dalam bentuk mata uang yang bersifat konsumtif (istihlakiyah).
Kalau kulit dan juga tulangnya itu tidak boleh dijual oleh siapa pun, dan hanya boleh dimanfaatkan, maka pemanfaatan kulit dan tulang itu untuk kondisi sekarang ini, hanya bisa dilakukan oleh ahlinya. Fakir miskin, bahkan panitia qurban sendiri tidak mungkin bisa melakukannya. Maka, kulit itu diberikan kepada para perajin kulit dan tulang, dan jika kulit itu dibuat tas, sepatu, sandal dan sebagainya lalu dibagi-bagikan. “Apa ini logis?”.
“Karena itu, kami sangat condong pada pendapat Imam Abu Hanifah, dan ini termasuk bagian dari pengertian “pemanfaatan kulit” seperti dalam hadits Ali di atas. Atas dasar itu, maka panitia, yang dalam hal ini berhak atas kulit dan tulang boleh menjualnya, untuk dibelikan hewan lain yang dagingnya dimanfaatkan untuk dimakan, termasuk fakir miskin,” tandas Mu’ammal. (kholid/nadjib)