Delapan Keistimewaan KH Ibrahim sang Penerus Kiai Dahlan ditulis oleh M. Anwar Djaelani, aktivis dakwah kelahiran Pamekasan, Madura.
PWMU.CO – Setelah KH Ahmad Dahlan wafat, KH Ibrahim lalu memenuhi amanat: Menjadi Ketua Umum Pimpian Pusat Muhammadiyah mengggantikan sang pendiri. Selama 10 tahun memimpin, Muhammadiyah berkembang sangat pesat.
Memang, KH Ahmad Dahlan sempat berpesan, agar kepemimpinan Muhammadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada KH Ibrahim. Atas pesan itu, mula-mula KH Ibrahim menyatakan tidak sanggup. Terlebih lagi, dia adalah adik kandung Siti Walidah (istri KH Ahmad Dahlan). Sebagai adik ipar, Ibrahim khawatir akan timbul anggapan miring jika dia yang lalu memimpin Muhammadiyah.
Namun, banyak pihak yang kuat mendukung agar Ibrahim berkenan menjalankan wasiat KH Ahmad Dahlan untuk memimpin Muhammadiyah. Atas hal itu, Ibrahim pun luluh. Di Rapat Tahunan pada Maret 1923, Ibrahim dikukuhkan sebagai Ketua Hoofdbestuur/HB—-kini Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Siapa KH Ibrahim?
Siapa KH Ibrahim? Beliau lahir di Kauman Yogyakarta pada 7 Mei 1874. Dia putra KH Fadlil Rachmaningrat, Penghulu Hakim Kesultanan Yogyakarta pada masa Sultan Hamengkubuwono ke-7. Seperti telah disebut, beliau adik Nyai Ahmad Dahlan.
Pendidikan agama di awal-awal didapat Ibrahim langsung dari sang ayah, diajar mengaji al-Quran sejak usia 5 tahun. Juga, diajari agama oleh kakak tertuanya, KH M. Nur.
Ibrahim berhaji pada usia 17 tahun. Saat di Mekkah, dia lalu mukim di sana untuk menuntut ilmu dalam waktu yang cukup lama, bertahun-tahun. Pada 1902 dia pulang ke Indonesia, karena sang ayah sudah lanjut usia. Sepulang dari Mekkah itu, Ibrahim dipercaya untuk memberikan pelajaran agama. Banyak yang belajar kepada ulama dengan banyak kelebihan itu.
Bikin Peserta Kongres Terpesona
Berikut ini, sejauh yang bisa dicatat, berbagai keistimewaan KH Ibrahim. Pertama, cerdas dan berilmu tinggi. Dia hafal al-Quran, ahli qiraah, dan mahir berbahasa Arab.
Saat Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Sumatra Barat, tahun 1930, peserta terpesona. Apa pasal? Pidato pembukaan beliau memukau, karena dengan fasih sekali disampaikan dalam bahasa Arab.
Kedua, organisatoris. Di masa kepemimpinan Ibrahim, pesat kemajuan Muhammadiyah. D lohi antara indikatornya, Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta. Tercatat, kongres ke-15 di Surabaya, ke-16 di Pekalongan, ke-17 di Solo, ke-19 di Bukittinggi, ke-21 di Makassar, dan ke-22 di Semarang.
Ketiga, peduli pemuda. Pada 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan menggalang dana untuk membiayai sekolah anak-anak miskin. Pada 1925, beliau mengadakan khitanan massal.
Di samping itu, dia buat semacam program “Menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah”. Melalui ini, Ibrahim ingin mencetak kader-kader inti yang akan mengemban tugas kemuhammadiyahan ke depan.
Adapun secara umum, Ibrahim banyak memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk mengekspresikan aktivitasnya di Muhammadiyah. Secara khusus, tercatat, Ibrahim suka menerima santri-santri muda yang hendak belajar kepadanya dengan metode sorogan (setiap santri belajar secara langsung kepada sang guru). Juga, dengan wetonan (pengajian/pembelajaran yang diberikan hanya pada waktu-waktu tertentu).
Beliau menerima santri yang ingin mengaji kepadanya setiap hari, kecuali hari Jumat dan Selasa. Metode sorogan dipakai tanpa menghilangkan metode ala Barat yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Ahmad Dahlan.
Keempat, peduli (pemerataan) pendidikan. Di masa Ibrahim, sejak 1928, ada program mengirim putra-putri lulusan sekolah Muhammadiyah (Mu’allimiin, Mu’allimaat, Tabligh School, Normaal School) ke seluruh pelosok Indonesia. Program ini lalu dikenal sebagai “Anak Panah Muhammadiyah”.
Sementara, pada Kongres Muhammadiyah di Solo di tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan badan usaha penerbitan buku sekolah Muhammadiyah di bawah naungan Majelis Taman Pustaka.
Pemimpin Visioner
Kelima, visioner. Ibrahim jauh berpandangan ke depan. Dia sadar atas pengaruh besar dari sebuah media (cetak). Pada Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, 1932, diputuskan Muhammadiyah menerbitkan surat kabar. Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari media itu diberi nama “Adil”.
Sebelumnya, di masalah visi ke depan, bisa dikenang tahun 1927. Saat itu, atas andil Ibrahim, Muhammadiyah meresmikan dibentuknya Majelis Tarjih. Lembaga ini khusus membidangi masalah keagamaan untuk menyatukan seluruh umat Islam. Sedangkan untuk menangani berbagai persoalan ekonomi dan sosial, Muhammadiyah mendirikan Majelis Perekonomian dan Wakaf.
Keenam, pandai menggalang dana. Sekadar contoh, di tangan Ibrahim pengajian tak hanya untuk berbagi dan menerima ilmu saja, tapi juga bisa dimanfaatkan untuk menggalang dana. Hasilnya, untuk mendukung gerakan Muhammadiyah.
Larang Kultuskan KH Ahmad Dahlan
Ketujuh, tegas. Pada Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta -1928- ada sedikit ketegangan. Saat itu muncul permintaan agar gambar KH Ahmad Dahlan diturunkan dari dinding dan yang meminta justru Ibrahim.
Tentu, beliau punya alasan. Bahwa, sikap tersebut bukan lantaran tak menghormati sang pendiri Muhammadiyah. Tapi, beliau tidak ingin KH Ahmad Dahlan terlalu dikultuskan dan gejala tersebut sudah mulai tampak.
Kedelapan, peduli peran perempuan. Ibrahim berhasil membimbing gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib dan kuat.
KH Ibrahim wafat pada 1934, di usia 60 tahun. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah berkembang sangat bagus. Bisa kita lihat Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang, pada 1933. Di kongres terakhir dalam periode kepemimpinan KH Ibrahim itu, cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh Indonesia. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan Delapan Keistimewaan KH Ibrahim sang Penerus Kiai Dahlan adalah versi online Buletin Umat Hanif edisi 42 Tahun ke-XXIV, 5 Juni 2020/13 Syawal 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan moblitas fisik.