PWMU.CO– Henry Corbin, profesor studi Islam di Sorbonne, bisa dibilang seorang sufi dari Barat. Dia sangat paham pandangan tasawuf Islam terutama Persia. Dia meninggal tahun 1978 dalam umur 75 tahun, tapi pengaruhnya pada pemikiran Islam masih terasa.
Di Iran namanya cukup terkenal. Di kota Teheran, dekat Kedutaan Besar Armenia ada nama Jalan Henry Corbin. Toko-toko buku di seberang Universitas Teheran, di rak buku filsafat akan menjumpai buku banyak karya penulis ini. Dia banyak menulis tentang filsafat Iran.
Orang Iran yakin bahwa Corbin telah menjadi muslim Syiah setelah banyak berdiskusi dengan Muhammad Husain Thabathaba’i, ulama Iran yang telah menulis tafsir Quran Al-Mizan. Dia juga berkenalan dengan ulama Jalaluddin Ashtiyani.
Corbin ke Iran tahun 1945. Niatnya mempelajari Zoroaterisme yang menurutnya sebagai titik persimpangan antara agama-agama Timur dan Barat. Namun kemudian dia membaca buku-buku dari ulama Persia seperti Mulla Sadra, Yakub Sajistani, dan Ruzbehan Sirazi.
Diangkat menjadi direktur Institut Franco-Iranian de Teheran hingga 1973. Dia juga disebut sebagai juru dakwah Syiah di Perancis.
Namun Corbin ketika ditanya oleh wartawan pada tahun 1976 tentang agamanya menjawab, ”Saya seorang filsuf yang mengejar pencariannya ke mana pun ruh membimbingnya. Jika itu telah membimbing saya menuju Freiburg, menuju Teheran, menuju Isfahan, bagi saya yang terakhir tetap pada esensi kota-kota simbolik itu. Simbol dari perjalanan abadi.″
Membaca Kitab Klasik Islam di Gereja
Marian Brehmer dalam tulisannya di website en.qantara.de menjelaskan, Corbin yang lahir di Paris tahun 1903 masa kecilnya menjalani pendidikan Katolik tradisional sebelum belajar filsafat di Sorbonne. Usia 22 mulai tertarik pemikiran timur sehingga dia belajar bahasa Arab dan Sanskerta.
Tahun 1929, saat berusia 25 berkenalan dengan orientalis Louis Massignon di Paris. Pertemuan ini kemudian mengubah hidupnya. Massignon yang imam Katolik itu memperkenalkan filsuf sufi Iran, Shahabuddin Yahya al-Suhrawardi lewat bukunya Hikmat-ul Ishraq. Setelah membaca buku itu Corbin mengatakan,”Ini inspirasi dari surga.″
Dia lebih banyak mengenal pemikiran Islam seperti Ibnu Sina, al-Gazali, al-Farabi ketika membantu Massignon menelusuri teks Yunani yang berasal dari literatur zaman Islam.
Pemikiran filsafat Suhrawardi yang dia juluki sebagai Imam dari Platonis berpandangan seluruh ciptaan alam semester ini adalah emanasi dari cahaya ilahi tertinggi makin dia pahami ketika bertemu dengan filsuf Jerman Joseph Heidegger di Freiburg.
Heidegger punya pemikiran eksistensi sebelum kematian. Tahun 1931 Henry Corbin menerbitkan beberapa terjemahan karya Suhrawardi dan karya Joseph Heidegger Being and Time ke dalam bahasa Perancis.
Pengetahuan linguistiknya yang mendalam tentang bahasa Yunani, Latin, Jerman, Persia dan Arab memungkinkan dia mampu menjelaskan hubungan antara budaya, agama dan tradisi filosofis Timur dan Barat. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto