PWMU.CO – Din Syamsuddin: Kembalikan tafsir otentik Pancasila, terutama pada sila keempat yang menjadi landasan filosofis demokrasi Indonesia yang majemuk.
Demikian pendapat Prof Dr Din Syamsuddin MA dalam Kajian Strategis Dewan Nasional-Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) bertema Menyoal RUU tentang Pemilu, Prospek Demokrasi Indonesia, Selasa (9/6/20).
Menurut Din, DN-PIM sebagai pergerakan lintas agama, suku, dan profesi, tentu ingin mendambakan demokrasi yang menjamin kemajemukan Indonesia.
“Dan saya memahami sila keempat ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan’, mengandung nilai imperatif. Artinya, kerakyatan bangsa Indonesia yang majemuk yang bisa menjamin kemajemukan bangsa itu sendiri,” tutur Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2015 tersebut.
Din lalu bercerita, pernah mengadakan pertemuan internasional dengan para pakar di World Peace Forum. “Kita sepakat untuk yang relevan pada setting kemajemukan itu adalah demokrasi multikultural, multiculture democracy,” ujarnya.
Kembalikan Tafsir Otentik Pancasila
Sebelum turun pada tataran undang-undang, lanjut Din—apalagi masuk pada tataran yang lebih praktis lagi isinya—maka harus disepakati terlebih dahulu, apa yang menjadi landasan filosofis dari demokrasi Indonesia pada sila keempat itu.
“Ini harus selesai dulu, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Yang dulu para pendiri bangsa memberikan tafsir, yang saya anggap tafsir otentik karena merekalah yang merumuskannya. Merekalah yang menjabarkannya dalam sebuah rancang bangun kenegaraan Indonesia,” paparnya.
Sayangnya, lanjut Din, sebagian sudah berubah dan sudah diubah. Tentang pentingnya pengakomodasian seluruh aspirasi rakyat. Baik yang ikut bergabung di partai-partai politik, maupun yang tidak bergabung. Seperti dulu ada aspirasi utusan golongan dan lain sebagainya.
“Jadi kita mulainya dari sini, baru kemudian diletakkan pada sebuah kerangka, yaitu dengan mempelajari apa yang menjadi kelemahan selama ini. Bahwa ada kelebihan, ada kemajuan itu juga harus diakui. Terutama ada kebebasan bagi rakyat. Namun nanti perlu dilanjutkan kebebasan yang bagaimana,” terang Din.
Din menganggap hal tersebut merupakan persoalan penting. Baru kemudian beralih pada sifat dan hal teknis lain yang prosedural, seperti parliamentary presidential, threshold, multyparty sistem, dan lainnya. Perlukah penyederhanaan yang memungkinkan adanya dialog dan interaksi yang lebih sederhana.
“Dan penyederhanaan, apakah bagus untuk dilakukan tapi tanpa kehilangan makna pada dasar-dasar nilai kenegaraan kita,” ungkapnya.
Sudah Sesuaikah Demokrasi Kita?
Sebelumnya dalam pembukaannya, Din mengatakan bangsa Indonesia telah sepakat menggunakan demokrasi sebagai instrumen perwujudan cita-cita bangsa.
“Walaupun ada dari kita yang mengritik dan mempertanyakan. Apakah model demokrasi yang sudah kita terapkan itu sudah sesuai atau belum dengan sila keempat dalam Pancasila: ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan,” ujarnya.
Din menganggap, demokrasi yang berkesesuaian dengan sila keempat merupakan komitmen bersama untuk membangun negara Pancasila. Termasuk pada masyarakat Indonesia yang majemuk.
Pemilihan umum, baik pilkada termasuk pilpres, kata Din, merupakan sarana penting yang dikaitkan dengan nilai-nilai demokrasi. “Maka DN-PIM dengan suasana ilmiah dan pendekatan ilmiah ingin mengkaji apakah RUU tentang pemilu yang tengah dan sedang dibahas di DPR sana apakah telah sesuai?” tanya Din.
Kesesuaian yang dimaksud, kata Din, yang pertama apakah sudah bersesuaian dengan nilai-nilai demokrasi pada sila keempat. “Kedua, apakah bersesuaian dengan nilai-nilai demokrasi yang kita harapkan, dengan tidak meninggalkan nilai-nilai moral,” ujarnya.
Dan yang ketiga, menurutnya, adalah apakah RUU Pemilu itu dapat menjamin setiap warga untuk dapa menyatakan pendapat, memilih dan dipilih dengan prinsip-prinsip demokrasi yang lebih luas.
“Ataukah hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan tidak memberi kesempatan berpolitik khususnya pada warga negara yang berdaulat?” ungkapnya. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.