Pandemi dan Bangkitnya Ekonomi Rakyat tulisan Dr Slamet Muliono, dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO-Pandemi Covid 19 menyadarkan pentingnya kehidupan yang natural, apa adanya. Bebas dari kehidupan yang terpengaruh oleh simbol status sosial.
Nyeruput secangkir kopi di warkop atau di kafe franchise bisa jadi sama-sama nikmatnya. Tapi ada orang memilih minum di kafe franchise karena ingin bergaya. Harga bergaya itulah yang menjadikan secangkir kopi menjadi lebih mahal sepuluh kali lipat dari warkop.
Itulah harga simbol status sosial yang harus dibeli. Bukan semata-mata pada secangkir kopinya. Sekalian juga membeli duduk di kursi busa empuk, kesejukan AC-nya, nama besar mereknya.
Siapa yang berperan menciptakan simbol-simbol itu? Iklan. Kata-kata iklan seperti menjadi ayat-ayat suci yang menuntun hidupnya. Menuju surga yang diciptakan para kapitalis yang harus ditebus dengan ’sedekah’ belanja.
Wabah Corona juga menjadi ujian sebenarnya bisnis para kapitalis ini paling rapuh. Kelompok ini yang ambruk duluan dan menanggung kerugian besar. Tak ada lagi pelanggan yang datang. Sebab di masa wabah tak dibutuhkan lagi gaya hidup. Hidup menjadi sewajarnya.
Justru toko kelontong dan pedagang mlijo di kampung-kampung masih bisa eksis. Karena dalam kondisi jaga jarak dan di rumah saja, orang memilih membeli di toko dekat rumah. Maka gerakan belanja ke toko tetangga (BTT) makin menguatkan ekonomi rakyat.
Apalagi belanja di toko tetangga atau menikmati kopi di warkop ada keistimewaan yang tak diberikan supermarket atau kafe. Yaitu boleh ngutang, bayar saat gajian.
Hiperrealitas
Filsuf Perancis Jean Baudrillard dalam bukunya Simulacra menjelaskan istilah hiperrealitas. Ini sebuah gambaran realitas semu yang diproduk dengan memainkan simbol-simbol melampaui realitas aslinya kemudian dikomunikasikan secara massif.
Hiperrealitas menciptakan kondisi kepalsuan bercampur dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa. Dalam dunia politik lazim disebut pencitraan. Seseorang digambarkan lebih hebat dari aslinya.
Romo Mudji Sutrisno memakai istilah hiperrealitas untuk menjelaskan orang-orang yang membeli gaya hidup. Orang dibodohi oleh simbol kemewahan sehingga rela mengeluarkan uang melebihi kebutuhan yang sebenarnya.
Dia memberi contoh segelas kopi Starbuck seharga Rp 40 ribu-an. Mengapa bisa begitu mahal? Hitung-hitungannya, misal harga dasar kopi Rp 7 ribu, maka yang Rp 33 ribu Anda membayar harga sewa sofa dan membeli simbol Starbuck.
Angka Rp 33 ribu itulah hiperrealitas. Sebuah kondisi mental yang menganggap sesuatu itu nyata dan kita butuhkan melebihi kebutuhan dasar sendiri.
Praktik hiperrealitas akhirnya jamak dilakukan masyarakat. Pendorongnya tentu iklan. Membeli ayam goreng krispi gaya Amerika, minuman yang dikatakan penuh energi, pakaian bergaya selebritas, kendaraan, rumah, bahkan peralatan dapur seperti milik bintang film.
Pandemi Covid-19 telah meruntuhkan simbol-simbol itu. Pusat bisnis sepi. Mall, kafe, restoran kukut. Wabah menuntut orang hidup secara wajar, sehat, dan hemat. Hidup bergaya malah membawa risiko.
Ketika pusat bisnis bangkrut, di sisi lain membangkitkandirect selling yang dibuka di rumah-rumah. Berjualan masker, hand sanitizer, makanan, minuman, dan kebutuhan masak di dapur.
Orang membeli apa yang dibutuhkan. Membayar sesuai nilai barangnya. Tak ada tambahan biaya gaya hidup. Ternyata masyarakat bisa hidup dengan kondisi apa adanya.
Kalah Pendekatan
Sayangnya situasi ini membuat para kapitalis terus merugi makin besar. Mereka pun mendekati penguasa. Untuk membuka pusat bisnis, mall, restoran, transportasi. Agar barang-barang laku, uang bisa berputar.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akhirnya dibuka padahal jumlah pasien Covid masih tinggi angkanya. Di atas seribu pasien per hari. Yang bisa menulari banyak orang. Situasi ini mengorbankan kesehatan rakyat.
Karena itu agar tetap selamat dalam hidup new normal yang abnormal ini patuhi protokol kesehatan. Tak perlu buru-buru melepaskan rindu belanja ke mall. Utamakan menggerakkan ekonomi masyarakat dengan semboyan belanja ke toko tetangga.
Kita berharap toko kelontong dan pedagang sayur di kampung-kampung makin ramai. Mereka berdagang keuntungannya untuk bertahan hidup. Bukan seperti para kapitalis yang ingin mendapat keuntungan sebesar-besarnya biar pun tetangganya mati. (*)
Editor Sugeng Purwanto