KH Syuja’ sang Pemimpi Gila ditulis oleh M. Anwar Djaelani, aktivis dakwah kelahiran Pamekasan Madura yang giat menulis.
PWMU.CO – Kala Ahmad Dahlan pulang dari Mekkah, yang menjadi lurah Keraton, Yogyakarta adalah H. Hasyim bin Ismail. Sebagai lurah, H. Hasyim bin Ismail termasuk abdi dalem Keraton Yogyakarta yaitu pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Pangkatnya, Lurah Keagamaan.
Keduanya, Ahmad Dahlan dan H. Hasyim bin Ismail, tinggal di Kauman dan bertetangga sangat dekat.
Di Kauman, kampung di sisi barat Keraton Yogyakarta, Ahmad Dahlan mulai aktif berdakwah. Gagasan-gagasannya yang mencerahkan menarik simpati banyak orang, termasuk H. Hasyim bin Ismail.
Malah, tokoh agama yang disebut terakhir itu menyerahkan kelima anaknya yaitu Jasimah (lahir 1881), M Syuja’ (lahir 1882, aslinya bernama Daniel), Fachruddin (lahir 1884, aslinya bernama Jazuli), Ki Bagus Hadikusumo (lahir 1887, aslinya bernama Hidayat), dan Muhammad Zain (lahir 1889), untuk dididik Ahmad Dahlan.
Mimpi Gila KH M. Syujak
Sekarang kita fokus ke sosok KH M Syuja’. Pada 17 Juni 1920 berlangsung rapat anggota Muhammadiyah yang dipimpin langsung Ahmad Dahlan. Rapat itu membahas program kerja. Bidang Pendidikan dipimpin Hisyam, yang punya hasrat membuat sekolah-sekolah dan universitas Islam.
Bidang Tabligh dipimpin Fachruddin yang berkeinginan membangun masjid dan menggelorakan pengajian.
Bidang Taman Pustaka dipimpin Mohtar yang punya gagasan menerbitkan majalah dan buku-buku Islam. Bidang terakhir-bernama Penolong Kesengsaraan Umum/PKu—dan dipimpin Kiai Syuja’ punya ide membangun rumah sakit, panti sosial untuk orang miskin, dan panti asuhan.
Ide Syuja’ mendapat sorotan khusus dan bahkan ditertawakan peserta rapat. Banyak peserta rapat yang menilai ide Syuja’ terlalu besar dan tidak seimbang dengan kemampuan Muhammadiyah. Kira-kira, sebagian peserta rapat memosisikan Syuja’ sebagai sang pemimpi ‘gila’.
Bagaimana sikap Ahmad Dahlan? Pendiri Muhammadiyah itu meminta peserta rapat tenang karena rapat akan ditutup. Berikutnya, setelah minta izin untuk bicara, Syuja’ lalu mengungkapkan rasa kecewanya karena ide-idenya ditertawakan.
Tak hanya itu, Syuja’ lantas memberikan argumentasi. Bahwa, idenya itu dia yakin bisa dilaksanakan. Syaratnya, saat mendirikan rumah sakit, panti sosial, dan panti asuhan itu kita kerjakan dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat sebagaimana perintah Allah.
Syuja’ pun menutup uraiannya dengan mengutip Surat Muhammad 7, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah niscaya Allah akan menolong kamu dan akan meneguhkan kedudukanmu.” Kisahnya baca sangpencerah.id.
Mimpi Syuja’ Terbukti
Syuja’ benar. Pada 13 Januari 1923 resmi berdiri rumah miskin. Pembukaannya dihadiri tamu-tamu terhormat. Misalnya, pengurus Sarekat Islam, Budi Utomo, dan Taman Siswa.
Selanjutnya, pada 1938, di berbagai lokasi di Yogyakarta telah berdiri RS PKU Muhammadiyah, panti asuhan bagi putra, panti asuhan bagi putri, dan rumah miskin.
Kini, di 2020, masyarakat bisa menyaksikan bahwa ide yang sempat ditertawakan itu bisa lebih terwujud dan bahkan menjadi salah satu identitas Muhammadiyah. Masyarakat umum secara sederhana mengenal Muhammadiyah lewat kehadiran banyak sekolah (dan lembaga pendidikan lainnya), rumah sakit (termasuk berbagai jenis klinik kesehatan), dan panti asuhan di berbagai pelosok Indonesia.
Siapa KH M Syuja’?
Siapa Syuja’? Syuja’ berarti berani. Terkait nama itu, ada kisah. Di perjalanan pulang dari Mekkah saat berhaji, kapal laut yang ditumpanginya diserang badai. Dengan berani Syuja’ –yang bernama asli Daniel- segera menurunkan layar-layar hingga kapal itu selamat dari amukan badai. Atas kejadian itu, dia lalu dikenal sebagai pemberani.
Syuja’ pernah belajar di Pesantren Wonokromo—di sekitar Yogyakarta—sebagaimana adiknya, Fachruddin. Nama yang disebut terakhir ini tak kurang pula jasanya bagi Muhammadiyah.
Syuja’ mulai menjadi pimpinan Muhammadiyah pada 1921. Pada saat itu, PP Muhammadiyah sedang membentuk beberapa bagian (majelis). Syuja’ terpilih sebagai ketua bagian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), PKU nama sekarang.
Pada Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada 1937, nama Syuja’ menjadi salah satu dari tiga yang memperoleh suara terbanyak. Akan tetapi—dengan pertimbanhan tertentu—peluang itu diserahkan kepada Mas Mansur, tokoh di luar yang tiga itu.
Sementara Syuja’ diberi kepercayaan untuk memimpin Majelis PKU kembali hingga memasuki masa kemerdekaan. Setelah itu, Syuja’ tidak lagi duduk di dalam kepemimpnan Muhammadiyah secara fungsional. Meski demikian, hingga akhir hayatnya ia dipercaya menjadi Penasihat Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Bagian Penolong Haji
Selain di bagian PKU, bidang yang menjadi perhatian Syuja’ sejak aktif di Muhammadiyah adalah Bagian Penolong Haji. Di bagian ini Syuja’ menduduki posisi anggota komisaris.
Pada 1922, ia didampingi M. Wiryopertomo mendapat tugas dari Hoofdbestuur/HB—kini PP Muhammadiyah—untuk memimpin jamaah haji. Syuja’ juga ditugaskan untuk mensurvei kondisi perjalanan haji dan memperkenalkan Muhammadiyah di Mekkah.
Sampai hari-hari menjelang wafatnya, Syuja’ masih terus mengurusi perjalanan haji. Berkat jasa-jasanya itulah Syuja’ dikenal sebagai tokoh pelopor perbaikan perjalanan haji Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, bersama teman-temannya ia membentuk Persatuan Djamaah Haji Indonesia (PDHI). Seperti ditulis panjimasyarakat.com.
Ada yang terasa pahit dalam perjalanan hidup Syuja’. Kisahnya, saat Syuja’ sakit menjelang akhir hidupnya, justru beliau dirawat di rumah sakit Katolik. Hal ini karena RS Muhammadiyah kala itu tak mampu mengatasi penyakit yang dideritanya.
Atas keadaan itu, Syuja’ sempat mengatakan, “Apakah kita-orang Islam-tidak dapat membuat rumah sakit sebesar ini” (Syuja’, 2009: 195). Hanya saja, kita bersyukur, Syuja’ meninggal di rumahnya sendiri pada 5 Agustus 1962. Dapat ditambahkan, saat sakit, Syuja’ sempat dijenguk oleh dr Sukiman mantan Perdana Menteri dan KH Masykur mantan Menteri Agama.
Sebagai pribadi, rasanya, Syuja’ tak ingin dikenang secara khusus. Tapi, ternyata nama dia ada di salah satu kumpulan tulisan Soekarno yang kemudian dibukukan dengan judul “Di Bawah Bendera Revolusi”. Presiden pertama Indonesia itu menyebut Syuja’ di di bab nomor 36 di halaman 349 (Syuja’, 2009: h. 202).
KH M Syuja’, engkau sang pemimpi yang sangat berarti bagi kami. KH Syuja’, semoga engkau bahagia di sisi Allah. Ya Allah, rahmati salah satu teladan kami itu. Amin. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan KH Syuja’ sang Pemimpi Gila adalah versi online Buletin Jumat Hanif edisi 43 Tahun ke-XXIV, 12 Juni 2020/120 Syawal 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.