PWMU.CO-Gaya manajemen blangkon ala PLN adalah jawaban terjadinya heboh tagihan listrik bengkak yang meledak di bulan Juni. Semua orang mengeluhkan tagihannya naik hingga dua kali lipat. Jumlah keluhan pelanggan atas kenaikan rekening ini sudah mencapai 65.785 laporan.
Wabah corona menjadi alasan. Seperti katakan Dirut PLN Zulkifli Zaini. Selama berlangsungnya PSBB, PLN tidak melakukan pencatatan meter. Tagihan bulan April menggunakan perhitungan rata-rata pemakaian tiga bulan sebelumnya.
Penggunaan rata-rata tiga bulan ini, dikatakan, menjadi standar pencatatan di seluruh dunia ketika petugas tidak dapat melakukan pencatatan meter.
Kemudian, pada bulan April baru 47 persen petugas PLN melakukan pencatatan meter untuk tagihan bulan Mei karena masih ada PSBB di beberapa daerah.
”Bulan Mei hampir 100 persen dari pelanggan didatangi pencatat meter untuk rekening bulan Juni. Tagihan rekening bulan Juni merupakan tagihan riil ditambah dengan selisih pemakaian bulan sebelumnya, yang dicatat menggunakan rata-rata tiga bulan sebelumnya,” tuturnya.
Ternyata selisih pemakaian yang belum tercatat bulan sebelumnya itu besar seiring dengan kenaikan konsumsi listrik selama masa pandemi harus bekerja dan belajar di rumah. Lengkaplah sudah penderitaan pelanggan dengan tagihan yang di-tumplek-bleg di bulan ini.
Efek Mbendol Mburi
Itulah yang disebut manajemen blangkon. Mbendol mburi. Awalnya tenang-tenang saja, di belakang hari dipukul dengan masalah besar. Yang mengagetkan. Seperti bendolan blangkon yang mengganjal di belakang kepala.
Sebenarnya praktik manajemen blangkon ini sudah lama diterapkan PLN. Alasannya keterbatasan petugas pencatat meter. Lalu pilih gampangnya saja. Main pukul rata pemakaian listrik seperti bulan sebelumnya. Kadang tagihan meter melebihi angkanya.
Saya beberapa kali mengalami. Kalau pelanggan komplain, baru diselesaikan. Caranya, tagihan bulan berikutnya dinolkan angkanya. Pelanggan hanya ditagih biaya beban dan Pajak Penerangan Jalan Umum. Sampai pemakaian listrik sesuai angka di meteran.
Kalau pelanggan tak komplain, maka kesalahan penghitungan jalan terus hingga tagihan listrik membengkak besar mbendol mburi menghantam kepala berkali-kali.
Kali ini heboh karena terjadi kepada semua pelanggan di seluruh pelosok negeri. Naiknya 100 persen bahkan ada yang lebih. Tapi bagaimana pun cara pelanggan berkeluh kesah, PLN tetap menang. Tagihan itu harus tetap dibayar. Tidak ada pilihan lain. Sebab listrik masih monopoli PLN. Kalau tak mau bayar, listrik di rumah bakal diputus.
Sebenarnya PLN harus mau bersusah payah mencari rumus cara penghitungan rata-rata yang bisa mendekati pemakaian listrik pelanggan sehingga efek mbendol mburi dapat dihilangkan. Misalnya dengan mempertimbangkan faktor naik dan turunnya konsumsi listrik.
Tagihan bulan Juni ini sepertinya PLN tak memperhitungkan dampak tagihan itu bagi pelanggannya. Dampak besarnya kenaikan yang 100 persen, dan masa sulit duit di masa covid. Mungkin PLN sendiri juga kaget setelah mendapat reaksi serentak di seluruh negeri dari pelanggan yang menggeruduk kantornya.
Akhiri Monopoli Listrik
Solusi lain untuk menyelesaikan ini adalah mengakhiri monopoli listrik dari PLN. Harus ada yang memulai membangun energi listrik baru seperti listrik tenaga surya untuk rumah tangga.
Kalau saja ada perusahaan yang bisa menyediakan perangkat listrik surya yang praktis dan ekonomi dijamin banyak orang akan beralih ke listrik surya.
Penerangan jalan umum, lampu traffic light, dan lampu penerangan jalan tol sudah memakai panel surya untuk energinya. Jika ini bisa dikembangkan untuk kebutuhan rumah pasti bakal laku. Mungkin biaya awal besar tapi pengeluaran per bulan bisa lebih murah.
Suatu saat pasti bisa ditemukan cara mengakhiri monopoli listrik ini. Buktinya monopoli telepon oleh Telkom berangsur habis setelah munculnya handphone. Dulu waktu telepon dikuasai Telkom, pelanggan menurut saja aturan dan tarif yang dibuat perusahaan ini. Setelah handphone dan SIM card makin murah, pelanggan telepon rumah satu per satu meninggalkannya. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto