Masjid dan Objektivitas Covid-19 ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO, alumnus FPMIPA IKIP Surabaya.
PWMU.CO – Masjid itu tempat suci, tidak mungkin terpapar Covid-19. Itulah salah satu alasan mereka yang membuka masjid di masa pandemi.
Berita detik.com, Sabtu 13 Juni 2020, menjawabnya. Pemkot Surabaya meminta 16 masjid dan 4 gereja ditutup. Alasannya, ada jamaah yang positif Covid-19.
Penutupan itu tepat. Kalau tidak ditutup, maka rumah ibadah tersebut akan menjadi sarana penularan Covid-19 yang lebih massif—sesuai sifat virus Corona yang menular dari orang ke orang dalam jarak dekat.
Dan jamaah masjid—namanya juga jamaah, berarti berkumpulnya dua atau lebih orang—adalah bagian dari keramaian yang berpotensi besar menularkan Covid-19. Seperti juga ‘jamaah’ pasar, mall, atau pabrik.
Objektivitas Alam
Jika asumsinya masjid tempat suci yang dijamin Tuhan bebas dari Covid-19 maka seharusnya masjid tak perlu ditutup. Tapi kenapa harus ditutup? Juga kenapa dua masjid di Tanah Suci, al-haramain: Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi sempat ditutup saat pandemi masih berbahaya di sana?
Bagamana menjawabnya? Virus Corona—seperti juga fenomena alam lainnya—memiliki sifat objektif. Yakni bersikap sama pada semua, tidak membeda-bedakan perlakuan.
Petir misalnya jika menyambar orang, tidak menanyakan apa agamanya. Dia tak peduli calon korbannya, apakah beragama Islam, Protestan, atau Hindu.
Nah, ada satu pertanyaan menarik berkaitan dengan itu dalam kajian tentang Tuhan, alam, dan manusia yang populer di tahun 80/90-an “Jika ada dua tempat ibadah: masjid dan gereja, manakah yang selamat dari sambaran petir. Jika masjid tidak memasang penangkal petir sementara gereja memasangnya?”
Dalam kajian itu, dijelaskan jika yang akan tersambar petir adalah masjid. Sebab petir bersikap objektif. Sementara gereja aman sebab memasang penangkal sebagai bagian pemahaman tentang sifat petir yang bisa dijinakkan dengan sistem tertentu.
Mungkin Anda yang beragama Islam tidak terima dengan contoh kasus itu. Karena merasa masjid sebagai rumah Tuhan dari agama yang benar, tapi justru tidak ditolong.
Petunjuk dan Takdir Tuhan pada Alam
Tapi jangan salah, objektivitas alam yang ditunjukkan oleh petir—atau konteks kini Covid-19—yang ‘menyerang’ masjid adalah bagian petunjuk atau hukum Tuhan yang diturunkan pada alam semesta.
Seperti dalam surat Thaha 50, Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu (makhluk) bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.”
Ibarat mobil, produsennya selalu memberi buku petunjuk sesuai dengan perilaku sistem mobil itu. Demikian juga alam semesta, Tuhan telah memberikan petunjuk bagaimana ciptaan-Nya menjalani kehidupan di dunia. Dan buku petunjuknya ada yang tercetak (ayat qauliyah, al-Quran) dan tidak tercetak (ayat kauniyah, hamparan jagat raya).
Petunjuk-petunjuk itu telah Tuhan tetapkan menjadi mekanisme alam semesta yang serba pasti, sesuai dengan ukuran-ukuran yang telah ditakdirkan-Nya. “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” al-Qamar 49
Sebagai contoh, setiap benda yang ada di atas akan jatuh karena tertarik gravitasi bumi. Itulah kepastian atau takdir Tuhan yang diberlakukan. Apakah apel, juwet, atau durian, pasti akan jatuh ke tanah.
Tapi kenapa pesawat tidak jatuh dan malah bisa terbang? Jawabnya, karena penemunya belajar takdir Tuhan lainnya di alam semesta. Ada ilmu tentang gaya angkat (lift) dan gaya dorong (thrust) untuk melawan gaya gravitasi. Selain ada gaya hambat (drag) untuk menahan laju sehingga pesawat tetap bisa dikendalikan.
Alam Bersifat Pasti
Selain objektif, karakter alam semesta lainnya adalah pasti (exact), tidak berubah. Seperti peredaran matahari dan bulan. Petunjuk Tuhan itu Dia jelaskan dalam surat Yasin 38-39.
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.”
Dengan kepastian peredaran matahari, bumi, dan bulan, manusia bisa menentukan secara tepat kapan terjadinya gerhana matahari atau bulan: hari, jam, menit, dan detik bisa diprediksi dan terbukti tepat.
Manusia juga bisa menentukan kapan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, atau 1 Dzulhijah—tanggal-tanggal yang sangat penting bagi ibadah umat Islam, seperti yang dilakukan Muhammadiyah.
Dalam bahasa filosofis, dengan objektivitas dan kepastian itu sebenarnya alam semesta telah muslim, artinya pasrah dan tunduk kepada petunjuk dan takdir atau ketetapan Tuhan. Baca Ali Imran 83. Bahkan dalam beberapa ayat dijelaskan alam semesta selalu bertasbih memuji Allah. Seperti al-Isra 44 atau an-Nur 41.
Ketundukan alam semesta itu dengan demikian memberi peluang bagi manusia untuk ‘menemukan’ ilmu pengetahuan. Seperti Isaac Newton yang ‘menemukan’ hukum gravitasi bumi dari jatuhnya apel atau Archimedes ‘menemukan’ ilmu setelah berendam di air.
Disebut ‘menemukan’—dengan tanda petik—karena sebenarnya sebelum Newton menemukan ilmu gravitasi, dari dulu apel kalau jatuh ya ke tanah, bukan ke langit. Demikian juga kalau kita nyemplung ke air maka akan ada gaya apung sebesar berat zat cair yang dipindahkannya, sebelum Archimedes merumuskan teorinya.
Ayat-ayat alam semesta telah dibeberkan oleh Tuhan sejak penciptaannya. Newton dan Archimedes hanyalah dua contoh orang yang berhasil memikirkan fenomena alam semesta (tafakur), sabagai salah satu ciri ulul albab.
Covid-19 Lahan Pengetahuan
Objektivitas dan kepastian alam semesta itu juga berlaku pada SARS-CoV-2—virus Corona terbaru penyebab Covid-19.
Secara objektif dia tidak hanya menyerang penduduk Wuhan yang komunis. Atau warga Brasil yang kafir. Tapi juga menyerang penduduk Muslim—termasuk Indonesa dan Arab Saudi—sebagai kaum beriman.
Covid-19 tidak hanya berpotensi menular pada ‘jamaah’ pasar dan mall, tapi juga bisa menjangkiti jamaah masjid atau gereja. Tidak hanya menyerang orang awam, tapi juga dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Kerena itu sebenarnya yang terpenting adalah mengkaji ‘petunjuk’ dan ‘takdir’ Tuhan yang ditetapkan pada virus ini. Sampai saat ini baru ilmu tentang bagaimana cara penularannya yang sudah ditemukan, meski belum seluruhnya terungkap.
Sayangnya, pengetahuan tentang itu masih banyak diabaikan, karena menganggap orang-orang beriman dan tempat-tempat suci tak akan tercemar olehnya. Bahkan masker dan jaga jarak dianggap sebagai bagian konspirasi.
Yang masih kita tunggu adalah penemuan-penemuan berkaitan dengan vaksin dan metode penyembuhan penyakit ini. Dari sebagian yang kita baca, usaha itu sudah dilakukan dan akan terus dilakukan, baik oleh ilmuan dalam negeri maupun luar negeri.
Usaha-usaha seperti itu akan melahirkan para peneliti virus Corona sebagai Newton dan Archimedes baru. Sebab tidak semua yang kejatuhan durian akan berpikir seperti Newton. Artinya tidak semua orang yang hidup di masa pandemi Covid-19 ini mendapat manfaat atau hikmah, apalagi menemukan ilmu baru.
Itulah mereka yang berpikir konspiratif: menghembuskan isu jika Covid-19 ini adalah rekayasa, dibesar-besarkan, dan lahan bisnis dunia kesehatan dan media. Sikap seperti ini akan menjadikan umat Islam selalu tertinggal. Mudah-mudahan kita tidak termasuk!
Semoga tulisan Masjid dan Objektivitas Covid-19 ini bermanfaat! (*)