PWMU.CO-Shafiyah binti Huyay bin Akhthab adalah istri Rasulullah saw yang dinikahi paling akhir. Ayahnya, Huyay bin Akhthab, kepala kaum Yahudi Bani Nadhir di Madinah.
Huyay bin Akhthab sudah dihukum mati oleh pasukan Islam dalam perang Bani Nadhir. Perang ini terjadi karena bani Yahudi mengkhianati perjanjian damai. Mereka menghasut orang Quraisy dan kelompok lainnya sehingga terjadi perang Ahzab menyerang Kota Madinah.
Rasulullah bertemu Shafiyah dalam perang Khaibar. Kota ini permukiman Yahudi yang subur. Tiap bani membangun benteng perlindungan sendiri sehingga Khaibar terdiri banyak benteng. Lokasinya 150 km di utara Madinah.
Kota ini diperangi oleh Nabi sebagai rentetan perang Ahzab juga karena penduduknya bersekutu dengan musuh yang menyerang kaum muslimin. Orang-orang Khaibar juga memberi perlindungan Bani Nadhir yang melarikan diri ke kota ini.
Shafiyah tinggal di Khaibar mengikuti suaminya, Kinanah bin Rabi’. Suaminya bertugas sebagai penjaga harta orang Khaibar dari Bani Abu Al-Huqaiq. Ketika pertempuran benteng Al-Qamush milik Bani Abu Al-Huqaiq bisa direbut, Kinanah ditangkap. Dia diinterograsi soal penyimpanan harta. Karena berbohong akhirnya dia dieksekusi.
Ketika tawanan dikumpulkan, ada Shafiyah bersama wanita-wanita lainnya. Mereka dibawa kepada Rasulullah. Sahabat Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi meminta izin agar perempuan itu diberikan kepadanya sebagai budak.
Semula Rasulullah langsung mengizinkan. Tapi sahabat lain memberitahu, ”Shafiyah anak Huyay bin Akhtab, pemimpin Bani Nadhir. Dia sepantasnya untuk Rasulullah sendiri.”
Rasulullah lalu memanggil Dihyah lagi untuk menghadapkan Shafiyah. Setelah memperhatikan perempuan itu Rasulullah lantas sepakat memilihnya. Segera dikalungkan selendangnya ke pundak wanita itu sebagai tanda telah dipilihnya. Dihyah kemudian diberi ganti dua perempuan sepupu Shafiyah.
Rasulullah Menikahi Shafiyah
Setelah itu kaum muslimin bertanya-tanya apakah perempuan itu akan dijadikan istri atau budak oleh Nabi. Tak lama kemudian Rasulullah memasangkan hijab ke kepala Shafiyah. Maka kaum muslimin paham bahwa wanita itu hendak dinikahi Nabi.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Nabi menyampaikan niat menikahinya. Shafiyah setuju. Rasulullah langsung membebaskannya sebagai budak. Kebebasannya itu sebagai maharnya.
Maka rombongan berhenti mendirikan tenda untuk istirahat di daerah Shahbah sekaligus merayakan pernikahan ini. Ummu Sulaim binti Milhan, ibunya Anas bin Malik, merias Shafiyah untuk menjadi pengantin. Rambutnya disisir, wajahnya dirias, diberi pakaian yang bagus dan wewangian. Sampai-sampai para perempuan yang ikut rombongan ini pangling melihat kecantikan wanita berusia 17 tahun ini.
Para sahabat mengumpulkan tepung, minyak samin, dan kurma. Dengan bahan-bahan ini lalu dibuat roti. Itulah hidangan acara pernikahan Nabi di hari itu yang dimakan bersama-sama dalam pesta pernikahan sederhana yang menggembirakan.
Ketika malam tiba, Shafiyah masuk ke kemah Nabi dan tidur di situ. Sahabat anshar Abu Ayyub Khalid bin Zaid dengan inisiatif sendiri berjaga agak jauh dari tenda Nabi. Dia begadang semalaman dengan siaga memegang pedang terhunus.
Esok pagi ketika Rasulullah bangun melihat ada Abu Ayyub berdiri tak jauh dari kemahnya. Nabi langsung bertanya, ”Ada apa denganmu, wahai Abu Ayyub?”
Abu Ayyub menjawab, ”Ya Rasulullah aku takut jika wanita ini mencelakaimu. Karena kita telah membunuh ayah, suami, dan kaumnya dan ia juga baru memeluk Islam. Jadi aku takut jika ia mencelakaimu.”
Rasulullah tersenyum lantas berdoa,”Ya Allah, jagalah Abu Ayyub, sebagaimana ia semalam penuh menjaga diriku.”
Aisyah Cemburu
Pagi itu rombongan meneruskan perjalanan pulang. Ketika mereka telah mendekati kota Madinah, kabar kedatangan Nabi langsung tersiar termasuk pernikahannya.
Penduduk datang berbondong-bondong menyambut rombongan ini. Para wanita ingin melihat sosok Shafiyah yang menjadi topik perbincangan hari itu. Wanita itu tampak turun dari unta dibimbing Rasulullah. Hijabnya dipasangkan ke kepalanya. Wanita-wanita itu tampak cemburu dan berkata, ”Semoga Allah menjauhkan wanita Yahudi itu.”
Rasulullah membawa Shafiyah ke rumah Haritsah bin Nukman dulu. Tak langsung dibawa ke rumah istri-istrinya di dekat masjid. Ternyata di antara perempuan yang berkerumun di rumah Haritsah, ada Aisyah yang ikut menyelinap di situ. Meskipun memakai hijab dan cadar yang menutup hingga kepalanya, Rasulullah mengenalinya.
Saat Aisyah keluar, Nabi mendekati dan memegangnya lalu disapa dengan senyum menggoda. ”Apa yang kamu liha, ya Khumairoh?”
”Aku melihat seorang wanita Yahudi,” jawabnya ketus terbakar cemburu.
Nabi lalu meredamnya. ”Jangan berkata begitu. Shafiyah telah masuk Islam dan menjadi muslimah yang baik.”
Aisyah tak merespon. Dia segera pergi menuju rumahnya menemui istri-istri Nabi lainnya lalu membicarakan kecantikan istri baru ini. Beberapa hari kemudian Shafiyah pindah ke rumah Nabi setelah dibangunkan kamar untuknya.
Shafiyah pembawaannya sabar dan pendiam. Di lingkungan rumah ini kadang-kadang dia mendapat sindiran dari istri-istri yang berusia muda seperti Aisyah dan Hafsah karena keyahudiannya.
Saat mengadu ke Nabi, hatinya dibesarkan agar lapang dada. ”Katakan kepada mereka, bagaimana kalian merasa lebih baik dariku padahal suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa,” ujar Nabi.
Kata-kata itu sangat menghiburnya. Garis keturunan Shafiyah memang menyambung ke Nabi Harun yang bersaudara dengan Nabi Musa.
Kisah Shafiyah ini berdasarkan kitab Sirah Ibnu Hisyam dan Shahih Bukari. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto