Bersebelahan dengan mushalla, berdiri kantor Pimpinan Ranting Aisyiyah Kauman. Melangkah ke selatan lagi, deretan rumah kuartet bersaudara murid KH Ahmad Dahlan: KH M. Soedja’, KH Fachruddin, Ki Bagus Hadikusuma, dan KH Zaini. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan anak-cucu di Kauman, rumah tokoh-tokoh ini memang sulit dilacak.
Di ujung pintu gerbang seberang yang berhadapan Jl Kauman, terdapat bangunan sejarah bertingkat dua. Konon, tempat ini adalah kantor pertama HB (Hoofdbestuur/Pimpinan Pusat) Muhammadiyah yang disewa dari seorang warga. Sayangnya, bangunan ini kemudian hari dijual oleh ahli waris dan milik perseorangan, dan difungsikan sebagai toko kacamata.
(Baca: Setelah Kongres Boedi Oetomo di Rumah Kyai Dahlan, Inilah Dampak Positifnya untuk Muhammadiyah)
Keluar dari gerbang Kauman adalah Jl Kauman. Catatan penting sebelum keluar gerbang, terdapat gang sangat sempit ke arah kanan (barat) yang luas jalan gang hanya 1 meteran. Di depannya terdapat plang ‘Langgar KHA Dahlan Kauman Yogya’.
Masuk 10 meteran, di situ berdiri rumah 12 x 9 meter yang dulu ditempati KH Ahmad Dahlan. Sekarang memang bentuknya tidak utuh lagi karena dibagi oleh ahli warisnya. “Selain di mushalla, dulu rapat-rapat mendirikan Muhammadiyah juga dilakukan di ruang tamu rumah ini,” papar cicit KH Ahmad Dahlan, Ahmad Nafi’an.
(Baca: Mengapa KH Ahmad Dahlan Berpoligami? Inilah Penjelasan yang Diungkap oleh Keluarga Besarnya dan Inilah Kisah Sukses Poligami KHA Dahlan yang Dituturkan Cicitnya)
Di depan sebelah kiri rumah, terdapat ruang sekolah yang dulu dikenal sebagai Pawiyatan, yang artinya tempat sekolah. Tidak luas, hanya sekitar 5 x 5 meter, dengan jumlah 3 lokal. Keberadaannya yang mendahului Muhammadiyah adalah keistimewaan bangunan ini. “Tidak heran jika ada pengamat yang menyatakan jika Muhammadiyah sesungguhnya kelanjutan dari sekolah itu,” kata Nafi’an yang keturunan KH Ahmad Dahlan dari istri Nyai Aisyah.
Jika Anda pernah mendengar cerita mushalla KH Ahmad Dahlan yang bangunannya disesuaikan arah kiblat pernah dirobohkan oleh Kanjeng Pengulu Cholil Kamaluddiningrat, tempat itu berada tepat di depan sebelah kiri rumah. Berseberangan dengan Pawiyatan. Bangunan mushalla yang kemudian dibangun atas bantuan kakak iparnya, KH Saleh ini, akhirnya memang tidak langsung mengarah kiblat.
(Baca: Dirobohkannya Masjid Kami, Sebuah Kisah Nyata Intoleransi Mayoritas pada Minoritas dan Kisah Terusirnya Tokoh Muhammadiyah dari Mushala, tapi Akhirnya Dapat ‘Hadiah’ Masjid)
Namun, di dalamnya diberi garis-garis shaf mengarah ke kiblat sekitar 22 derajat barat laut untuk menyiasati kemarahan pengulu. Bangunan mushalla itu, kini masih sama bentuknya dengan saat pertama dibangun. Bertingkat dua, lantai atas untuk laki-laki, dan lantai bawah dikhususkan untuk Aisyiyah. Ukurannya hanya 7 x 7 meter.
Satu lagi, jangan pernah membayangkan Kauman sebagai kampung yang luas, meski punya peran sangat strategis. Sebab, kampung ini hanya menempati lahan 192 ribu meter persegi. Selain tempat kelahiran Muhammadiyah, kampung ini juga menjadi penopang kehidupan beragama sejak tempo dulu.
(Baca: Cara Nyai Ahmad Dahlan Mendidik Anak dan Masjid Kiai Dahlan saat Bertetirah di Pasuruan yang Sudah Berubah)
Sejarah menuturkan kampung ini awalnya tempat tinggal para pejabat Masjid Agung Kraton. Oleh pihak Kraton, tempat ini dijuluki tanah paKauman, tanah tinggal para kaum. Nama ini kemudian hari berkembang menjadi Kauman.
Secara administratif, kampung ini sekarang masuk Kelurahan Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Terletak tepat di barat alun-alun utara kraton Yogyakarta, kampung ini dilengkapi dengan Masjid Agung Kraton. Di sebelah barat berbatasan dengan Jl Nyai Ahmad Dahlan, sebelah selatan dengan benteng Kraton Yogyakarta, dan Jl KH Ahmad Dahlan di sebelah utara.
Selanjutnya halaman 3…