Penjelasan lebih terang diungkapkan oleh Ahmad Adaby Darban. Menurutnya, KH Ahmad Dahlan memang kelahiran Karangkajen yang diajak ke Kauman oleh ayahnya yang bertugas sebagai khatib di Masjid Agung. “Karena lahir di Karangkajen, maka ketika wafat, keluarga di sana meminta jenazah beliau dimakamkan di tanah kelahirannya,” paparnya menjelaskan ‘misteri’ pemakaman pendiri Muhammadiyah tersebut.
Sementara di pinggir Kauman sebelah utara yang berbatasan dengan Jl KH Ahmad Dahlan, beberapa tokoh Muhammadiyah juga pernah menapakkan jejaknya. Di sektor ini ada pernah ada rumah M. Junus Anis, Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1959-1962, bernomor 53. Kini (tahun 2016), lahan gedung ini telah diwakafkan oleh keluarga besar Junus Anis untuk kantor PP Aisyiyah sebagai pusat kegiatan dakwah.
(Baca: Sudah di Bandara tapi Ketinggalan Pesawat, Begini Perjuangan Rombongan Haedar Nashir ke Banyuwangi)
Rumah ini bisa dikata juga tidak bisa lepas dari sejarah perjalanan Muhammadiyah. Pada masa lalu, rumah ini pernah menjadi kantor Redaksi Suara Muhammadiyah, juga tempat musyawarah Majelis Tarjih.
“Setiap Jum’at ba’da Subuh, rapat tarjih selalu dilakukan di tempat ini,” kenang anak bungsu Yunus Anis, Qonita Fakhrurrozie Junus Anis. Kenangan itu diingatnya secara jelas, karena dia termasuk salah satu putri tuan rumah yang ‘bertugas’ menghidangkan jamuan ketika Majelis Tarjih sedang bersidang.
Bergerak ke timur lagi, terdapat kantor redaksi Suara Muhammadiyah, yang menempati nomor 43-45. Berbeda dengan sejarah media massa sezamannya yang punah, ia hingga sekarang masih bertahan, meski arsip edisi pertamanya belum ditemukan.
(Baca: Cara Muhammadiyah Sosialisasikan Lagu Indonesia Raya pada Tahun 1930)
Pada 1995 lalu, almarhum Kuntowidjojo yang sedang berada di Belanda membawa oleh-oleh sangat berharga berupa fotokopi arsip Suara Muhammadiyah Edisi kedua tahun pertama. Terbit pada 1915, majalah ini menggunakan tulisan Jawa dan bahasa Jawa Krama. “Baris paling atas: Tahun I, Dzulkaidah 1915/1333, nomor 2. Baris kedua: Suara Muhammadiyah,” begitu tulisan Suara Muhammadiyah nomor 1/75/1990.
Tepat di seberang jalan, terdapat Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Jika Anda pernah mendengar legenda ‘kegilaan’ KH Soedja’ dalam mengusahakan penyantunan kaum lemah lewat PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), maka PKU inilah laboratorium membangun amal usaha bidang kesehatan. Lebih ke barat lagi, kantor Pimpinan Pusat Aisyiyah terpampang jelas, meski Anda pun ‘dipaksa’ masuk gang sejauh 5 meteran.
(Baca: Begini Cerita Prangko “PKO Moehammadijah” Dijadikan Cover Buku Monumental di Inggris)
Di bagian barat yang berbatasan dengan Suronatan, juga ada nama KH Amdjad yang pernah menggawangi Suara Muhammadiyah. Di bagian agak selatan di jalan yang sekarang dikenal Nyai Ahmad Dahlan ini, juga terdapat rumah anak Nyai Aisyah Hilal, Haifani Hilal. Di sebelahnya lagi kini terdapat kantor Majelis Tabligh PP Aisyiyah, yang konon di tempat inilah Nyai Walidah dulu bertempat tinggal saat hidup.
Bagi warga Muhammadiyah, ketika sedang bepergian ke Yogyakarta tentu kurang lengkap jika belum mengunjungi Kauman. Bukan hanya kemolekan Kauman dan keramahan penduduknya, tetapi kampung ini begitu strategis. Ke arah selatan ada pusat batik dan kaos Dagadu. Bila ingin sehat, jalan 500 meter bisa langsung ke Taman Sari, kemudian alun-alun Selatan. Selain masjid Agung, di sebelah timur Kauman juga ada alun-alun utara dan kraton.
(Baca: Ini Pidato Lengkap dr Soetomo saat Resmikan RS Muhammadiyah Surabaya yang Dikelolanya)
Dari Kauman ke arah utara, ada pusat perbelanjaan Malioboro. Dalam catatan H Soedja’, deklarasi Muhammadiyah dilakukan di tempat ini, pagi Sabtu malam pekan terakhir bulan Desember 1912. Tempat deklarasi itu kini menjadi Gedung DPRD Provinsi Yogyakarta.
Jika ke barat dari Kauman, selain kampung Suronatan, juga ada Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah dan Kantor PP Muhammadiyah. Terus melangkah ke barat, terdapat sungai yang legendaris terkait teologi al-Ma’un, Sungai Winangun. Di lembah sungai ini para murid KH Ahmad Dahlan mempraktikkan pengajaran al-Ma’un.
(Baca: Din Syamsuddin: Dalam Fiqih, Muhammadiyah Itu Bukan NU dan Din Syamsuddin: Ada Corporate Asing Ancam Akan Hancurkan Muhammadiyah)
Alkisah, KH Ahmad Dahlan mengulang-ulang pelajaran surat Al-Maun hingga muridnya protes. Saat ditanya sudahkah diamalkan, mereka pun bergegas mencari gelandangan untuk dimandikan, diberi makan, pakaian, dan bekal, lantas dilepas kembali.
Sang Kyai pun bertanya, apakah cukup hanya dengan cara itu? Bukankah mereka akan kembali miskin lagi? Dari situlah akhirnya murid KH Ahmad Dahlan mendirikan rumah miskin di Lembah Sungai Winangon untuk mengentas kemiskinan.
Catatan ini ditulis oleh Muh Kholid AS, Pemimpin Redaksi Majalah MATAN – www.pwmu.co