PWMU.CO – Sekali Lagi soal Jumatan di Rumah ditulis oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA, Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits.
Pertanyaan
Ustadz saya pernah mendengar seorang mubalig yang menyatakan Shalat Jumat itu hak dan kewajiban bagi semua Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Bedanya bagi laki-laki dilaksanakan secara berjamaah, sedangkan bagi perempuan boleh ikut berjamaah bersama kaum laki-laki dan boleh Jumatan sendiri di rumah.
Mohon penjelasan!
Hamba Allah, Sidoarjo.
Jawaban
Ayat al-Quran yang ada di dalam surat al-Jumuah mengindikasikan kesetaraan gender, tidak membedakan baik hak dan kewajiban itu bagi laki-laki maupun perempuan.
Firman-Nya di beberapa ayat dimulai dengan redaksi ‘ya ayyuhal ladzina amanu’ yang berkonotasi kesetaraan gender. Bahkan hadits yang membedakan hak dan kewajiban Jumatan antara laki-laki dan perempuan dinilai cacat (dhaif).
Maka dalam kondisi darurat seperti meluasnya wabah Corona, dibenarkan lelaki berjumatan sendiri di rumah sebagaimana kaum wanita.
Akar Masalah
Akar masalah polemik dalam kasus ini adanya hadits: Jumat itu adalah hak dan kewajiban setiap Muslim yang dilakukan secara berjamaah, kecuali empat. Yaitu hamba sahaya, wanita, anak, dan lelaki yang sakit.
Dalam pemahami hadits ini redaksi ‘kecuali’ dapat dirujuk kepada ‘hak dan kewajiban setiap Muslim’ sehingga maknanya ‘kecuali empat golongan yang tidak memiliki hak dan kewajiban; dan bisa dirujuk kepada ‘yang dilakukan secara berjama’ah’.
Sehingga maknanya, semua Muslim tidak pandang bulu baik yang laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban berjumatan yang sama. untuk lelaki yang harus dilakukan secara berjamaah sedangkan wanita tidak harus secara berjamaah, boleh sendiri-sendiri.
Hadits Syariat Shalat Jumat
Hadits yang dijadikan acuran syariat shalat Jumat adalah sebagai berikut:
وَعَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Dinarasikan Thariq bin Syihab RA, Rasulullah SAW bersabda: Jumat itu adalah hak dan kewajiban setiap Muslim yang dilakukan secara berjamaah, kecuali empat. Yaitu hamba sahaya, wanita, anak dan lelaki yang sakit. (HR Hakim: 1062; Abu Dawud: 1067; Daraqutni: 2/3; dan Baihaqi: 5368).
Abu Dawud selaku kodifikator hadits ini memberi catatan: Thariq bin Syihab pernah menyaksikan Nabi SAW namun ia tidak pernah mendengar satu pun hadits dari Rasulullah SAW.
Itulah sebabnya, sanad hadits ini mereka nilai munqathi’ (terputus) sehingga nilainya dhaif (lemah). Padahal Thariq bin Syihab adalah seorang Sahabat, maka hadits jenis seperti ini disebut hadits mursal shahabi.
Dan menurut ilmu hadits, semua hadits mursal sahabi dapat dijadikan hujah (argumentasi). Thariq bin Syihab penduduk Yaman, diprediksi pernah melihat Nabi saat mengikuti haji Wada’, namun ia tidak pernah meriwayatkan hadits dari Nabi secara langsung.
Kemudian ditemukan hadits itu juga dikeluarkan Hakim: 1062, dengan sanad dari Thariq bin Syihab dari Abu Musa al-Asy’ari dari Nabi SAW. Ternyata ia meriwayatkan hadits ini dari gurunya Abu Musa al-Asy’ari. Dia yang dikirim sebagai delegasi dakwan ke negeri Yaman, dengan demikian hilanglah kemusykilan dan hadits itu nilainya benar-benar shahih.
Fikih Sunah
Hadits shahih di atas sama sekali tidak kontradiksi dengan surat al-Jumuah. Karena dalam ayat tersebut sekiranya dipahami kesetaraan gender, hanya pada syariatnya.
Artinya baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki syariat berjumatan. Di ayat itu sama sekali tidak menunjukkan status kewajiban Jumat. Lalu Nabi menjelaskan status wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan. Jika tidak ada hadits ini maka bisa jadi status syariat shalat Jumat, bagi laki-laki sama dengan perempuan.
Bagi pendapat pertama bahwa ‘pengecualian’ dirujuk kepada setiap Muslim, maka laki-laki yang tidak memiliki udzur hukumnya wajib, sedangkan wanita hukumnya sunah. Wanita mau berjumatan silahkan dan tidak berjumatan juga silahkan.
Maka bagi wanita yang tidak mengikuti shalat Jumat, ia kembali ke asal shalat, yakni shalat Dhuhur di rumah. Demikian pula laki-laki yang sakit atau mempunyai udzur karena sakit atau bepergian atau karena terjadinya pandemi Covid-19 dan lainnya, maka kembali ke asal shalat, yaitu shalat Dzuhur.
Seperti itulah saat umat berhaji Wada’ bersama Rasulullah SAW. Mereka tidak shalat Jumat, maka Nabi dan para sahabat kembali ke asal shalat, yaitu shalat Dhuhur yang dijamak dan diqasahar dengan shalat Ashar.
Berbeda dengan pendapat kedua, yang memahami ‘pengecualian’ dirujuk kepada ‘shalat secara berjamaah’. Maka wanita yang tidak mengikuti shalat Jumat secara berjamaaah, ia melaksanakan shalat Jumat secara mandiri.
Jika dipahami seperti ini, tentunya bukan hanya wanita yang disyariatkan shalat Jumat secara mandiri, laki-laki yang sakit, anak, dan hamba sahaya juga sama, karena pengecualian itu untuk empat golongan, bukan hanya untuk wanita.
Pertanyaan berikutnya, jika wanita Jumatan sendiri, lalu bagaimana tata cara pelaksanaannya, bukankah dalam shalat Jumat ada syarat dan rukunnya?
Di sinilah kelemahan memahami mereka yang gagal Jumatan secara berjamaah, ia melakukan shalat Jumat secara mandiri.
Dalam kajian fikih muqaran (fikih perbandingan) ada yang mempersyaratkan pesertanya minimal 40 orang. Bahkan ada yang tidak memperbolehkan dalam satu wilayah diadakan dua masjid untuk mengadakan shalat Jumat.
Pendapat ini didasari kekawatiran hilangnya hikmah Jumat yang mewakili shalat hari raya secara kolektif. Walaupun penulis tidak secara keseluruhan sependapat seperti itu. Belum lagi adanya persyaratan dua khutbah yang diselingi dengan duduk dan sebagainya.
Kesimpulan
Dahulu sebelum disyariatkan shalat Jumat, semua umat Islam di hari Jumat melaksanakan shalat Dhuhur. Kemudian pascahijrah Nabi SAW ke Madinah umat Islam mendapat kemuliaan hari raya Jumat. Tidak seperti Yahudi yang mengklaim hari Sabtu atau Nasrani yang mengklaim hari Ahad. Kitalah yang ditunjuki Allah terhadap hari mulia yang mereka persengketakan.
Maka bagi umat yang mempu meraih kemuliaannya dipersilakan. Namun bagi yang tidak mampu kembali ke asal shalat, yakni shalat Dhuhur.
Ketidakmampuan itu dimungkinkan adanya udzur seperti sakit, bepergian, hujan, bahkan pandemi Covid-19 jika sudah dirasa masuk wilayah darurat. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Naskah ini kali pertama dipublikasikan majalah Matan yang terbit di Surabaya.