Lekra, Organ Kebudayaan PKI yang Suka Mengolok-Olok Tuhan, judul adaptasi tulisan KH Amidhan Shabera, Ketua MUI 1995-2015 dan Anggota Komnas HAM 2002-2007.
PWMU.CO – Tulisan Dr KH Amidhan Shaberah ini aslinya berjudul Benturan Lekra dengan Manikebu, Lesbumi, HSBI, dan ISBM. Tulisan tersebut dipersembahkan untuk Arief Budiman, aktivis Manifesto Kebudayaan, yang meninggal dunia 23 April 2020.
Oleh beberapa media online tulisan tersebut kembali dimuat kembali. Seperti semangatnews.com yang menerbitkan pada Senin (15/6/2020) dengan judul Gusti Allah Mantu.
Atas izin portal berita tersebut PWMU.CO memuatnya kembali untuk mengingatkan pembaca pada sejarah Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra), organ kebudayaan PKI, yang provokatif menyerang konsep ketuhanan Islam.
Hangatnya polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila—yang mengindikasikan kebangkitan kembali PKI—membuat tulisan ini sangat penting dibaca, terutama bagi generasi milenial. Selamat membaca! Redaksi.
Wudhu dengan Air Kencing
“Wis rasah macak ayu ayu, ora ayu yo payu. Nek ra ayu, yo, raup diniati wudhu. Nek ora ana banyu yo nganggo uyuhku. Banyu uyuhku padha sucine karo banyu wudhu.”
Artinya, “Tidak usah bersolek cantik-cantik.Tidak cantik juga akan laku. Kalau tidak laku ya cuci muka dengan niat wudhu. Kalau tidak ada air ya pakai air kencingku. Air kencingku sama sucinya dengan air wudhu”.
Itulah salah satu penggalan dalam dialog ludruk dengan lakon Gusti Allah Mantu yang dipentaskan di Kediri, Jawa Timur, menjelang meletusnya peristiwa G30S PKI.
Dalam pentas ludruk lakon Gusti Allah Mboten Sare, misalnya, ada dialog seperti ini: “La, piye, Gusti Allah yo mboten sare. Ora duwe bantal lan klasa. Piye turue. La, gimana, Gus Allah ya tidak tidur. Gak punya bantal dan tikar. Bagaimana tidurnya?”
Lakon ludruk (Jawa Timur), ketoprak (Jawa Tengah), dan sandiwara (Jawa Barat) saat itu, ketika PKI sedang berada di atas angin karena mendapat “dukungan” elit politik dan oknum-oknum militer, memang narasinya aneh-aneh.
Ada lakon dengan judul Patine Gusti Allah, Gusti Allah Dadi Manten, Malaikat Kawin, dan lain-lain, yang membuat orang Islam marah.
Ludruk dengan lakon Patine Gusti Allah, yang sedang pentas di Jombang, misalnya, pernah membuat seorang anggota Banser marah besar. Panggungnya diobrak-abrik dan dihancurkan. Ludruk pun batal manggung.
Orang-orang Islam jelas marah. Tapi tak bisa berbuat banyak. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), salah satu organisasi sayap PKI, saat itu sangat kuat dan merajalela. Lekra mengkoordinasi grup-grup ludruk, ketoprak, drama, dan sandiwara untuk mementaskan kesenian yang bernuansa paham PKI.
Lembaga Kebudayaan atau Politik?
Lekra yang berdiri 17 Agustus 1950 di Jakarta. Ia menjelma jadi organ kesenian dan kebudayaan PKI yang sangat radikal, ekspansionis, dan ekstrim. Sulit membayangkan ada sebuah lembaga kebudayaan yang demikian berkuasa di dunia seperti Lekra.
Kenapa? Karena Lekra hakikatnya bukan sekadar lembaga kebudayaan. Tapi lembaga politik provokatif yang berselimut kebudayaan.
Politisasi Lekra ini bentukan Nyoto dan Aidit, dua pimpinan puncak PKI. Bagi Nyoto dan Aidit—setiap organ dalam PKI harus menjadi corong revolusi dan penyebaran ateisme-komunisme. Itulah sebabnya, semangat gerakan kebudayaan Lekra sama dengan semangat gerakan komunisme Stalin dan nazisme Hitler.
Ideologi Lekra pun “dijejalkan” ke mana-mana—tak hanya ke gedung-gedung kesenian, tapi juga ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, masjid-masjid, dan balai-balai desa.
Lagu mars PKI Genjer-Genjer misalnya, menjadi lagu wajib pada setiap upacara politik. Pentas ludruk juga penuh lakon dan adegan untuk menjejalkan paham ateisme.
Penyamaan kesucian air wudhu dengan air kencing pada lakon Gusti Allah Mantu tersebut di atas—juga pembangunan patung palu arit setinggi 20 meter di halaman Masjid Agung Bojonegoro—menunjukkan bagaimana massif dan ekstrimnya gerakan Lekra menghancurkan kesadaran relijius bangsa Indonesia.
Lekra meracuni anak-anak sekolah dengan pelajaran ateisme, mendiskreditkan ulama, menyerang sastrawan Muslim; dan membangun simbol-simbol PKI di masjid.
PKI, misalnya, dengan atraktif menginjak-injak al-Quran di Masjid Jami’ Kanigoro, Kediri. Ulama dan haji, misalnya, oleh Lekra disebut pengisap darah rakyat dan tuan tanah bengis yang harus disingkirkan.
Lekra Tuduh Hamka Plagiat
Sastrawan Hamka dituduh plagiat. Novel karya Hamka yang sangat popular Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVW) dituduh sebagai karya plagiat oleh sastrawan Lekra, Abdullah Said Patmadji (ASP).
ASP menuduh novel TKVW mirip dengan Dumu el Hub (Air Mata Cinta), sebuah film adaptasi dari ovel karya Al-Manfaluthi. Di Koran Bintang Timur—medianya PKI—ASP menulis bahwa novel TKVW adakah karya plagiat Hamka.
Ini sangat memalukan sastrawan Indonesia. Tuduhan ASP tersebut kemudian disanggah oleh HB Jassin, kritikus sastra Indonesia. “Hamka tidak plagiat. Karya Hamka adalah ungkapan pribadi dan pengalamannya sendiri,” tulis Jassin, paus sastra Indonesia itu.
Penyair Taufiq Ismail juga membela Hamka. Tuduhan ASP motifnya bukan sastra. Tapi politik, kata Taufiq Ismail.
Tiga Isu Lekra
Ada tiga isu penting yang ditonjolkan Lekra-PKI dalam mementaskan kesenian rakyatnya. Pertama, mengajak masyarakat untuk tidak mempercayai Tuhan. Kedua, mengajak masyarakat untuk menyita tanah-tanah yang dimiliki tuan tanah, kiai haji, dan yayasan milik Islam. Dan ketiga menghancurkan kredibilitas para sastrawan dan seniman Islam.
Dalam mengajak masyarakat untuk tidak mempercayai Tuhan, misalnya, Lekra mengkoordinasi pementasan ketoprak di Jateng dan DIY, serta ludruk di Jatim dengan lakon bertema “ateisme” yang membuat orang-orang beragama meradang.
Lakon Patine Gusti Allah, misalnya, menjadi salah satu judul pementasan ludruk dan ketoprak paling favorit dan sering dipertontonkan di masyarakat—meski sangat dibenci umat Islam.
Tak hanya itu. Para seniman Lekra juga mendatangi sekolah sekolah untuk menyebarkan paham ateisme PKI. Orang-orang Lekra yang jadi guru, juga aktif menanamkan pikiran ateis kepada murid-muridnya.
Cara Guru PKI Ajarkan Atesime
Sebagai contoh, dalam sebuah pelajaran di SD, seorang guru minta kepada muridnya berdoa kepada Tuhan untuk minta permen.
“Anak-anak ayo pejamkan mata minta permen pada Tuhan.”
“Buka mata kalian, ada tidak permennya?”
“Tidak ada Bu Guru”
“Sekarang coba tutup mata, bilang ‘Bu Guru minta permen’”
Guru tersebut memasukkan permen ke tangan anak-anak yang menengadah.
“Buka mata kalian, ada nggak permennya?”
“Ada Bu Guru.”
“Artinya apa?”
Anak-anak diam.
“Berarti Tuhan tidak ada,” lanjut sang Guru.
Begitulah cara PKI menanamkan nilai ateis pada anak-anak.
Reaksi Lembaga Kebudayaan Islam
Umat Islam tentu saja tidak diam terhadap kelakuan Lekra yang menjijikkan dunia seni tersebut. Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, melalui Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia) yang didirikan tahun 1950, meng-counter gerakan budaya PKI yang mempromosikan ideologi atheism) dengan membuat film-film religi yang bagus.
Sutradara film Usmar Ismail aktif membuat film dan drama di Lesbumi untuk mengimbangi kegiatan seni dan budaya dari Lekra.
Gerakan kesenian Lesbumi tersebut membuat PKI meradang. Film-film religi karya seniman Lesbumi diboikot pertunjukannya di gedung-gedung bioskop yang dikuasai PKI. Bahkan sineas pro-PKI yang menguasai gedung-gedung pertunjukan mengedit film-film karya seniman Lesbumi tadi hingga unsur-unsur relijiusnya hilang.
Manifesto Kebudayaan
Film berjudul Kawat Berduri dan Tauhid, misalnya, diboikot pertunjukannya oleh PKI. Tak hanya itu. Lekra juga mengecam penandatangan Manikebu (Manifesto Kebudayaan).
Manikebu adalah konsep kebudayaan nasional yang dibentuk para penyair dan pengarang, 27 Agustus 1963. Manikebu yang dicetuskan HB Jassin, Wiratmo Soekito, dan Trisno Soemardjo bertujuan untuk meng-counter dominasi ideologi seni-sastra realisme sosial yang dipaksakan Lekra.
Arief Budiman adalah “anak muda” yang membuat draft counter Manikebu terhadap Lekra. Manikebu dan Lesbumi berkolaborasi untuk membendung ekspansi massif Lekra yang mendapat dukungan elit politik PKI.
Aliansi Manikebu dengan organisasi Islam dan militer, tulis Goenawan Mohamad, salah seorang aktivis Manikebu, adalah sebuah hal yang niscaya saat itu untuk menghadang hegemoni Lekra.
“Mungkin suatu kecenderungan yang normal untuk beraliansi di antara mereka yang dimusuhi atau memusuhi PKI,” tulis Gunawan dalam artikelnya, Afair Manikebu 1963-1964.
M Habib Chirzin, tokoh Muhammadiyah dan angggota Komnas HAM (2002-2007) menyatakan, ekspansi Lekra yang massif kemudian mendapat counter dari organisasi-organisasi Islam.
Setelah NU membentuk Lesbumi, HMI mendirikan HSBI (Himpunan Seniman dan Budayawan Islam) dengan tokoh-tokohnya yang sangat terkenal seperti Chairul Umam dan Arifin C Noor.
Sementara Muhammadiyah membuat Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah (ISBM). Para tokoh ISBM yang terkenal antara lain Mohamad Diponegoro, Azwar AN, dan Yunan Helmi Nasution.
Dalam memperingati ulang tahun HMI (lahir 5 Februari 1947) ke 17, tahun 1964, yang diselenggarakan di Yogyakarta, misalnya, HMI menyelenggarakan bakti sosial dan pertunjukan drama di Sukabumi dan Bandung.
Saat itu, saya (Amidhan) menjadi pimpinan rombongan tim HMI yang berjumlah sekitar 30 orang. Yang menarik, HSBI-HMI menampilkan drama berjudul Setan di depan peserta Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat) di Bandung, disaksikan langsung Mayjen Sudirman, Komandan Seskoad saat itu.
Drama Setan karya Mohamad Diponegoro ini, mengisahkan Nabi Ibrahim (diperankan Samhari Baswedan, paman Anies Baswedan, Gubernur DKI) yang dibakar Raja Namrud, sedang digoda setan (diperankan Widiati, putri Pak Syaebani, tokoh Islam Yogya, istri Menpan Era SBY Taufik Efendi) agar imannya luntur. Dan Ibrahim berhasil menepis godaan setan itu.
Mungkin karena puas dengan pertunjukan drama itu, Mayjen Sudirman memberi “sangu” kepada tim drama HMI sebesar Rp 350.000. Jumlah yang besar sekali bila dikurskan dengan emas saat itu.
Pak AR Ikut Hadang Lekra
Sementara di Semarang, dai terkenal asal Yogya, Abdurrazaq Fachruddin—kemudian terkenal dengan sebutan Pak AR—yang saat itu bertugas sebagai Kepala Kantor Penerangan Agama Jawa Tengah (1959-1964), bersama Pangdam Diponegoro Mayjen Sarbini dan Jaksa Tinggi Bustanil Arifin membentuk Pengajian Padi.
Tujuannya untuk meng-counter agitasi PKI dan Lekra yang memprovokasi rakyat melalui ketoprak agar tidak mempercayai Tuhan. Dengan bantuan dana pengusaha kaya Semarang, Haji Sulhan, Pengajian Padi mampu mengcounter kampanye ateisme yang sering dipentaskan dalam pertunjukan ketoprak di Semarang dan sekitarnya.
PKI dan Lekra pun kesal. Akibatnya Pak AR, kata Abdullah Affandi, aktivis perlawanan rakyat terhadap PKI di Yogya, tercatat sebagai target pembunuhan.
Mengetahui itu, Pak AR pun ke mana-mana selalu dijaga oleh para pendekar silat dari Tapak Suci Muhammadiyah. “Tiap malam rumah Pak AR dijaga para pesilat Tapak Suci untuk mengantisipasi kedatangan penculik dari PKI,” tutur Sukriyanto, putra Pak AR.
Atmosfir Indonesia semasa PKI berada di atas angin tahun 1955-an—sejak Pemilu pertama di mana PKI menjadi kekuatan politik yang besar di parlemen—sampai 1965 sangat mencekam.
Politik Hoax PKI
PKI melalui organ-organnya: Pemuda Rakyat, Gerwani, CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Lekra, BTI (Barisan Tani Indonesia), dan Koran Bintang Timur berusaha kuat mendominasi semua isu (sosial, politik, ekonomi, dan seni budaya) di Indonesia.
Bila perlu, PKI memaksakan kehendaknya dan menyebar isu-isu hoax untuk memenangkan gagasan-gagasannya di ranah publik dan parlemen.
Dari latar belakang itulah, kenapa kemudian rakyat—khususnya umat Islam—sangat marah kepada PKI pasca-G30S PKI. PKI yang memulai, maka PKI yang diakhiri. Seperti kata pepatah: Siapa yang menanam angin, maka dialah yang menuai badai.
Jadi, jangan salahkan umat Islam jika PKI hancur. Jangan bikin isu hoax bahwa PKI muncul akibat konflik elit militer. Dan jangan pula menyebar hoax bahwa kasus G30S adalah ciptaan Soeharto. Bukan… bukan itu!
PKI memang hendak menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Seperti Polpot yang membentuk Khmer Merah dan Kim Il Sung yang membentuk Korea Utara. Keduanya adalah rezim yang paling kejam di dunia. Mereka membantai rakyatnya yang tidak seidelogis dengan sangat-sangat kejam.
Haing Somnang Ngor, seorang dokter, dalam buku The Killing Fields, menceritakan bagaimana kejam dan bengisnya rezim komunis Polpot membunuh rakyat Khmer Merah yang nonkomunis.
Banyak ibu hamil yang dibelah perutnya; orang tua yang dibelah kepalanya; dan anak-anak yang dicincang seperti potongan kambing. Sungguh luar biasa kejamnya.
PKI itu sangat berbahaya. Tapi, sudah matikah mereka setelah ideologinya dilarang sejak 1966? “Jasmerah,” kata Bung Karno. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Ingat sejarah politik hoax yang diterapkan PKI masa lalu. Kita harus ingat sejarah. Ibarat pepatah dan kutipan lagu dangdut Rhoma Irama: PKI yang memulai, PKI yang mengakhiri.
Menabur Angin Menuai Badai
PKI memang harus berakhir karena ia telah merencanakan siasat untuk meng-komunis-kan Indonesia. Suatu hal yang mustahil terjadi di negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini.
Jadi, PKI itu telah menabur angin. Maka PKI-lah yang menuai badai. Umat Islam telah menjelma menjadi badai yang meluluhlantakkan PKI.
Betul, PKI luluh lantak. Yang mati akibat badai umat Islam itu mencapai jutaan orang. Wakilah, lima juta orang. Banyak sekali. Tapi, pinjam pernyataan Jenderal Abdul Haris Nasution, tokoh militer puncak yang selamat dari penculikan PKI: “Benar, banyak sekali orang-orang PKI yang jadi korban setelah partai komunis itu dibubarkan. Tapi akan lebih banyak lagi korban pada rakyat Indonesia jika PKI berkuasa!”
Dari perspektif inilah kita mengenang Arief Budiman. Ia salah seorang konseptor dan penandatangan Manikebu untuk melawan Lekra. Saat itu, Lekra sangat berkuasa. Dan, siapa pun tahu, keterlibatan Arief melawan Lekra sangat riskan dan membahayakan jiwanya. Tapi Arief tidak takut. Karena baginya: kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan harus di atas segala-galanya. Tribute for Arief! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.