Novel, Pemandu Lagu, dan Said Didu, kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Di era Orde Baru dokter gigi tidak laku, karena orang tidak berani buka mulut. Begitu joke politik yang populer ketika itu. Di era sekarang banyak orang yang buka mulut dilaporkan ke polisi dan jadi tersangka.
Kita hidup dalam atmosfer yang bikin orang takut buka mulut. Wartawan senior Farid Gaban dilaporkan ke polisi karena mempertanyakan kebijakan Menteri Teten Masduki.
Sebuah seminar hukum ilmiah di Universitas Gadjah Mada (UGM) batal karena pembicara dan panitia diancam. Said Didu yang mengritik kebijakan Menteri Luhut jadi tersangka. Dan paling baru, seorang aktivis medsos yang berkomentar soal tuntutan unik sidang Novel Baswedan juga dilaporkan ke polisi.
Hukum Gravitasi Macet
Tuntutan terhadap Novel pantas disebut unik karena pelaku dituntut satu tahun penjara. Bersamaan dengan itu sebuah sidang di Mojokerto memutus terdakwa dengan vonis 12 tahun. Kebetulan kasusnya sama-sama penyiraman air keras. Yang satu korbannya Novel Baswedan, penyidik senior KPK, satunya korbannya seorang pemandu lagu di rumah hiburan.
Kasusnya sama persis tapi keluaran hukumnya beda jauh bainas sama’ wal sumur, antara langit dan sumur. Begitu kata bahasa santri.
Kita hidup di republik kuping tipis. Buka mulut di media sosial bisa berujung jadi urusan polisi. Bintang Emon, aktivis medsos dianggap menghina pengadilan karena mengomentari kasus Novel, padahal komennya lucu banget.
Pelaku mengaku tak sengaja menyiram bagian muka. Maunya menyiram bagian badan tapi kena muka. Mungkin hukum gravitasi sedang macet waktu itu sehingga air keras yang disiramkan ke bawah malah jatuh ke atas. Atau Novel lagi jalan merangkak sehingga air keras yang diarahkan ke tubuhnya nyasar ke muka…. Begitu komen hillarious Si Emon.
Kasihan pelaku penyiraman di Mojokerto. Andai kasusnya diputus setelah kasus Novel, tentu pelaku bisa pakai alasan tidak sengaja seperti pelaku penyiraman terhadap Novel.
Tapi, itulah uniknya kisah di negeri Mak Jogi ini. Btw; bersamaan dengan itu Butet Kertarejasa cs akhir pekan ini mementaskan teater lakon Mak Jogi yang penuh “gelak tawa”. Entah mereka menertawakan apa dan mengolok-olok siapa. Yang jelas kita rindu kepada Butet lama ketika mementaskan lakon-lakon satire Orde Baru bersama Teater Gandrik.
Jauh Panggang dari Kompor
Kasus yang dialami Farid Gaban dan Said Didu juga hampir sama. Keduanya menjalankan haknya sebagai warga negara untuk berbicara, berkumpul, dan berserikat yang dijamin undang-undang. Tapi, ternyata berbuntut laporan ke polisi juga.
Dalam kasus Farid, pelapornya sama dengan kasus Emon—sama-sama kader PSI (Partai Solidaritas Indonesia)—yang nota bene mengklaim sebagai partai anak muda milenial yang progresif dan demokratis.
Akronim PSI, mau tak mau, membawa hubungan asosiatif dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) Sutan Syahrir di masa awal kemerdekaan, yang terkenal sebagai partai elitis, tapi kental dengan idealisme dan intelektualisme. Sayang PSI milenial sekarang ini masih jauh panggang dari kompor.
Kasus Said Didu benar-benar membuat kita mengurut dada (dada kita sendiri) karena prihatin. Si Manusia Merdeka, begitu Didu menyebut dirinya, ini memang terkenal ceplas-ceplos dalam berkomentar.
Ia selalu insightful dan penuh presisi dalam membidikkan pendapat karena pengalamannya yang sangat kaya di birokrasi. Komentarnya terhadap Menteri Luhut memang mengarah ke jantung. Sakit memang, tapi tidak seharusnya baper dan dianggap personal, karena yang dibidik bukan jantung LBP pribadi tapi jantung kebijakannya sebagai menteri.
Kita semua tahu, dalam sebuah tradisi demokrasi harus ada mekanisme check and balances, kontrol untuk keseimbangan. Kekuasaan harus senantiasa dikontrol supaya tidak menjadi terlalu dominan. Kontrol bisa dilakukan melalui mekanisme resmi seperti lembaga oposisi, maupun oleh mekanisme tidak resmi yang dilakukan oleh civil society atau masyarakat madani, termasuk di dalamnya adalah media.
Dari Madani Jadi Medeni
Dalam konteks inilah kritik Didu terhadap LBP harus dilihat. Masyarakat harus tetap dijamin hak-haknya untuk menyalurkan kritiknya yang sehat sebagai pengamalan hak masyarakat madani.
Pengalaman menunjukkan bahwa suara-suara kritis masyarakat madani yang disumbat akan menjadi bisul yang bisa sewaktu-waktu meledak kalau terjadi trigger, pemicu kecilpun. Masyarakat madani yang tersumbat akan meledak menjadi masyatakat “medeni” (menakutkan) yang anarkis.
Kasus George Floyd di Amerika yang berujung pada kerusuhan di seluruh pelosok negeri adalah akumulasi dari ketersumbatan aspirasi politik dan ketimpangan sosial-ekonomi yang terpendam seperti api dalam sekam. Begitu muncul pemicu maka ledakan tidak terhindarkan.
Gerakan rakyat di Amerika yang terjadi sekarang ini menjadi keos dan sulit dikendalikan karena campur baur kepentingan antara kelompok pejuang hak-hak sipil murni dengan kelompok anarkis, kelompok pragmatis-oportunis, dan juga kelompok kiri.
Kasus Amerika menunjukkan bahwa masyarakat madani yang tersumbat hak politiknya bisa berubah jadi masyarakat “medeni” yang mengerikan. Kita, tentu, tak ingin mengalami hal yang sama. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.