Telaah Kritis Kombinasi Obat Covid-19 Temuan Unair oleh Prof Dr Maksum Radji M Biomed Apt, Guru Besar Mikrobiologi dan Bioteknologi Farmasi UI.
PWMU.CO – Dalam beberapa hari ini nama Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mencuat ke permukaan karena menemukan dan memproduksi beberapa kombinasi obat yang dinyatakan dapat mengatasi insfeksi virus Covid-19.
Seberapa jauh kombinasi obat-obat tersebut mampu mengatasi dan efektif dalam menghentikan infeksi virus Covid-19?
Berikut wawancara Kontributor PWMU.CO Isrotul Sukma dengan Prof Maksum Radji yang juga Pembina Pondok Babussalam Socah, Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Kamis (19/6/2020).
Penelitian Masih dalam Tahapan Biomedik atau Pra-Klinik.
Bila kita cermati penjelasan tim peneliti dari Unair—baik melalui media cetak maupun media virtual—penelitian yang telah dilakukan masih pada tahap penelitian biomedik atau pra-klinik.
Sebagaimana dilansir kompas.com pada 15 Juni 2020, kelima kombinasi obat tersebut diklim dapat menurunkan viral contents yang terdapat pada sel secara in vitro.
Tim peneliti melakukan uji tantang dari kelima rejimen kombinasi obat untuk mengetahui efektivitasnya dalam menghambat replikasi virus.
Caranya dengan menumbuhkan virus SARS-CoV-2, yang diisolasi di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA), pada berbagai jenis sel yang menjadi target virus, seperti sel paru, ginjal, trakea, dan liver.
Kelima rejimen obat tersebut dipaparkan pada sel untuk mengetahui penurunan total contents dari virus Covid-19 yang tumbuh pada berbagai sel target tersebut.
Penitian ini cukup sulit, karena selain dibutuhkan keterampilan yang tinggi, juga memerlukan biosafety laboratorium yang memadai dalam melakukan penelitian menggunakan virus SARS-CoV-2.
Mudah-mudahan data hasil penelitian yang dilakukan bisa segera dipublikasi di jurnal ilmiah internasional, sehingga bisa dipelajari dengan baik oleh para peneliti lainnya. Mengingat penelitian yang dilakukan adalah untuk mengobati strain virus Covid-19 yang beredar di Indonesia.
Tim peneliti Universitas Airlangga, menyampaikan dengan cukup jelas bahwa mereka telah memanfaatkan obat-obat yang telah lama beredar dan membuat kombinasinya untuk penanganan pasien Covid-19.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rektor Unair Surabaya Prof Mohammad Nasih, kelima kombinasi obat tersebut adalah loprinavir-ritonavir-azitromisin, loprinavir-ritonavir-doksisiklin, loprinavir-ritonavir-klaritomisin, hidroksiklorokuin-azitromisin, dan hidroksiklorokuin-doksisiklin.
Semua jenis obat yang diteliti merupakan obat yang sudah lama digunakan. Kita perlu apresiasi bahwa tim peneliti menemukan kombinasi yang dinyatakan telah terbukti menghambat replikasi virus Covid-19.
Kemudian, sejauh mana proses penelitian yang telah dilakukan? Apakah telah memenuhi kaidah penemuan obat untuk pengobatan kasus infeksi virus Covid-19?
Tahapan Uji Suatu Pengobatan agar Layak Guna
Pada kondisi normal, kaidah baku dalam proses penemuan obat, tahapannya sangat panjang dan bisa bertahun-tahun. Pada prinsipnya, ada beberapa tahap penelitian yang perlu dilakukan.
Langkah pertama adalah identifikasi dan validasi sel target. Tahapan ini dapat melibatkan berbagai teknik.
Teknik yang saat ini banyak digunakan adalah melaui analysis virtual, molecular docking, dan molecular dynamic. Untuk virus Covid-19, salah satu molekul target nya adalah molekul ACE2, yang digunakan oleh virus Covid-19 masuk ke dalam sel paru dan saluran nafas.
Selanjutnya, dilakukan proses penemuan senyawa yang dapat memblok molekul target tersebut. Pada tahap ini dilakukan pencarian melalui program komputer untuk memilih sejumlah besar senyawa yang yang menunjukan aktivitas target, secara virtual screening.
Senyawa yang menunjukan potensi akan diidentifikasi dan dikembangkan lebih lanjut untuk menemukan kandidat senyawa yang paling potensial untuk dilakukan uji in vitro dan in vivo pada binatang coba.
Setelah uji aktivitas senyawa, uji toksisitasnya, dan penentuan dosisnya secara biomedik, barulah kandidat obat itu masuk pada tahapan uji klinik.
Adapun tahapan uji klinik pada pasien adalah meliputi uji klinik tahap satu, uji klinik tahap dua, dan uji klinik tahap tiga. Setiap tahapan merupakan proses yang cukup panjang dan mendetail.
Dalam uji klinik tahap satu, melibatkan sekitar 80 subjek (manusia) dengan tujuan utama untuk menentukan efek samping obat.
Uji ini dimulai dengan dosis yang sangat kecil kemudian meningkat sedikit demi sedikit untuk mengurangi kemungkinan efek samping yang serius. Uji klinik tahap satu ini juga dapat mengetahui seberapa cepat obat diserap dan terurai dalam tubuh manusia.
Selanjutnya dilakukan uji klinik tahap dua, yang melibatkan ratusan subjek untuk mengamati khasiat obat. Biasanya dilakukan uji terkontrol dengan membandingkan obat tersebut dengan placebo untuk menentukan efektifitas obat pada pasien.
Pada uji klinik tahap ketiga, melibatkan lebih banyak subjek hingga mencapai ribuan, dan bersifat multicenter. Pada uji ketiga juga dilakukan pemantauan keamanan pada jumlah subjek yang lebih besar.
Setelah bukti khasiat dan keamanan obat telah diketahui, barulah tim peneliti melakukan permohonan pengajuan penggunaan obat baru tersebut pada regulator, yaitu Badan Pengawasan Obat Dan Makanan (BPOM).
Di sini akan dipertimbangkan apakah obat yang diajukan memiliki lebih banyak manfaat dari pada risikonya. Telaah terhadap hasil uji klinik ini biasanya melalui kajian yang melibatkan para ahli.
Setelah disetujui oleh regulator, dalam hal ini BPOM, penggunaan obat masih perlu terus dipantau pada tahap uji selanjutnya yang merupakan uji surveilan. Itulah secara singkat rangkaian tahapan-tahapan uji yang harus dilalui.
Lantas apakah obat virus Covid-19 temuan tim Unair masih perlu melalui uji klinik sesuai dengan kaidah kelayakan obat tersebut?
Obat Temuan Unair Perlu Lakukan Uji Klinik Lebih Lanjut
Menurut ketentuan BPOM, sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Registrasi Obat BPOM, Dr Lucia Rizka Andalusia Apt M.Pharm, MARS, pada program Metro TV Pagi Prime Time, tanggal 14 Juni 2020.
Bahwa walaupun rejimen kombinasi obat temuan tim peneliti dari Unair tersebut merupakan obat-obat yang telah lama beredar di pasaran. Jika obat-obat yang telah memiliki izin edar tersebut akan digunakan untuk indikasi baru, maka obat tersebut perlu melakukan serangkaian uji klinik untuk memperoleh izin edar.
Obat selain memiliki efikasi, juga memiliki efek samping, apalagi jika untuk digunakan untuk pengobatan Covid-19. Sehingga sebelum digunakan oleh pasien, perlu serangkaian uji terlebih dahulu.
Bagaimanapun, semua upaya untuk menemukan obat virus Covid-19, perlu didukung dengan baik. Mengingat hingga saat ini belum ada obat untuk mengatasi virus Covid-19 yang disetujui secara resmi di seluruh dunia, kecuali untuk penggunaan emergensi.
BPOM juga dapat melakukan simplifikasi dan percepatan perizinan khususnya untuk obat Covid-19. Rejimen kombinasi obat itupun bisa digunakan secara emergensi bagi pasien Covid-19, sebagai bagian dari uji klinik di rumah sakit, setelah protokol uji kliniknya disetujui.
Selain penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Unair, saat ini juga ada beberapa klaster konsorsium penelitian Covid-19, di berbagai institusi dan universitas di Indonesia.
Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) juga telah mendanai 24 judul penelitian yang berkaitan dengan Covid-19, yang sedang dilakukan di Universitas Indonesia, senilai Rp 8,1 Miliar, melalui Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19. (*)
Telaah Kritis Kombinasi Obat Covid-19 Temuan Unair ditulis oleh Isrotul Sukma. Editor Mohammad Nurfatoni.