Debitur Menikmati Riba tulisan Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo dan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung.
PWMU.CO-Prof KH Syaichul Hadi Purnomo MAg, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dalam kuliah Lembaga-Lembaga Ekonomi Umat Kontemporer bertanya, bagaimana hukumnya debitur memakan riba?
Mahasiswanya agak bingung. Bukannya penikmat riba biasanya kreditur, orang kaya, rentenir dan bank? Melihat mahasiswanya bingung Prof Syaichul bercerita, sebelum krisis ekonomi tahun 1998 dia memiliki tabungan untuk berhaji sebesar Rp 20 juta. Saat itu ongkos haji sekitar Rp 19 juta.
Uang tersebut kemudian dipinjam oleh temannya yang akan dikembalikan tahun depan sebelum pelunasan haji. Waktu itu pembayaran dan witing list pemberangkatan haji tidak selama seperti sekarang ini.
Waktu berjalan kondisi politik dan ekonomi makin kacau. Ada reformasi dan krisis ekonomi parah tahun 1998. Teman Prof Syaichu menepati janjinya mengembalikan uang sebelum masa pendaftaran haji. Tapi situasi berubah drastis.
Uang pinjaman dikembalikan Rp 22 juta dengan memperhitungkan inflasi. Namun ongkos haji melonjak menjadi Rp 26 juta. Artinya, Prof Syaichul Hadi tekor Rp 4 juta. Lalu siapa yang memakan riba? Kreditur apa debitur?
Mahasiswa memperoleh pemahaman baru tentang riba. Meskipun biasanya ketika terjadi sengketa semacam ini selalu dikembalikan pada akad yang dibuat. Secara akad memang tidak ada masalah dalam transaksi pinjam meminjam di atas, karena biaya haji tidak menjadi syarat pengembalian pinjaman. Namun secara faktual ada pihak yang dirugikan. Dengan demikian bukankah riba bisa berupa tambahan dan pengurangan? Intinya, ada pihak yang dirugikan dari transaksi tersebut.
Riba Deflasi
Melihat kasus di atas membuat kita harus memikirkan ulang konsep riba bukan hanya karena inflasi tetapi juga deflasi secara kasuistik. Hukum Islam dimaksudkan untuk menjaga hak akan harta (hifd al mal) dan menghilangkan kedhaliman dalam memperoleh harta.
Dalam Islam harta bisa berkembang karena digunakan untuk usaha dan dibagi hasilnya berdasarkan kesepakatan. Sedangkan dalam pinjam meminjam berlaku hukum etik sebagai kasih sayang. Jadi yang dikembalikan adalah apa yang dipinjam tanpa dikurangi maupun ditambah.
Persoalan modern muncul ketika terjadi laju inflasi yang menyebabkan secara substantif ada perbedaan harga pada saat peminjaman dan saat pengembalian. Inilah yang dipakai dasar dunia perbankan dalam menetapkan bunga.
Bunga dalam The American Heritage Dictionary of the English Language didefinisikan sebagai interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned, yaitu kompensasi kerugian yang muncul di tengah transaksi jika peminjam tidak mengembalikan sesuai waktu (compensation or penalty for delayed repayment of a loan).
Pada perkembangan selanjutnya, interest bukan hanya di artikan sebagai ganti rugi atas keterlambatan pembayaran utang, tetapi juga diartikan sebagai ganti rugi atas kesempatan yang hilang (opportunity loss).
Dalam teori ini, aktivitas spekulasi yang dilakukan pelaku ekonomi akan memengaruhi suku bunga dan silih berganti, dan akhirnya memengaruhi investasi, tingkat produksi dan kesempatan kerja.
Sementara itu Islam melarang segala macam bentuk spekulasi karena aktivitas ini dapat dikategorikan sebagai maysir (judi). Dalam kasus ini kita tidak melihat teori opportunity sebagai sesuatu yang dibenarkan tetapi lebih pada fakta bahwa kesempatan haji seseorang bisa hilang karena inflasi, dan itu membutuhkan solusi.
Semua teori di atas mengandaikan debitur adalah pihak yang dirugikan oleh kreditur karena memberi tambahan. Dengan demikian, point penting dalam sistem ribawi adalah kerugian yang bisa menimpa kreditur maupun debitur.
Karenanya butuh solusi dan pendekatan melampaui fiqih tetapi ihsan. Bukan hanya formalitas akad atau transaksi tetapi juga substansi. Meskipun pinjam meminjam biasa namun jika ada pihak yang dirugikan maka pihak lain yang menerima manfaat harus tahu diri dan menggantinya meskipun tidak dipersyaratkan dalam akad. Umat Islam tidak cukup belajar fiqih muamalah tetapi juga etika bisnis dalam Islam. (*)
Editor Sugeng Purwanto