PWMU.CO – Kembangkan jurnalisme yang bangkitkan optimisme masyarakat saat pandemi Covid-19 disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Pers Dr Agus Sudibyo.
Hal itu disampaikan dalam bincang media yang digelar Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan tema Memperkokoh Jaringan Media Islam di Tengah Disinformasi via aplikasi Zoom Jumat (19/6/2020).
Menurut Agus Sudibyo masa depan ruang publik kita adalah media sosial. “Tetapi juga belakangan ada teori new equilibrium atau keseimbangan baru. Teori ini menyatakan disrupsi ini tidak terjadi secara total artinya ada titik jenuhnya,” ujarnya
Kombinasi Jurnalisme Kritik Pemerintah
Dalam paparanya Agus mengajukan satu konsep manufacturing hope—meminjam isitilah Dahlan Iskan. Akan tetapi konteksnya bukan jurnalisme. Tapi relevan dengan bahasa jurnalisme hari ini yaitu jurnalisme yang mampu membangkitkan harapan-harapan kepada masyarakat.
“Dengan kedisplinan, gotong royong, kekompakan dan kekuatan batin masing-masing maka kita akan bisa mengatasi bencana sosial pandemi Covid-19,” paparnya.
Liputan-liputan yang bisa memberi harapan masyarakat itu perlu ditekankan. “Jadi merupakan kombinasi antara jurnalisme yang mengkritik kinerja pemerintah sekaligus jurnalisme yang bisa membangkitkan harapan masyarakat. Itulah tantangan pers seharusnya seperti itu,” ungkapnya.
Masyarakat Rentan Frustasi
Agau mengatakan, jangan sampai masyarakat semakin frustasi dan hilang harapan. “Ketika masyarakat semakin frustasi dan hilang harap maka kekacauan lebih besar akan terjadi,” ujarnya.
Menurut Agus bulan Juni ini bulan yang sangat kritis. Ada gelombang PHK, para pekerja di sektor informal menunggu bantuan dari pemerintah, ada yang dapat ada yang belum, para petani kesulitan menjual hasil taninya.
”Masalahnya bertumbuh-tumbuh dan kemampuan negara untuk menangani ini juga terbatas. Bukan dialami oleh Indonesia saja, tetapi hampir seluruh negara kelabakan dalam menangani pandemi. Karena pandemi belum pernah terjadi atau dulu pernah terjadi tapi tidak separah saat ini,” tuturnya.
Mungkin hanya Cina, Korea, dan Jerman yang benar-benar paling siap menghadapi situasi pandemi ini. “Bahkan negara maju sekelas AS bagaimana kacau balaunya hari ini. Itu ironis. Negara yang maju, kaya, paling berpendidikan tetapi sangat berantakan dalam menghadapi pandemi,” sergahnya.
Ada dua fungsi, menurutnya, yang dijalankan pers termasuk pers Islam. Pertama tetap menjaga marwahnya sebagai kekuatan kontrol atas penyelengaraan kekuasaan.
“Bagaimana pemerintah menyalurkan BLT, penyaluran prakerja. Tentu membutuhkan masukan evaluasi kritik dari pers. Kita anggap kritik dari pers sebagai energi bagi pemerintah agar bertindak lebih baik lagi,” jelasnya.
Kedua, jurnalisme yang mampu membangkitkan optimisme masyarakat. Ini yang perlu ditekankan karena masyarakat mengalami kerisauan yang luar biasa. Kontribusi pers dan media masa sangat diharapkan.
“Kuncinya agar media massa tetap bertahan, harus melakukan deferensiasi, jangan ikuti model-model pemberitaan di medsos. Yang perlu diserap dari medsos adalah interaktifitasnya dan kecepatanya,” ungkapnya
Umat Islam Korban Pandemi
Agus menyamakan, kalau bicara pandemi Covid-19 di Indonesia hari ini, maka korbannya jelas lebih besar adalah umat Islam karena mayoritas. Muslim di Indonesia menjadi korban utama.
“Tetapi bahwa umat Islam harus menghadapi situasi yang secara kebatinan sangat menganggu dan menimbulkan penderitaan batin. Misalnya umat Islam tidak bisa shalat Jumat dan shalat Idul Fitri,” tegasnya.
Apalagi, sambungnya, sudah pasti Indonesia tahun ini tidak bisa memberangkatkan haji. Itu tamparan batin yang luar biasa lagi. Penderitaanya bertubi-tubi.
“Dalam situasi kebatinanan yang seperti ini, kira-kira apa yang bisa dikontribusikan oleh media-media Islam untuk umat Islam yang menghadapi situasi yang penuh keprihatinan. Maka kembangkan jurnalisme yang membangkitkan optimisme masyarakat,” pesannya. (*)
Penulis Faiz Rijal Izzuddin. Co-Editor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.