Muhammadiyah berperan, tidak baperan tulisan opini Hendra Hari Wahyudi, penulis media online dan guru di MIM 06 Tebluru Solokuro, Lamongan.
PWMU.CO – Manusia memiliki sebuah keyakinan, iman yang menjadi pegangan dalam kehidupannya. Begitu pula dasar negara menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama Pancasila sebagai landasan dalam berbangsa.
Maka, selain sisi keimanan yang melekat dalam diri setiap mereka yang beragama, ada akal yang menuntunnya dalam melaksanakan ibadah atau pun muamalah lainnya. Namun terkadang manusia lebih mengedepankan perasaan dalam kehidupannya, termasuk beribadah. Sehingga mengabaikan ilmu yang bersumber dari akal pikiran.
KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah memadukan antara keimanan dan ilmu pengetahuan. Di awal dakwahnya, Kiai Dahlan mampu meluruskan arah kiblat, berkat ilmu pengetahuan yang didapatkannya dari belajar.
Kiai Dahlan juga mengaktualisasikan ayat al-Quran dalam praktik nyata. Bukan hanya dibaca, namun juga diwujudkan dalam tindakan dari maksud sebuah ayat.
Prof Dr Hamka pernah mengemukakan sedikitnya tiga faktor lahirnya Muhammadiyah. Di antaranya keterbelakangan dan kebodohan umat waktu itu, kemiskinan, dan pendidikan yang masih jauh dari kemajuan.
Dalam buku Muhammadiyah dan Kebangunan Islam di Indonesia, Solichin Salam (1965) mengungkapkan bahwa organisasi Muhammadiyah mulai melangkah tidak hanya dengan bicara, namun dengan berbuat dan beramal. Maka Muhammadiyah yang dalam gerakannya dikenal sebagai Islam bermajuan. Juga berkembang mengikuti kemajuan zaman dan kondisi yang ada, disertai dengan ilmu yang berjalan dinamis.
Muhammadiyah: Beradaptasi dan Jadi Pelopor
Gerakan Muhammadiyah bukan hanya berdakwah tetapi juga beramal, terbukti dengan hadirnya berbagai amal usaha yang dimiliki. Bisa dilihat dari berbagai amal usaha yang dimilikinya. Mulai dari pendidikan, kesehatan, dan sosial. Semua berlandaskan pada ajaran agama dan ilmu.
Dalam pendidikan misalnya, pemikiran Kiai Dahlan tentang pendidikan Islam bisa dikatakan sebagai awal mula kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan adalah kunci membangun peradaban bangsa dengan adanya ilmu pengetahuan. Dari sinilah ilmu itu penting bagi umat Islam. Allah berfirman dalam al-Quran Surat al-Hasyr Ayat 2: “Maka berpikirlah, wahai orang-orang yang berakal budi.”
Muhammadiyah juga selalu beradaptasi dengan perkembangan yang ada. Bukan hanya kemajuan zaman, tetapi juga kondisi yang sedang terjadi. Sebagaimana Muhammadiyah memberikan panduan hingga maklumat terkait adanya pandemi Covid-19. Salah satunya terkait dengan tata cara ibadah. Semua itu berdasarkan pada syariat agama Islam dan juga ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Sehingga apa yang menjadi imbauan dari Muhammadiyah, bukan berdasarkan dari perasaan atau ego semata. Tetapi juga atas ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang menjadi landasan ketika mengambil keputusan. Sehingga kita tahu bagaimana tata cara shalat ketika adanya pandemi, dan hal-hal lain yang menyangkut kehidupan dan kebutuhan umat di masa pandemi Covid-19.
Begitu pula dengan adanya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP) yang baru-baru ini menjadi perbincangan. Muhammadiyah turut serta menentukan sikapnya dan beberapa masalah yang berkembang di masyarakat. Muhammadiyah beradaptasi dan menjadi pelopor serta ikut berperan. Bukan hanya mengurusi tentang keagamaan tetapi juga tentang kebangsaan.
Oleh karenanya dengan adanya akal yang sehat dan ilmu pengetahuan, menjadi pelengkap keimanan yang ada dalam diri umat Islam. Sehingga beragama bukan hanya dengan perasaan semata, namun dengan ilmu pengetahuan.
Bergerak atas Keyakinan dan Ilmu
Ketauhidan yang murni dengan dibarengi ilmu yang mumpuni, akan melahirkan amalan yang berbudi dalam diri seorang Muslim. Menilik Mars Kokam pada lirik awalnya:“Tauhid ilmu dan amal adalah senjata.” Di sini jelas dan menunjukan seperti apa organisasi Muhammadiyah. Turunnya agama Islam, akal manusia akan selamat dan juga dapat menyelamatkan. Begitu pula akal akan terselamatkan jika dibarengi dengan keimanan.
Maka, Islam tidak mengenal apa yang dinamakan dikotomi, pemisahan, dan disintegrasi antara ilmu agama dan non-agama, atau antara agama dan sains. Karena keduanya bersumber dan berakar dari satu, yakni Allah. Jadi, jika ada kalimat ‘Jangan takut Korona, takutlah pada Allah’, atau ‘Buat apa jaga jarak, pakai masker, jika Allah sudah berkehendak kita meninggal ya meninggal’, maka, mungkin kalimat ini keluar dari mulut orang yang kurang ilmu pengetahuannya.
Dalam buku Buya Hamka, Falsafah Hidup (1940), terdapat sebuah kalimat: “Agama Islam amat menghormati akal. Karena tidak akan tercapai ilmu kalau tidak ada akal. Sebab itu Islam adalah agama ilmu dan akal.”
Muhammadiyah mengaplikasikan antara agama (keyakinan) dan akal (ilmu pengetahuan) dalam sebuah amal. Sehingga tidak heran Muhammadiyah selalu berkembang dan mengikuti perkembangan zaman.
Dengan agama dan akal, lahirlah lembaga pendidikan, rumah sakit, panti sosial, dan lainnya yang terwujud dalam Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Maka, sudah seharusnya warga Muhammadiyah bergerak dan beramal dengan keyakinan (agama) dan juga ilmu.
Muhammadiyah Berperan
Maka watak dan ciri khas yang dimiliki dan menjadi gerak langkah Muhammadiyah dalam beragama, beramal, serta bernegara tentunya dengan akal yang sehat. Akal pikiran yang mampu membaca situasi yang ada dengan iman dan juga ilmu.
Oleh karenanya, sudah pastilah warga Muhammadiyah mengikuti apa yang telah digariskan oleh organisasi. Ada keyakinan dari kebijakan serta sikap yang dilakukan Muhammadiyah sesuai dengan syariat agama Islam yang diikuti dengan ilmu pengetahuan. Maka, di situasi darurat yang sedang melanda negeri, Muhammadiyah tiada henti berbuat sesuatu, dengan kebijakan pun pula dengan berbuat kebajikan (amal shaleh).
Ciri khas inilah yang menjadikan kita sebagai warga Muhammadiyah memiliki panduan dalam beragama, pandangan dalam bernegara. Sehingga tidak perlu khawatir akan apa yang harus dilakukan. Karena tugas sebagai orang yang bernaung dibawah sinarnya adalah sami’na wa atha’na atas kebijakan dan sikap yang telah dibuat Muhammadiyah.
Oleh karena itu, orang Muhammadiyah tidak suka baper (bawa perasaan) atau baperan, tetapi lebih mengedepankan akal serta akhlak dalam menghadapi kondisi dan situasi yang ada dengan bekal keimanan di dada.
Jadi, mari kita hadapi situasi bangsa ini dengan tenang, bukan dengan tegang. Mari kita jalani hidup di tengah pandemi dengan sikap yang tidak panik.
Itu semua karena adanya akal sehat yang melahirkan ilmu pengetahuan tentang bagaimana menghadapi situasi. Dengan kokohnya iman yang ada pada diri, sehingga yakin dengan adanya hikmah atas semua yang terjadi. Allah pasti memberikan jalan keluar dari suatu masalah bagi hamba-Nya. (*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni