PWMU.CO– Kekuatan sekuler makin menusuk ke dalam negara ini. Tusukan terbaru penyodoran Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan usaha peleburan pelajaran Agama, PPKN, Kepercayaan menjadi satu.
Dua peristiwa ini mengindikasikan kelompok sekuler ingin terus mengubah negara ini sesuai dengan pemikirannya. Mumpung hari ini mereka menguasai semua lini di legislatif, eksekutif, yudikatif, ditambah dengan para buzzer.
Pemikiran sekuler adalah memisahkan urusan agama dari negara. Bahkan ada yang bilang kalau bisa melenyapkan agama sebagaimana perjuangan kaum komunis. Tapi begitu tusukan pemikiran itu dihunuskan, kelompok Islam langsung merespon dengan tangkisan yang kuat.
Kelompok sekuler sudah lama menyuarakan pelajaran agama tak perlu diajarkan di sekolah. Itu urusan pribadi dengan tuhannya. Negara tak perlu campur tangan dengan memasukkan agama ke dalam kurikulum pendidikan.
Sekarang ada Focus Group Discussion Kemendikbud membahas penyederhanaan Kurikulum K-13. Hasilnya meleburkan pelajaran agama, PPKN, ditambah kepercayaan jadi satu. Walaupun belum diterima jadi keputusan final, adanya usulan itu menandakan orang-orang sekuler juga masuk dalam tim kurikulum.
Pertarungan Dua Kekuatan
Inilah pertarungan dua kekuatan di negeri ini. Islam dan sekuler. Dari dulu hingga kini yang rupanya belum berhenti. Bak perang Baratayudha antara kelompok Pandawa dan Kurawa. Siapa Pandawa dan mana Kurawa bisa dilihat dari perangai politik dan strategi perang yang dimainkan. Antara kesantunan, kejujuran melawan kelicikan dan keculasan.
Sekarang pertarungan itu berubah menjadi antara cebong dan kampret. Istilah yang dipakai ini makin menunjukkan pertarungan tidak lagi pada pemikiran tapi hujatan saling hina menghinakan.
Kekuatan sekuler saat ini diwakili oleh PDIP dan para pendukungnya. Partai kebangsaan yang mewarisi cita-cita nasionalisme Partai Nasional Indonesia (PNI) dan anak ideologis Bung Karno.
Sementara kekuatan Islam mewujud dalam ormas-ormas Islam maupun kelompok pengajian dalam masyarakat yang bisa mengkristal dalam barisan yang besar. Misalnya, aksi solidaritas 212 di Monas pada 2 Desember 2016. Kelompok Islam ini bisa dibilang mewarisi nilai perjuangan Partai Masyumi.
Dalam bidang politik sekarang ini kelompok Islam terpinggirkan karena merasa tak terwakili dalam parlemen maupun pemerintah. Walaupun dalam parlemen ada partai Islam tapi seringkali pikirannya tak sejalan dengan aspirasi kelompok muslim. Partai dianggap berjuang untuk kepentingan partai bukan umat.
Nantang Perkoro
RUU HIP membaca isinya merupakan upaya kelompok sekuler memaksakan tafsir Pancasila menurut keinginannya sendiri. Mengabaikan konsensus nasional yang sudah disepakati oleh pendiri negara dalam sidang BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta yang kemudian diubah di luar sidang dengan menghapus tujuh kata sila pertama dasar negara. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Pikiran yang mau dipaksakan masuk dalam RUU HIP itu pasal 7 berbunyi (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Ini adalah pemikiran Soekarno yang disampaikan dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Sebenarnya usulan itu tidak dipakai oleh tim perumus dasar negara. Seperti bisa dibaca dalam Pembukaan UUD 1945 yang tak memasukkan kalimat itu.
PDIP mau nantang perkoro dengan menghidupkan lagi tafsir Pancasila ala Bung Karno model peras-perasan kayak santan. Partai ini tak bisa mengelak sebab Ketua PDIP Megawati dalam pidatonya juga suka menyinggung peras memeras dasar negara.
PDIP sepertinya berkeinginan membuka lagi perdebatan dasar negara sebagaimana telah terjadi dalam BPUPKI 1945 dan Dewan Konstituante 1955. Padahal umat sudah menerima asas negara ini dengan lapang dada. Muhammadiyah dengan konsep Darul Ahdi wa Syahadah. Negara terbentuk oleh ikatan perjanjian dan mengisinya dengan pembangunan.
NU pun menerima negara Pancasila ini sudah final karena sesuai nilai Islam. Tak perlu lagi perjuangan menegakkan negara Islam. Begitu pula kelompok Islam lainnya.
Perangai politik PDIP dengan RUU HIP bisa dibaca ingin membuka luka lama yang sudah ditutup lewat konsensus nasional dengan disahkan UUD 1945. Luka lama akibat tusukan kelompok sekuler telah mengubah Piagam Jakarta.
Politik Su’uzhon
Syukurlah RUU HIP ditunda. Meskipun banyak ormas meminta dibatalkan karena tidak penting. Setidaknya perdebatan panas asas negara tidak terjadi lagi.
Melihat jargon-jargon yang dilontarkan seperti radikal, intoleran, anti bhinneka, sektarian, anti Pancasila, khilafah, dan teroris, patut diduga penyodoran RUU itu masih rentetan su’uzhon kelompok sekuler terhadap kelompok Islam yang hendak mengubah dasar negara dengan khilafah.
Tuduhan ini berkali-kali disebutkan untuk melawan kekuatan slogan #GantiPresiden saat Pemilu 2019. Padahal HTI yang ingin membangun khilafah sudah dibubarkan, tapi kini tuduhan malah diberondongkan kepada FPI dan PKS lewat tulisan para buzzernya.
Karena mengembangkan politik su’uzhon itu lantas menghidupkan lagi BP7 yang sudah dibubarkan saat reformasi dengan nama baru BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) pada 2018. Asumsinya warga negara makin tak paham Pancasila sehingga perlu dibina.
Masalahnya adalah pejabat hanya menjadikan Pancasila sebagai pemanis bibir. Bikin slogan Saya Pancasila yang dibaca bersama-sama. Setelah itu besok ditangkap KPK karena korupsi.
Orang-orang yang duduk di BPIP pun belum menghasilkan pemikiran bagus kecuali pernyataan kontroversial seperti musuh nomor satu Pancasila adalah agama, salam Pancasila menggantikan assalamu alaikum. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto