Inilah Kandidat Obat Covid-19 dikemukakan Prof Dr Maksum Radji M Biomed Apt—Guru Besar Mikrobiologi dan Bioteknologi Farmasi UI.
PWMU.CO – Pandemi COVID-19 telah menyebar dengan cepat ke berbagai negara di seluruh dunia. Sampai dengan tanggal 20 Juni, menurut worldometers.info lebih dari 8,7 juta orang dinyatakan positif mengidap virus Covid-19 dan 462,501 orang telah meninggal dunia.
Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa persebaran Covid-19 semakin cepat dan dunia terancam memasuki fase berbahaya baru.
Pertanyaannya, sudah seberapa jauh perkembangan upaya penemuan obat untuk mengatasi Covid-19. Adakah obat yang sudah disetujui penggunaannya?
Untuk menjawab pertanyaan itu, PWMU.CO melalukan wawancara jarak jauh, Jumat (19/6/202), dengan Prof Dr Maksum Radji M Biomed Apt yang juga Pembina Pondok Babussalam Socah, Bangkalan, Madura
Perawatan Pasien Covid-19
Sampai saat ini perawatan yang dilakukan untuk pasien Covid-19 dengan gejala ringan adalah dengan mengisolasi diri di rumah. Pasien yang dirawat di rumah sakit menerima perawatan suportif (seperti oksigen) yang terdaftar dalam uji klinis, dan diberi obat-obatan off-label berdasarkan pedoman rumah sakit dan penilaian klinis oleh dokter yang merawatnya.
Belum ada obat spesifik untuk pengobatan Covid-19 yang disetujui Food and Drug Administration (FDA). Hingga FDA meluncurkan program darurat baru, yang disebut Program Percepatan Pengobatan Coronavirus/Coronavirus Treatment Acceleration Program (CTAP), yang bertujuan mempercepat penelitian untuk pengembangan pengobatan Covid-19.
Berdasarkan Program Percepatan Pengobatan Coronavirus yang dirancang oleh FDA tersebut, saat ini, banyak sekali kandidat obat yang sedang diuji untuk pengobatan Covid-19 di seluruh dunia.
Terdapat beberapa kandidat obat potensial untuk mengatasi Covid-19 sebagaimana dilansir pada laman goodrx.com adalah sebagai berikut:
Remdesivir
Pada uji klinik yang melibatkan 1.063 orang pasien, menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit yang mendapat remdesivir pulih lebih cepat daripada mereka yang mendapat plasebo, yaitu masing-masing 11 hari vs 15 hari. Tingkat kematian pada kelompok remdesivir (7 persen) juga lebih rendah daripada kelompok plasebo (12 persen).
Hasil uji klinik ini mendukung penggunaan Remdesivir untuk pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19. Namun para peneliti menyimpulkan pengobatan dengan Remdesivir saja kemungkinan tidak cukup, mengingat tingkat kematiannya yang masih tinggi.
Pada 1 Juni 2020, Gilead mengumumkan hasil uji klinik fase ke-3 dengan jumlah pasien yang lebih banyak, yaitu pasien yang dirawat di rumah sakit dengan gejala Covid-19 yang moderat.
Orang yang mendapat remdesivir selama 5 hari menunjukkan 65 persen respon yang lebih baik. Namun demikian perbedaannya dengan pasien yang tidak mendapatkan remdesivir tidak signifikan secara statistik, sehingga masih perlu dievaluasi lebih lanjut.
Hydroxychloroquine dan Chloroquine
Sejauh ini belum cukup data medis yang membuktikan bahwa Hydroxychloroquine dan Chloroquine bekerja untuk Covid-19.
Walaupun ada beberapa studi pendahuluan yang menunjukkan bahwa obat ini dapat membantu. Namun berbagai penelitian lain tidak terlihat manfaatnya secara signifikan.
Belum ada penelitian yang menunjukkan kedua obat ini bermanfaat untuk pencegahan. FDA telah mengeluarkan peringatan akan adanya efek samping serius pada jantung, jika Hydroxychloroquine atau Chloroquine, digunakan tanpa pengawasan dokter, untuk Covid-19.
Situs cnn.com melansir berita dihentikannya penggunaan Hydroxychloroquine dan Chloroquine, pada keadaan darurat Covid-19 di Amerika Serikat dan di Inggris. FDA untuk sementara mencabut penggunaan darurat Hydroxychloroquine dan Chloroquine sebagai pengobatan Covid-19. Pemberhentian ini berdasar pada penelitian yang sedang berlangsung.
Namun, di negara lain termasuk Indonesia obat ini masih merupakan salah satu pilihan pengobatan yang digunakan secara terbatas pada pasien Covid-19.
Oleh sebab itu, hendaknya kita berhati-hati dalam menggunakannya untuk pasien Covid-19 dan secara ketat mencermati kemungkinkan timbulnya efek sampingnya yang serius.
Azitromisin
Azitromisin adalah antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri yang dapat menyebabkan bronkhitis dan pneumonia.
Azitromisin telah terbukti memiliki aktivitas in vitro terhadap virus Influenza A dan virus Zika, tetapi tidak bekerja melawan Coronavirus yang menyebabkan MERS.
Salah satu penelitian untuk mengamati kombinasi Azitromisin dengan Hydroxychloroquine untuk Covid-19, dilaporkan bahwa 93 persen pasien mengalami penurunan viral load selama 8 hari, tetapi tidak ada kelompok kontrolnya. Sehingga, hasilnya dianggap meragukan.
Kombinasi Azitromisin dengan Hydroxychloroquine juga memunculkan kekhawatiran tentang efek samping yang serius, khususnya pada jantung, apalagi setelah FDA menganjurkan untuk tidak lagi menggunakan Hydroxychloroquine untuk pengobatan penderita Covid-19.
Avigan (Favipiravir)
Avigan adalah obat antivirus yang disetujui di Jepang dan Cina untuk flu. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa Favipiravir dosis tinggi mampu mencegah infeksi SARS-CoV-2 pada sel manusia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Cina terhadap 240 pasien dengan gejala Covid-19 ringan, 71 persen pasien yang diberi Favipiravir pulih setelah tujuh hari dibandingkan dengan 56 persen yang diberi Umifenovir (Arbidol).
Pasien yang menggunakan Favipiravir juga menunjukkan tingkat perbaikan yang lebih baik pada gambaran paru-paru mereka berdasarkan hasil rontgen paru.
Uji klinis penggunaan Avigan untuk Covid-19, baru-baru ini juga disetujui dilakukan di Boston, Amerika Serikat.
Kaletra (Lopinavir/Ritonavir)
Kaletra adalah obat HIV yang mengandung kombinasi dua antivirus yang disebut Lopinavir dan Ritonavir.
Berbagai uji in vitro dan uji klinis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa obat ini memiliki beberapa aktivitas melawan virus SARS dan virus MERS. Walaupun demikian data penggunaan Kaletra untuk Covid-19, masih terbatas.
Dalam salah satu penelitian acak terhadap 199 orang yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19, menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara yang menggunakan Kaletra dan tidak menggunakannya.
Penelitian lainnya yang melibatkan 127 orang dengan gejala Covid-19 ringan diobati dengan Kaleta, kemudian dibandingkan dengan Kaletra yang dikombinasi dengan interferon Beta-1b dan Ribavirin.
Peneliti menemukan bahwa kelompok yang mendapatkan ketiga kombinasi obat, membaik lebih cepat dalam tujuh hari daripada mereka yang hanya mendapat Kaletra dalam 12 hari.
Tamiflu (Oseltamivir)
Tamiflu adalah obat antivirus yang digunakan untuk influenza (flu). Hasil penelitian yang dilakukan di sebuah rumah sakit di Wuhan, Cina tidak menunjukkan hasil yang baik.
Dari 138 pasien yang dirawat di rumah sakit, 124 diobati dengan Tamiflu bersama dengan obat lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 85 pasien (62 ersen) masih dirawat di rumah sakit dan enam orang meninggal. Meskipun demikian, beberapa uji klinis Tamiflu dengan kombinasi obat lain untuk virus Covid-19.
Terapi Plasma Konvalesen
Pada 24 Maret 2020, FDA mengeluarkan aplikasi Emergency Investigational New Drug (eIND) untuk penggunaan Plasma Darah Konvalesen guna mengobati pasien Covid-19.
Plasma Konvalasen ini dikumpulkan dari orang-orang yang telah sembuh dari Covid-19. Plasma ini, ditransfusikan kepada pasien yang terinfeksi virus Covid-19.
Jadi terapi Plasma Konvalasen merupakan pemberian antibodi secara pasif dengan menyuntikkan plasma darah dari orang sembuh dari infeksi virus Covid-19 pada pasien Covid-19.
Diperkirakan bahwa antibodi terhadap virus Covid-19 yang ada di dalam plasma konvalesen ini dapat membantu melawan infeksi virus Covid-19 pada pasien yang sedang terinfeksi.
Uji terapi plasma konvalasen ini telah dilakukan di beberapa negara, antara lain, Amerika Serikat, Inggris, China, India, Iran, dan juga di Indonesia.
Di Cina, 10 orang dewasa dengan gejala Covid-19 parah yang diberikan Plasma Konvalesen menunjukkan bahwa semua gejala (seperti demam, batuk, sesak napas, dan nyeri dada) membaik dalam waktu tiga hari dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Transfusi Plasma Konvalesen di Indonesia untuk pasien Covid-19, baru-baru ini, telah dilakukan. Salah satunya dilakukan di RSPAD Jakarta.
Walaupun hasil uji terapi Plasma Konvalasen ini menunjukkan adanya perbaikan dari kondisi pasien, namun, masih dibutuhkan uji klinis dengan subjek yang lebih banyak, pada kasus SARS-CoV-2 dengan gejala yang berat.
Kortikosteroid
Salah satu obat yang juga sedang dipelajari untuk pengobatan Covid-19 adalah Kortikosteroid.
Obat ini digunakan untuk mengimbangi ‘badai sitokin’ yang dapat menyebabkan cedera paru-paru dan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) pada pasien Covid-19.
Kortikosteroid dapat menghambat ekspresi gen-gen yang mengkode molekul-molekul inflamasi. Tetapi penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan penyakit kardiovaskular dan menurunnya kerapatan tulang.
Sebuah meta-analisis sebelumnya menemukan bahwa kortikosteroid dikaitkan dengan kematian yang lebih tinggi pada mereka yang terkena pneumonia influenza. Satu studi retrospektif di China menemukan bahwa penggunaannya pada mereka yang mengembangkan ARDS dikaitkan dengan penurunan kematian. Berbagai uji klinis saat ini sedang berlangsung.
Sebagaimana dilansir dalam laman bbc.com bahwa salah satu Kortikosteroid, yakni Deksametason telah digunakan untuk pasien Covid-19.
Efektivitas Deksametason
Pada uji klinik yang dipimpin oleh tim dari Universitas Oxford dengan jumlah 2.104 pasien rumah sakit diberikan Deksametason dan dibandingkan dengan 4.321 pasien yang tidak diberikan Deksametason.
Penggunaan Deksametason, terbukti mengurangi risiko kematian dari 40 persen menjadi 28 persen pada pasien yang menggunakan ventilator.
Sedangkan untuk pasien yang membutuhkan oksigen, pemberian deksametason dapat mengurangi risiko kematian dari 25 persen menjadi 20 persen.
WHO juga mengapresiasi terobosan ilmiah peneliti Inggris atas penggunaan deksametason, untuk menyelamatkan nyawa pasien virus Covid-19. Hasil uji klinik ini, diharapkan dapat membantu menekan angka kematian akibat Covid-19 secara global.
Namun demikian, beberapa peneliti di negara lain masih menunggu data resmi. Karena hasil penelitian ini belum dipublikasi pada jurnal ilmiah yang direview oleh para peer reviewers untuk menilai keabsahannya. Para klinisi masih menunggu hasil lebih lanjut, sebelum menyikapi hasil uji klinik Deksametason ini.
Beberapa dokter juga khawatir bahwa penggunaan Deksametason bisa jadi memperburuk kinerja sistem kekebalan tubuh dari serangan virus. Sehingga masih diperlukan uji klinik yang lebih lanjut guna mengetahui efek samping dari penggunaan deksametason tersebut.
Juga penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan cara mengkombinasi deksametason dengan obat antiviral mengingat bahwa Deksametason bukan obat antivirus.
Di samping itu obat ini tidak bermanfaat untuk kasus Covid-19 ringan dan sedang atau yang tidak dirawat di rumah sakit. Deksametason tidak dapat digunakan untuk pencegahan Covid-19.
Deksametason yang digunakan tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter yang digunakan dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan efek samping, menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan tekanan darah, diabetes, moon face dan masking effect, serta efek samping lainnya yang berbahaya.
Tetap Waspada dan Taati Protokol Kesehatan
Bila mencermati aspek yang berkaitan dengan wabah Covid-19 ini, baik dari aspek penemuan obat yang spesifik, ataupun penemuan vaksinnya, diperkirakan upaya penemuan obat dan vaksin virus Covid-19 ini masih cukup lama.
Oleh sebab itu, prinsip dalam menghadapi penyakit infeksi perlu terus kita perhatikan. Dalam menghadapi penyakit infeksi, termasuk virus Corona, mencegah jauh lebih baik daripada mengobati.
Sehingga, sejatinya selama vaksin virus Covid-19 ini belum ditemukan kita harus tetap waspada dan konsisten untuk mematuhi anjuran protokol kesehatan.
Marilah kita tetap konsisten menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Juga mengenakan masker, menjaga jarak, hindari kerumunan, dan sering mencuci tangan dengan sabun, guna membatasi transmisi virus Covid-19.
Semoga dengan berikhtiar, seraya berdoa memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Insyaallah kita terhindar dari wabah pandemi virus Covid-19 ini. Semoga senantiasa menolong kita semua. Amin. (*)
Penulis Isrotul Sukma. Editor Mohammad Nurfatoni.