PWMU.CO-Merebut tafsir Pancasila sedang dimainkan PDI Perjuangan dengan menyodorkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) ke DPR. Tafsir Pancasila menurut pikiran Soekarno.
Hal itu disampaikan Prof Dr Chusnul Mariyah, dosen FISIP Universitas Indonesia, dalam diskusi virtual Menakar Urgensi Rancangan Undang-Undang RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di Jakarta, Sabtu (20/6/2020).
Acara ini diadakan oleh Aliansi Perempuan Peduli Indonesia, Advokat Konstitusi dan Asosiasi Dosen Indonesia. Pembicara lainnya antara lain Dr Refly Harun (pakar hukum tata negara), Dr Abdurrakhman (Ketua Departemen Sejarah Universitas Indonesia), Dr Muhammad Hidayat Nur Wahid (Wakil Ketua MPR RI), dan Dr Fadli Zon (DPR).
Chusnul Mariyah mengatakan, dulu Orde Baru mendominasi tafsir Pancasila, sekarang the ruling party, PDIP, apalagi ayahnya dari ketua partai yang berkuasa, maka direbut kembali tafsir Pancasila ini.
Itu tampak dari Pancasila bisa diperas menjadi Trisila yaitu sosio-demokrasi, sosio-nasionalisme, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Ini masih bisa diperas lagi menjadi satu kata Ekasila yaitu gotong royong. Ini pikiran Bung Karno saat pidato di BPUPKI. ”Kalau hanya gotong royong lalu tuhannya ditaruh di mana. Tafsir ini yang sedang diangkat kembali,” katanya.
Menurut Chusnul, dalam proses politik RUU HIP ini yang berkepentingan adalah rezim yang berkuasa hari ini, kemudian BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) yang juga bentukan dari rezim, lalu juga presiden sendiri. Tiga oligarki politik ini yang menguasai proses RUU.
Low Trust Politic
Lahirnya RUU ini, sambung dia, tak lepas dari konteks politik global tentang isu terorisme, deradikalisasi, islamofobia yang diserap jadi konteks politik domestik. Di Indonesia muncul tuduhan intoleransi, radikal, sektarian, anti bhinneka, anti Pancasila. Dulu muncul jargon: ”Saya Pancasila” langsung diucapkan presiden.
”Kalau Anda melawan rezim maka Anda dianggap melawan Pancasila. Dalam kondisi low trust politic seperti ini, diam-diam membuat satu kesepakatan RUU HIP padahal tidak ada urgensi, tidak ada konsultasi publik, tidak ada konsultasi akademik mendalam, karena kita semua sedang melawan covid-19,” ujarnya.
Dia mempertanyakan, apakah ini suatu politik balas dendam karena sebentar lagi tidak boleh lagi ikut Pemilihan Presiden. ”Kalau kita kembali lagi ke dalam bangunan politik, jangan-jangan kembali lagi sosialisasi pemikiran Soekarno, dengan mengabaikan sejarah Piagam Jakarta. Referensinya hanya tulisan Soekarno tentang Revolusi Sosialisme Pimpinan,” tuturnya.
Dia mengatakan, pembuat draft RUU ini sama sekali ahistoris. Sebagai dasar negara, Pancasila itu posisinya adalah menjadi hukum tertinggi. Tempatnya dalam Pembukaan UUD 1945. Kalau dibuat UU maka hiraki hukum jadi berantakan.
Lantas kenapa suara paling keras menentang RUU HIP datang dari kelompok Islam? Menurut dia, karena RUU ini mengabaikan sejarah lahirnya Piagam Jakarta. Apalagi selama rezim ini berkuasa kekuatan politik Islam didholimi, ulamanya dipersekusi, dipidanakan, kemudian mengkritisi rezim ditangkap.
”Saya sarankan kepada pejuang Islam, Anda tidak perlu bikin negara baru negara Islam, khilafah, tapi rebut tafsir Pancasila sebagai tafsir negara Islam, seperti tafsir negara Perjanjian Madinah di era politik modern,” tandasnya.
Kontestasi tafsir ini selalu bersinggungan dengan kontestasi politik. Tak masalah dengan munculnya identitas agama, identitas budaya, etnik. Dalam ilmu politik itu biasa. ”Paling ada yang mengatakan itu primordial, mundur. Kata siapa? Anda cek di Amerika ada kekuatan politik kelompok Yahudi, Katolik, Nasrani. Model demokrasi ala Amerika sama saja,” paparnya.
Politik Balas Dendam
Komentar Sekjen PDIP yang mau menerima Tap MPRS No. XXV/1966 menjadi konsideran RUU tapi ada transaksinya, dia masukkan dilarang berbicara khilafahisme, kata Chusnul, makin jelas sasaran RUU seperti upaya balas dendam.
”Apa itu khilafah? Yang sekarang kita praktikkan di Indonesia ini model khilafah mana? Kalau Anda melarang agama dipisahkan dengan negara, agama dipisahkan dengan politik itu namanya Khilafah Kristen Protestan, cara berpikir negara Barat. Weberian. Tapi Katolik Vatikan tidak memisahkan. Anda kalau Katolik, Anda lahir, Anda dibaptis, otomatis menjadi warga negara Vatikan juga. Jadi dobel warga negara,” terang dia.
Diterangkan, khilafah itu masalah kepemimpinan, khilafah itu sistem pemerintahan. Kenapa ada usulan dilarang bicara khilafah. Padahal Russeau yang ahli pemerintahan dari Barat, Katolik, yang terkenal dengan teori Kontrak Sosial berpendapat bahwa pemerintahan yang terbaik dipraktikkan adalah di Madinah oleh Nabi Muhammad.
Tap MPRS No. XXV itu tentang pembubaran PKI dan larangan menyebarkan paham komunisme. ”Siapa yang diuntungkan kalau tidak masuk di RUU? Apakah ada kekhawatiran pemikiran-pemikiran Soekarno yang bersinggungan dengan komunisme seperti Marhaenisme itu,” katanya.
Dia juga mempertanyakan, apakah RUU ini tes untuk umat Islam. ”Hari ini kalau masjid dikuasai, pesantren diawasi, ulama dipersekusi, sampai Ketuhanan Yang Mahaesa pun diganti dari Pancasila ke Ekasila, tindakan apalagi yang kita lakukan, hanya satu kata lawan,” selorohnya.
Maksudnya, dia menambahkan, anda harus rebut diskursus Pancasila itu. Anda harus merebut tafsir Pancasila itu sesuai dengan bagaimana para tokoh Islam memperjuangkan Ketuhanan Yang Mahaesa, Piagam Jakarta, Pancasila yang disahkan 18 Agustus 1945. (*)
Penulis Qosdus Sabil Editor Sugeng Purwanto