Persepsi Muslim: Anti-RUU HIP, kolom oleh Bahrus Surur-Iyunk, Kepala SMA Muhammadiyah 1 Sumenep.
PWMU.CO – Dalam bahasa Arab ada istilah zhann yang berasal dari kata zhanna, yazhunnu, zhannun. Banyak yang mengartikan bahwa zhann itu berarti berprasangka, menyangka, menduga atau mengira-kira, persepsi awal.
Tetapi, ada juga yang mengartikan dengan ‘menuduh’, bahkan ‘yakin’. Zhann itu lahir atau muncul berdasarkan tanda-tanda. Sehingga, persepsi diri bisa dimaknai sebagai cara pandang awal seseorang berdasarkan tanda-tanda yang ada dalam dirinya, baik dialami maupun dirasakan.
Namun, secara umum, sangkaan itu dalam sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu prasangka baik (husnuzh-zhann) dan prasangka buruk (su’uzh-zhann). Berprasangka baik berarti memberi sangkaan yang positif dan baik-baik saja bisa dengan sanjungan, pujian dan menaikkan derajatnya.
Sementara itu, berprasangka buruk berarti memberi sangkaan yang negatif. Merendahkan tabiat dan karakter diri sendiri dan orang lain, merendahkan derajatnya, menjatuhkan kepribadiannya dan menyudutkan dengan sifat-sifat yang buruk.
Tiga Prasangka
Dari sisi objeknya, prasangka itu memiliki tiga sasaran, yaitu diri sendiri, Allah Yang Maha Pencipta dan orang lain atau sesama manusia.
Terhadap tiga sasaran ini semua bisa disematkan sifat baik dan sifat buruk. Terhadap diri sendiri, misalnya, seseorang bisa berprasangka dan mempersepsikan dirinya sendiri dengan sifat-sifat atau prasangka yang baik dan buruk. Dalam bahasa psikologi sering disebut dengan persepsi diri.
Dalam hal karakter kepribadian, misalnya, seseorang berprasangka atau mempersepsikan diri baik terhadap dirinya bahwa ia bisa melakukan sesuatu, maka seluruh yang ada dalam dirinya itu akan ikut membantu dan terdorong untuk melakukan sesuatu itu hingga bisa merealisasikannya.
Semangat pun akan tumbuh dalam dirinya. Ia berpikir positif terhadap dirinya. Dalam ungkapan yang cukup terkenal, “If you think you can, You can”. Jika kamu berpikir bahwa kamu bisa, maka kamu bisa.
Sebaliknya, jika seseorang berpikir dirinya tidak mampu atau merasa dirinya tidak mampu, maka seluruh elemen yang ada dalam dirinya akan terlemahkan dan menyerah duluan.
Seseorang merasa sudah tua duluan akan lemah dan tidak mampu menjalankan apapun. Ada seorang murid yang merasa dirinya adalah pemalas, maka ia pun menjadi malas mengerjakan tugasnya. Ia persepsikan diri sebagai anak yang bandel, maka ia juga akan membandel juga, karena didorong oleh persepsi atas dirinya sendiri yang negatif.
Persepsi Beragama
Dalam beragama juga terjadi persepsi terhadap diri sendiri. Seorang perempuan yang mempersepsikan (berprasangka atas) dirinya sebagai seorang Muslimah, maka ia akan menjalankan kehidupannya sebagai seorang Muslimah. Ia akan berhijab saat keluar rumah dan bergaul dengan hati-hati, terutama saat bertemu lawan jenisnya.
Seseorang yang menganggap (berprasangka atas) dirinya sebagai seorang Muslim, maka ia akan menjalankan perintah shalat dengan lengkap lima waktu. Menjalankan puasa Ramadhan. Mengerjakan perintah zakat. Berhaji jika mampu.
Setidaknya, dirinya akan berusaha untuk menjadi seorang Muslim, karena dirinya merasa dirinya adalah Muslim.
Dalam al-Quran, Allah memerintahkan kita untuk bersaksi mempersepsikan diri bahwa “kita adalah seorang Muslim”, sebagaimana dalam Ali Imran: 52:
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang-orang muslim (yang berserah diri).”
Dalam ayat 64, “Katakanlah: “Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Kekuatan Persepsi dalam Ibadah
Seseorang yang mempersepsikan dirinya mampu dan bisa menjalankan shalat Dhuha setiap hari, ia dengan segala elemen dirinya akan membantu untuk menjalankannya. Banyak orang mengatakan bahwa dirinya sering tidak sempat shalat Dhuha sebelum berangkat ke kantor atau ke pasar, maka ia pun tidak akan sempat juga.
Padahal cukup menyediakan waktu lima menit untuk menjalankan dua rakaat dzuha. Tidak usah banyak-banyak. Cukup dua rakaat saja dulu. “Ya, mana sempat keburu telat.”
Shalat malam atau tahajud juga demikian. Jika belum-belum ia sudah mengatakan “Saya susah bangun. Sering kebablasan hingga Subuh”, maka gagal juga bangun malam.
Seandainya ia sudah merasa terlebih dulu bahwa saya bisa bangun malam dan shalat, maka seluruh organ tubuhnya akan mendukung dan membantu menyatakannya. Apalagi, sebelum tidur ia berdoa kepada Allah agar dibangunkan, maka para malaikat akan ikut membantu membukakan mata lelapnya dan menegakkan badannya menghadap Allah.
Ada lagi tentang membaca al-Quran. Tidak usah one day one juz, sehari satu juz. Bisa membaca al-Quran setiap pagi sehabis Subuh dan sore selepas Maghrib juga harus muncul dari prasangka atau persepsi atas dirinya sendiri.
Jika prasangkanya baik terhadap dirinya bahwa ia bisa melakukannya, maka ia juga akan bisa. Kalau belum-belum sudah merasa tidak mungkin, tidak mungkin sempat, dan sebagainya, maka seluruh potensi positif dalam dirinya akan terlemahkan, ditambah godaan syetan akan semakin mudah mengelabui.
Ilmu Berpura-pura
Dalam psikologi itu ada ilmu berpura-pura. Diri kita harus berpura-pura menjadi orang yang kaya. Bagaimana perilaku orang yang kaya? Orang kaya banyak punya uang. Karena merasa dirinya kaya, maka ia bisa dan harus banyak bersedekah dan berinfak.
Karena infak dan sedekahnya itulah Allah kemudian meluaskan dan melipatgandakan rezeki-Nya dan menjadilah ia orang yang kaya. Kayakan hatimu, niscaya Allah akan kayakan hartamu!
Jangan sebaliknya, berlagak sebagai orang yang miskin. Orang merasa tidak mampu dan miskin, maka ia tidak akan bersedekah dan berinfak. Mau bersedekah dengan yang tidak pakai uang dan harta kekayaan. Karena perasaannya takut berkurang hartanya, maka Allah pun akan mengurangi harta kekayaannya. Dan, jadilah orang miskin seterusnya.
Dan yang sering dikatakan orang itu seperti “Saya ini pelupa”. Jangan menganggap diri sebagai pelupa, takut Anda melupakan terus-menerus. Ia menjadi enteng untuk melupakan sesuatu, sehingga ingatan pun tidak terlatih untuk mengingat segala sesuatu.
Dalam bahasa yang keren, “You are what you think about yourself”. Dirimu adalah apa yang kamu pikirkan tentang dirimu.”
Muslim Pancasilais
Dalam konteks Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), sebagai seorang Muslim sudah saatnya menunjukkan diri bahwa saya adalah seorang Muslim.
Seorang Muslim sudah dipastikan Pancasilais. Seorang Pancasilais belum tentu seorang Muslim, karena nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila hanyalah bagian kecil dari yang diajarkan dalam Islam.
RUU HIP adalah salah upaya orang-orang yang tidak menginginkan ada nilai keislaman dalam Pancasila. Pun ingin menghapus nilai dan momentum Islam dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Apalagi jika diperas menjadi Trisila dan terutama Ekasila. Fasyhaduu bi annana muslimun. Wallahu a’almu bi al-shawab. (*)
Persepsi Muslim: Anti-RUU HIP, Editor Mohammad Nurfatoni.