PWMU.CO – Piagam Jakarta setelah ditandatangani oleh perumusnya Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945 kemudian dibacakan dalam sidang pleno kedua BPUPKI yang dimulai 10 Juli 1945.
Panitia Sembilan terdiri Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Soebardjo, Alexander Andries Maramis, A. Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim.
Soekarno, Ketua Panitia Sembilan, dalam pidatonya menceritakan, Piagam Jakarta dicapai lewat perdebatan yang sukar hingga terjadi kesepakatan antara golongan Islam dan kebangsaan.
”Sebenarnya ada kesukaran mula-mula antara golongan yang dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan paham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama dan negara. Tetapi sebagai tadi saya katakan, Allah subhana wa ta’ala memberkati kita sekarang ini. Kita sekarang sudah ada persetujuan. Panitia Kecil menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambule yang disusun oleh anggota-anggota yang terhormat,” kata Soekarno seperti ditulis dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 karya Endang Saifuddin Anshari.
Isi Piagam Jakarta seperti Pembukaan UUD 1945 tapi dasar negara yang pertama berbunyi Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Soekarno menjelaskan, seluruh pokok-pokok pikiran aspirasi anggota BPUPKI sudah dimasukkan semua, terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat Islam. ”Inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyosakai,” ujar Bung Karno lagi.
Keberatan Latuharhary
Dalam sidang pleno hari kedua 11 Juli 1945, Johannes Latuharhary, anggota BPUPKI dari Ambon menyampaikan keberatan atas tujuh kata dalam dasar pertama itu.
”Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama yang lain,” kata dia menyampaikan alasan. ”Kalimat ini bisa menimbulkan kekacauan misalnya terhadap adat istiadat,” tambahnya.
Menanggapi keberatan itu Soekarno mengingatkan segenap anggota bahwa preambule itu adalah suatu hasil jerih payah antara golongan Islam dan kebangsaan. ”Kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam,” tandasnya.
Perdebatan terbuka lagi. Latuharhary didukung oleh Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat. Tapi Wahid Hasyim dan Agus Salim mempertahankan rumusan itu dan meyakinkan tidak berpengaruh untuk selain Islam.
Bung Karno lalu menengahi dengan berkata, ”Kalimat itu kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan yang hanya didapat dengan susah payah.”
Akhirnya sidang pleno hari itu ditutup dengan diterimanya Piagam Jakarta. Dalam sidang 14 Juli diputuskan naskah preambule ini yang akan dibacakan sebagai proklamasi kemerdekaan atau declaration of independence yang waktunya dijanjikan Jepang.
Pengkhianatan Pertama
Tapi situasi politik berubah cepat. Jepang menyerah pada 16 Agustus 1945 setelah bom atom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Nagasaki dan Hirosima. Soekarno dan Hatta didesak untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia karena Jepang sudah kalah perang.
Dinihari tanggal 17 Agustus 1945 berkumpullah di rumah Tadashi Maeda Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, dan BM Diah, bersama perwira Jepang Shigetada Nishijima, Tomegoro Yoshizumi, dan Miyoshi. Juga ada tokoh pemuda Sukarni dan Sayuti Melik di serambi.
Tokoh-tokoh ini menyusun naskah deklarasi kemerdekaan yang baru. Setelah disempurnakan naskah itu pada pukul 10 pagi ditandatangani Soekarno dan Hatta untuk dibacakan sebagai Proklamasi Kemerdekaan di halaman rumah Soekarno Jalan Pegangsaan Timur 56.
Penyusunan naskah proklamasi kemerdekaan ini menyalahi keputusan sidang pleno BPUPKI. Mestinya yang dibacakan sebagai deklarasi kemerdekaan adalah Piagam Jakarta. Alasannya malam itu Soekarno, Hatta, dan Subardjo tidak membawa naskahnya.
Hatta yang rumahnya juga di Jalan Imam Bonjol tak mau mengambil naskahnya. Maka dibuatlah naskah baru dengan mengambil bagian terakhir alinea tiga yang diingat dari Piagam Jakarta. Yaitu kalimat maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian diubah menjadi Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hatta mendikte, Soekarno menuliskan di kertas buku bergaris. Hatta menambah alinea lagi Hal-2 yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnja.
Pengkhianatan Kedua
Pertanyaan kenapa Soekarno dan Hatta membuat naskah baru proklamasi itu mendapat jawaban pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 di Pegangsaan. Sidang yang mestinya dimulai pukul 09.30 mundur hingga 11.30. Rupanya Soekarno-Hatta terpengaruh oleh protes orang-orang yang tak setuju dengan tujuh kata syariat Islam di Piagam Jakarta.
Karena Soekarno tak mau menjilat ludah sendiri yang telah bertahan terhadap rumusan Piagam Jakarta di sidang BPUPKI maka dia meminta Hatta melobi golongan Islam agar mau menghapus tujuh kata itu.
Ada empat orang yang diundang Hatta membicarakan perubahan itu. Yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Teuku Hasan, dan Kasman Singodimejo. Alasannya ada perwira Angkatan Laut Jepang memberitahu bahwa orang Kristen di bagian timur menolak kalimat itu. Kalau dipertahankan mereka tak mau bergabung dengan negara baru ini.
Waktu itu Wahid Hasyim tak hadir karena masih berada di Jawa Timur. Teuku Hasan setuju saja. Ki Bagus Hadikusumo menolak keras. Kasman Singodimejo orang baru di PPKI yang tak paham suasana kebatinan pembahasan Piagam Jakarta sebelumnya.
Masuknya Kasman ini adalah taktik Soekarno yang tidak disadari oleh Kasman. Pagi itu mendadak Bung Karno mengusulkan enam anggota baru PPKI yaitu Kasman, Wiranata Kusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, dan Ahmad Subardjo.
Kasman kemudian diminta merayu Ki Bagus agar mau menerima perubahan tujuh kata. Dua tokoh ini sama-sama Muhammadiyah. Dengan berat hati dan dongkol akhirnya Ki Bagus menerima perubahan dengan kalimat baru Ketuhanan Yang Mahaesa.
Di akhir masa hidupnya Kasman mengatakan sangat menyesal memengaruhi Ki Bagus agar bersedia menerima perubahan sila pertama itu yang ternyata hasilnya sangat merugikan umat Islam.
Pengkhianatan Ketiga
Ternyata penghapusan tujuh kata itu merembet kepada perubahan pasal di Batang Tubuh UUD 1945. Pertama, kata Mukaddimah diganti dengan Pembukaan. Kedua, Pasal 6 ayat 1 Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam, kata beragama Islam dicoret. Ketiga, Pasal 29 ayat 1 diubah menjadi Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Mahaesa.
Mengomentari perubahan kilat itu tokoh Islam KH Isa Anshary berkomentar, ”Kejadian yang mencolok mata itu dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia. Permainan politik pat-pat-gulipat terhadap golongannya, akan tetapi mereka diam tidak mengadakan tantangan dan perlawanan karena jiwa toleransi mereka.”
Tokoh Islam lainnya Prawoto Mangkusasmito menanyakan, apa sebab rumus Piagam Jakarta yang diperdapat dengan kesepakatan yang susah payah selama berhari-hari bisa diubah dalam waktu beberapa menit saja?
”Apakah sebabnya Ir Soekarno yang selama sidang Badan Penyelidik dengan mati-matian mempertahankan Piagam Jakarta kemudian justru memelopori untuk mengubahnya?” ujarnya.
Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya membuat catatan, konsensus nasional yang sudah dicapai dengan susah payah lewat debat sengit dicairkan oleh usul orang asing, opsir Kaigun yang namanya saja tidak diingat oleh Hatta. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto