PWMU.CO-Wahsyi, hanyalah seorang budak dari Abesinia Afrika. Tapi namanya tercatat dalam sejarah Islam karena dialah pembunuh orang terkenal, Hamzah bin Abdul Muththolib, paman Nabi Muhammad, dalam perang Uhud.
Dia ahli pelempar tombak. Sebagai budak belian, Wahsyi tidak mempunyai kepentingan apa pun dalam perang Uhud karena dia bukan bagian dari dua kelompok yang bertikai yakni muslim Madinah dan kafir Mekkah.
Tapi karena janji majikannya, Jubair bin Muth’im, yang akan memerdekakannya bila sanggup membunuh Hamzah maka dia pun berangkat ke medan Uhud. Tujuannya bukan berperang. Hanya membunuh Hamzah demi membalaskan kematian paman majikannya, Thu’aimah bin Adi, yang tewas dalam perang Badar.
Sirah Ibnu Hisyam menceritakan, ketika dapat membunuh Hamzah dengan lemparan tombaknya, dia langsung berkemas lantas meninggalkan medan perang Uhud dan masuk ke baraknya. Tidak peduli dengan hiruk pikuk pedang dan teriakan dari dua pasukan yang berhadapan. Masa bodoh dengan apa yang diperebutkan oleh dua kelompok ini. Baginya tidak penting siapa yang menang dan kalah. Kepentingannya sudah dia peroleh.
Wahsyi akhirnya menjadi manusia bebas. Dia tinggal di Mekkah. Namun setelah pembunuhan itu, hidup Wahsyi tidak tentram. Sewaktu pasukan Rasulullah menaklukkan Mekkah dan menguasai kota, sejak itu Wahsyi hidup sebagai pelarian. Sebab dia termasuk dalam daftar pencarian orang yang harus dihukum pasukan muslim.
Hidup dalam Pelarian
Dia mengungsi mencari kota yang aman untuk hidupnya. Hingga akhirnya bermukim di Thaif. Tak lama setelah itu orang-orang Thaif menyatakan tunduk di bawah Rasulullah sehingga kota itu dikuasai pasukan muslim. Wahsyi merasakan tiba-tiba semua jalan menjadi gelap karena tidak ada lagi tempat yang aman baginya.
Terpikir olehnya untuk lari ke negeri yang jauh seperti Yaman di selatan atau Syam di utara. Namun bagaimana kalau dua negeri itu kelak juga dikuasai oleh pasukan muslim? Apakah terus hidup menjadi pelarian seperti ini?
Di tengah kebingungannya itu, seorang tetangganya berkata,”Celakalah kamu. Demi Allah, seorang pembunuh muslim, pilihan agar selamat adalah masuk Islam dan bersyahadat dengan benar.” Jika menolak bersyahadat maka pilihannya adalah lari atau eksekusi mati.
Tidak ada pilihan lain bagi Wahsyi melainkan ikut rombongan orang-orang Thaif yang menemui Rasulullah di Madinah untuk menyerah dan masuk Islam. Setelah bersyahadat di depan Rasulullah dengan ketakutan, Wahsyi disuruh menceritakan, bagaimana dia membunuh Hamzah.
Usai mendengar kisah tragis itu, Rasulullah berkata kepadanya,”Celakalah kamu. Sembunyikan wajahmu dariku. Aku tidak mau melihatmu lagi.” Mulai hari itu Wahsyi hidup dalam kecemasan dan penyesalan. Dia harus menghindar bila bertemu Rasulullah.
Untuk membayar penyesalannya dia memutuskan ikut perang Yamamah melawan Musailamah bin Habib Al Kadzab di masa Khalifah Abu Bakar. Dia bersama orang anshar dapat membunuh nabi palsu itu dengan tombaknya. Ternyata perang itu tak dapat mengurangi kegelisahannya.
Sampai-sampai dia frustrasi dan menjadi pecandu alkohol. Sepanjang sisa hidupnya dihabiskan dengan duduk melamun di teras rumahnya di kota Himsh sambil menenggak minuman keras sampai teler. Sungguh ironis. Setelah menjadi manusia merdeka, Wahsyi di masa tuanya justru kembali menjadi budak. Kali ini budak khamr.
Berkali-kali dia mendapat hukuman cambuk dan denda karena hobi mabuk ini. Namun itu tak membuatnya jera. Bahkan di masa pemerintahan selanjutnya dia mendapat hukuman berat. Yakni namanya dicoret dari dokumen negara sehingga tidak mendapat status hukum sebagai warga negara. Keberadaannya seperti tidak ada.
Wahsyi, si pembunuh Hamzah adalah kisah orang yang tidak punya tujuan hidup, ideologi, militansi, dan pengabdian. Hidupnya adalah untuk kepentingan dia sendiri. Orang seperti ini bila mampu beradaptasi dengan perubahan maka lahir menjadi oportunis. Bila gagal beradaptasi maka hidup dalam penderitaan dan kemalangan. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto