
PWMU.CO– Pater Beek, pastor Jesuit dari Belanda, namanya muncul menjelang peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Nama lengkapnya Josephus Gerardus Beek. Waktu itu dia cari agen intel Badan Pusat Intelijen (BPI) pimpinan Subandrio.
Dia aktif mengoordinasi gerakan bawah tanah melawan komunis di masa jaya PKI yang dekat dengan Presiden Soekarno. Pater Beek, pastur militan yang ditugaskan Gereja Katolik ke Indonesia tahun 1937 di Ungaran lalu ke Yogya. Meninggal dunia di Jakarta, 17 September 1983 saat umur 66 tahun.
Pada 5 November 1965 dia menulis surat kepada Bung Karno dengan nama samaran Dadap Waru. “Bung Karno, Revolusi Indonesia, dan seluruh bangsa serta negara telah secara besar-besaran dibohongi, ditipu, dikentutin, dan dikhianati oleh Partai Komunis Indonesia, partai JAHILIYAH MODERN.”
Partai yang disebut dalam surat itu adalah PKI. Namun surat itu diabaikan Soekarno karena tak mau membubarkan partai komunis itu hingga terjadinya Supersemar.
Salim Said dalam bukunya Gestapu 65 menceritakan, kenal nama Pater Beek dari temannya Wiratmo Sukito, penulis esei di koran. Temannya ini punya jaringan dengan kegiatan Beek karena sama-sama Katolik waktu itu.
Dari informasi Wiratmo Sukito juga diketahui Pater Beek punya hubungan erat dengan CIA melalui Pater Laszlo Ladany, pendeta Jesuit asal Hungaria yang aktif dan berdomisili di Hong Kong sebagai pengamat Tiongkok.
Berpihak ke Tentara
Pater Beek makin sering jadi pembicaraan di kalangan elite politik Indonesia setelah PKI berhasil diganyang dari pentas politik. Dia banyak berhubungan di kalangan politisi, birokrat, dan tentara.
Sesuai kepentingan misinya di Indonesia ke depan dia dan kelompoknya menghadapi pilihan antara dua bahaya kelompok hijau. Islam atau militer.
”Setelah kudeta gagal, elemen-elemen asing dalam kepemimpinan Katolik dengan cepat memutuskan siapa yang harus mereka dukung. Dengan komunis bukan lagi sebuah kekuatan, hanya tersisa dua kemungkinan pemerintahan, Islam atau militer. Kami memilih tentara,” kata Pater Beek seperti ditulis Brian May, wartawan Agence France Presse dalam bukunya The Indonesian Tragedy.
Di masa sidang MPRS 1968 kelompok ini cemas melihat parpol Islam mengangkat isu Piagam Jakarta. Mereka cemas adanya usaha syariat Islam menjadi dasar negara.
Salim Said menceritakan, ”Pada masa itu, seingat saya, tersebar fitnah terhadap Jenderal Nasution, Ketua MPRS, dituduh sebagai anggota Darul Islam terselubung yang akan menggunakan kedudukannya untuk menjadikan Indonesia negara yang berdasarkan syariat Islam.”
Biro Dokumentasi
Tahun 1961 pastor Ordo Jesuit mendirikan Biro Dokumentasi untuk membantu umat Katolik menghadapi perkembangan sosial dan politik masyarakat. Pater Beek dipilih memimpin biro ini. Dia dibantu oleh aktivis seperti dr Soedjati Djiwandono, Kajat Hartoyo, Harry Tjan Silalahi, dan Lim Bian Kie alias Jusuf Wanandi.
Biro sebagai think tank. Mengumpulkan bahan untuk menganalisis perkembangan situasi politik. Hasil kajian itu diedarkan ke berbagai kalangan anti-komunis, seperti aktivis mahasiswa, partai politik, dan lembaga lainnya.
Pasokan hasil analisis Biro Dokumentasi ini pada tahun itu menjadi informasi yang up to date tentang perkembangan politik dan gerakan orang-orang komunis. Beredar aktivis dan politisi. Tentu saja informasi itu tanpa mencantumkan sumber. Hasil kerja kajian kelompok ini memainkan peran penting mewarnai opini masyarakat.
Bahkan pernyataan-pernyataan Cosmas Batubara, yang pada tahun itu menjabat ketua PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) sebagian besar disiapkan oleh biro sehingga dia menjadi aktivis mahasiswa yang menonjol dan diperhitungkan. Apalagi saat menjadi Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) yang berdemo menentang rezim Orde Lama.
Orang-orang Pater Beek kemudian meneruskan fungsi biro itu menjadi lembaga yang dikenal dengan nama CSIS, Centre for Strategic and International Studies, pada tahun September 1971.
Jusuf Wanandi menjelaskan, CSIS didirikan setelah paham rezim Soeharto menyertakan mereka dalam pemerintahan karena latar belakang etnis. Mereka mendekati pemerintah dengan pasokan informasi dari kalangan sipil sehingga memengaruhi kebijakan politik rezim Soeharto. Di zaman itu analisis strategis militer yang dominan.
Kelompok ini kemudian dekat dengan Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani yang kemudian menjadikan CSIS sebagai think tank pemerintah untuk menjalankan operasi khusus termasuk politik Islam. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto