PWMU.CO– Perjanjian Hudaibiyah terjadi di akhir tahun 6 H. Setelah selesai perang Khandaq dan perang kecil lainnya, suasana perang dingin masih terjadi. Ketegangan di antara kaum muslim Madinah dengan Quraisy Mekkah masih menyelimuti hubungan dua kota ini.
Memasuki bulan Dzulqa’dah, Nabi berniat umrah dengan mengajak sejumlah kaum muslimin dalam jumlah besar. Rombongan terdiri sahabat muhajirin, anshar, dan orang-orang Arab lainnya berjumlah 700 orang.
Mereka membawa hewan sembelihan 70 unta dan berpakaian ihram sebagai tanda damai untuk orang Quraisy bahwa kunjungan ini untuk umrah.
Perjalanan sampai di Usfan datang kabar tak sedap. Orang setempat Bisyr bin Sufyan Al-Ka’bi memberitahu Rasulullah, orang-orang Quraisy telah mendengar keberangkatan ini. Mereka keluar bersama anak istri menghadang di Dzu Thawa. ”Mereka bersumpah engkau tidak boleh masuk ke Mekkah selama-lamanya,” katanya.
Seorang rombongan dari Bani Aslam mengatakan, tahu jalan lain ke Mekkah menghindari Dzu Tuwa. Mereka meneruskan perjalanan lewat jalur lain dipandu orang Aslam itu melewati jalan berpepohonan di antara jalan menuju gunung sehingga sulit dilalui.
Keluar dari medan berat ini, Rasulullah menyuruh melewati Dzatul Yamin terletak di antara tepi Al Hamsy. Lalu melintasi Tsaniyyatul Mirar, dan berhenti istirahat di al-Hudaibiyah, dekat kota Makkah.
Penghadangan Orang Mekkah
Tatkala Rasulullah istirahat, datang rombongan Budail bin Warqa’ al-Khuzai bersama beberapa orang sukunya. Budail menanyakan alasan Rasulullah datang ke Makkah. Rasulullah menjelaskan umrah.
Segera rombongan Budail kembali ke tempat orang-orang Quraisy. Dia berkata, wahai orang-orang Quraisy, kalian terlalu tergesa-gesa terhadap Muhammad. Ketahuilah dia datang bukan untuk perang, tapi mengunjungi Baitullah.
Namun orang-orang Quraisy tetap curiga dan gengsi. Silih berganti mengirim utusan mendapat jawaban yang sama. Kedatangan rombongan ini untuk umrah. Mereka gengsi kalau rombongan umrah itu diizinkan masuk maka Quraisy khawatir pandangan orang-orang Arab akan mengatakan mereka telah dikalahkan oleh Muhammad.
Seorang utusan Quraisy Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi yang awalnya angkuh setelah bicara dengan Nabi dan melihat sikap kaum muslim, dia berkata kepada kaumnya, “Hai orang-orang Quraisy, sungguh aku telah mengunjungi Kisra di istananya, Kaisar di istananya, juga Najasyi di istananya, namun demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang raja di tengah rakyatnya sebagaimana Muhammad di tengah para sahabatnya. Sungguh aku melihat kaum yang tidak akan membiarkan Muhammad begitu saja untuk selama-lamanya. Maka pertimbangkan kembali pendapat kalian,” ujarnya.
Rasulullah lalu mengirim Khirasy bin Umaiyyah al-Khuzai menemui orang-orang Quraisy naik Nabi. Orang Quraisy ternyata ingin membunuh Khirasy tapi yang terkena sabetan pedang unta Nabi. Orang-orang Ahabisy mencegahnya dan membebaskan Khirasy.
Quraisy kemudian mengirim empat puluh orang mengepung kemah Rasulullah. Tujuannya menculik seorang sahabat. Mereka menyerang kemah dengan lemparan batu dan panah. Namun mereka tertangkap. Rasulullah memaafkan dan melepaskannya.
Utsman Disandera
Kemudian Nabi mengutus Utsman bin Affan kepada orang Quraisy. Pilihan ini karena keluarga Utsman masih banyak di Mekkah yang bisa memberi perlindungan jika dia disakiti. Dia diminta menemui Abu Sufyan bin Harb dan pemuka Quraisy memberitahukan maksud kedatangannya.
Saat Utsman bin Affan memasuki Makkah bertemu dengan Aban bin Said Ash. Orang ini membawa Utsman dan melindunginya untuk menyampaikan surat Rasulullah kepada Abu Sufyan.
Setelah menerima surat itu orang Quraisy berkata kepada Utsman bin Affan, ”Apabila kamu mau thawaf di Baitullah, silakan saja.”
Utsman menjawab, ”Aku tidak akan thawaf hingga Rasulullah sendiri yang memulainya.”
Mereka marah dan menawan Utsman sebagai sandera. Tapi kabar penawanan ini menjadi heboh ketika sampai kepada kaum Muslimin. Sebab kabar berubah menjadi Utsman dibunuh.
Saat Rasulullah mendengar kabarberkata, ”Kita tidak akan pulang hingga menaklukkan kaum itu.” Nabi mengajak kaum muslimin berbaiat. Itulah Baiat ar-Ridhwan di bawah sebuah pohon. Isinya membebaskan Usman dan tidak melarikan diri dari musuh.
Lalu Jadid bin Qais datang kepada Rasulullah menjelaskan, kabar terbunuhnya Utsman bin Affan adalah bohong.
Perjanjian Gencatan Senjata
Kemudian orang-orang Quraisy mengutus Suhail bin Amr menemui Rasulullah. Misinya membuat perjanjian damai. Ketika Suhail tiba dia bicara panjang lebar dengan Nabi dan adu argumentasi. Pada akhirnya terjadi kesepakatan damai. Perjanjian gencatan senjata.
Tiba penulisan teks perjanjian, Umar bin Khaththab mendekati Abu Bakar berkata,”Abu Bakar, bukankah beliau utusan Allah?” Abu Bakar menjawab,”Ya betul.”
Umar berkata lagi,”Bukankah kita orang Islam?” Abu Bakar menjawab pula,”Ya, benar.”
”Bukankah mereka orang-orang musyrikin?”
”Benar,” jawab Abu Bakar.
”Jika demikian, lalu mengapa kita harus menerima kehinaan untuk agama kita,” tandas Umar.
Abu Bakar menjawab,”Umar, komitmenlah dengan perintah dan larangannya. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa beliau utusan Allah.” Umar mengatakan kesaksian itu pula.
Kemudian Umar menemui Rasulullah dengan pertanyaan sama kepada Abu Bakar.
Rasulullah menjawab,”Aku hamba Allah dan rasulNya. Aku tidak menentang perintah Allah dan Dia tidak akan pernah menyia-siakanku.”
Setelah itu Rasulullah memanggil Ali bin Abu Thalib untuk menulis perjanjian. ”Tulislah Bismillahirrahmaanirrahiim.”
Suhail bin Amr menyergah,”Aku tidak tahu kata-kata itu, namun tulislah Bismikallahumma.”
Rasulullah setuju. Kemudian berkata lagi untuk menulis: Ini adalah perdamaian antara Rasulullah dengan Suhail bin Amr.
Suhail memotong tidak setuju. ”Kalau aku bersaksi bahwa kamu sebagai Rasulullah, aku tidak memerangimu. Tulislah namamu dan nama ayahmu.”
Rasulullah setuju.”Tulislah, ini adalah perdamaian antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr.”
Naskah berikutnya: Keduanya bersepakat untuk menghentikan perang selama sepuluh tahun. Masing-masing pihak saling memberikan rasa aman dan saling menahan diri atas pihak lainnya selama jangka waktu tersebut.
Barangsiapa di antara orang-orang Quraisy datang kepada Muhammad tanpa seizin walinya maka ia harus dikembalikan kepadanya. Barangsiapa di antara pengikut Muhammad datang kepada orang-orang Quraisy maka ia tidak harus dikembalikan kepadanya. Kita harus patuh dengan isi perdamaian, tidak ada pencurian rahasia dan pengkhianatan.
Barangsiapa yang suka dengan perjanjian Muhammad maka ia masuk ke dalamnya, dan barangsiapa yang suka dengan perjanjian orang Quraisy maka ia masuk ke dalamnya.
Dampak Perjanjian Hudaibiyah
Setelah perjanjian Hudaibiyah selesai dibaca orang-orang Khuza’ah berdiri dan berkata, ”Kami masuk ke dalam perjanjian Muhammad.”
Orang-orang Bani Bakr juga berdiri dan berkata, ”Kami masuk ke dalam perjanjian orang Quraisy.”
Suhail kemudian menegaskan kepada Nabi, kamu harus pergi dari tempat ini tahun ini dan tidak boleh masuk ke Makkah. Tahun depan kami akan keluar Makkah, setelah itu kalian boleh memasuki Makkah. Kamu boleh berada di sana selama tiga hari dengan membawa senjata seperti halnya musafir yaitu hanya pedang berada di sarungnya dan tidak boleh membawa senjata selain pedang.
Tiba-tiba Abu Jundal bin Suhail datang dengan membawa pedang. Dia anak Suhail yang muslim dan baru saja lolos dari Mekkah untuk menemui Rasulullah.
Suhail melihat Abu Jandal langsung berdiri memukul wajahnya. Lalu mencengkeram krah bajunya. ”Muhammad, perjanjian di antara kita telah usai sebelum anak ini datang menemuimu.”
Rasulullah berkata,”Kamu berkata benar.” Maka Suhail bin Amr membawa anaknya kembali ke Mekkah. Abu Jandal berteriak dengan suara keras. ”Wahai kaum Muslimin, apakah kalian akan membiarkanku diseret dan dibawa kepada kaum musyrikin lalu mereka menyiksaku karena agamaku?”
Kaum muslimin sedih menyaksikan nasib Abu Jandal. Dialah orang pertama yang terkena akibat perjanjian Hudaibiyah ini. Dia harus dibawa pulang kembali ke Mekkah.
Rasulullah berkata,”Abu Jandal, bersabarlah dan berharaplah pahala di sisi Allah, sesungguhnya Allah akan membuka jalan keluar bagimu dan bagi orang-orang tertindas sepertimu. Sungguh, kita telah menanda tangani perjanjian. Kita berikan kepada mereka pejanjian dan mereka berikan kepada kita janji Allah, kita tidak akan mengkhianati mereka.”
Umar bin Khaththab berdiri menghampiri Abu Jandal lalu berjalan di sampingnya dan berkata, ”Bersabarlah kamu, Abu Jandal. Sesungguhnya mereka orang-orang musyrikin dan darah mereka adalah darah anjing.”
Berkata begitu Umar bin Khaththab merapatkan gagang pedangnya kepada Abu Jandal. Umar berharap agar Abu Jandal mencabut pedangnya lalu menebaskan leher ayahnya. Tapi harapan Umar pupus sebab Abu Jandal pasrah diseret ayahnya.
Orang-orang Taat dan yang Kecewa
Setelah perjanjian Hudaibiyah itu Rasulullah berjalan ke arah hewan sembelihan lalu memotongnya. Kemudian duduk mencukur rambutnya. Beberapa orang mengikuti Nabi untuk bertahalul walaupun batal umrah.
”Semoga Allah merahmati orang-orang yang mencukur rambutnya,” kata Nabi.
”Bagaimana dengan orang-orang yang hanya memendekkannya, ya Rasulullah?”
Rasulullah bersabda, ”Semoga Allah merahmati orang-orang yang mencukur rambutnya. Pertanyaan itu diulang hingga dua kali, jawaban Nabi sama. Baru yang ketiga kali Nabi berdoa,”Semoga Allah juga merahmati orang-orang yang memendekannya.”
Sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, mengapa engkau mengulang-ulang doa untuk orang-orang yang mencukur rambutnya dan tidak untuk orang-orang yang memendekkannya?”
”Mereka tidak ragu-ragu,” jawab Nabi.
Dalam perjalanan pulang, Allah menurunkan surat Al Fath kepada Rasulullah. Isinya Allah menjanjikan kemenangan dan memuji orang-orang yang mengadakan baiat Ridhwan dan orang-orang yang berat hati mengikuti perintah Nabi.
Perjanjian Hudaibiyah ini memberi waktu Nabi mengadakan konsolidasi kekuatan pasukan dan pengaruhnya ke seluruh suku-suku jazirah Arab. Kemenangan besar setelah menguasai Khaibar. Ketika kekuatan Islam makin besar mereka berbaris menuju Mekkah yang membuat orang Quraisy gentar dan menyerahkan kotanya. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto